Inovasi
Intrik Teknologi dalam Geopolitik
Pandangan politik petinggi perusahan teknologi ikut berkontribusi pula pada percaturan politik dunia.
Banyak aspek yang terdampak dengan perkembangan digital yang terus melaju pesat. Tak hanya nilai-nilai sosial yang ikut bergeser, namun juga arah geopolitik.
Sentuhan kecerdasan buatan (AI) dalam geopolitik, misalnya. Persaingan antarnegara dalam pemanfaatan AI tidak dimulai pada tingkat pengenalan wajah atau autonomous driving. Tapi, di tingkat penggunaan data, komputasi, perangkat lunak dan talenta.
Manajer Proyek untuk Teknologi & Geopolitik di Stiftung Neue Verantwortung (SNV), sebuah lembaga pemikir kebijakan teknologi independen yang berbasis di Berlin, Wiebke Denkena menjelaskan, saat ini akses dan kontrol atas bahan-bahan utama ini sangat menentukan. “Tepatnya, adalah bagaimana negara dapat memanfaatkan AI untuk kekuatan ekonomi, politik, dan militer,” katanya, dalam acara Digital Discourses-How Technology is Shaping Geopolitics CfDS UGM, Jumat (28/10).
Data, komputasi, perangkat lunak, dan talenta, adalah bahan utama AI yang dibutuhkan untuk membangun sistem deep learning yang canggih. Denkena pun menyoroti mengapa sudah ada banyak persaingan geopolitik dalam pemanfaatan empat bahan utama itu.
Dalam pemanfaatan data. Banyaknya kumpulan data berkualitas tinggi, sangat penting untuk membangun model deep learning. Denkena melihat saat ini, mulai ada budaya berbagi data yang muncul, termasuk juga maraknya penelitian tentang data sintetis.
“Jadi Anda dapat secara otomatis menghasilkan data yang kemudian dapat digunakan untuk melatih di sistem perencanaan, contohnya,” ujar Denkena. Menurutnya, pemerintah kini secara umum telah memainkan peran penting dalam menentukan aturan dan standar untuk pengumpulan data.
Sehingga mendorong beberapa bentuk pengumpulan dan penggunaan data, kemudian membatasi aspek pemanfaatan lainnya. Dankena pun memberi contoh, peran pemerintah Cina dalam pemanfaatan teknologi pengenalan wajah. Sedangkan di Eropa pembuat keputusan politik, masih agak ragu-ragu terhadap hal ini.
Di Eropa, kata dia, masih banyak lembaga negara yang skeptis terhadap hal ini. Sedangkan di Cina, pemerintah memungkinkan para penegak hukum di banyak otoritas kepolisian, bekerja dengan sistem ini. “Hal ini juga berarti bahwa perusahaan teknologi besar Cina mendapatkan akses ke lebih banyak data,” lanjut Denkena.
Kebutuhan Komputasi
Dalam aspek komputasi, saat ini sangat penting bagi sebuah negara untuk membangun mode deep learning yang mutakhir. Jaringan saraf (neural networks) yang lebih besar memang akan menghasilkan keluaran insight yang lebih canggih.
“Saat ini, kita telah mencapai situasi di mana training labs models benar-benar membutuhkan supercomputing, sehingga Anda tidak bisa hanya melakukannya di garasi. Anda juga tidak bisa hanya melakukannya hanya dengan menggunakan laptop” ujar Denkena.
Kebutuhan komputasi yang meningkat ini, Denkena menyampaikan, menyebabkan dinamika daya yang benar-benar menarik, Tetapi juga memunculkan kekhawatiran di tingkat industri di tingkat negara bagian. “Kami melihat ketergantungan yang meningkat pada cloud dari lingkaran perusahaan teknologi besar,” katanya.
Google misalnya, telah mengembangkan cip AI-nya dengan Tensor Processing Unit (TPU) yang merupakan bagian dari Google Cloud. Kemudian, Google juga telah muncul selama bertahun-tahun lalu, dengan cara penyediaan perangkat keras yang pendekatan yang menarik.
Misalnya, Google Colab yang pada dasarnya adalah situs web dan dapat kita kunjungi dan membuat beberapa kode. Kode tersebut dijalankan secara otomatis di mesin Google yang kuat dan Anda tidak perlu membayar. Jadi ini adalah cara untuk menarik orang ke ekosistem cloud teknologi besar.
Selain itu, ada juga ketergantungan yang meningkat pada cip AI mutakhir, yang sebagian besar dirancang oleh perusahaan Amerika Serikat (AS) seperti Nvidia atau AMD. “Cip ini sangat dibutuhkan jika ingin membangun supercomputer, terutama cip yang mampu terhubung,” ujar Dankena.
Menurutnya, saat ini dalam urusan cip, AS masih terus berusaha memperlambat kemajuan Cina melalui disrupsi di rantai suplai semikonduktor. Langkah ini, membuat Nvidia atau AMD tidak lagi dapat diekspor ke Cina.
Kebutuhan komputasi yang meningkat menyebabkan dinamika daya yang menarik.WIEBKE DANKENA, Manajer Proyek untuk Teknologi & Geopolitik di Stiftung Neue Verantwortung (SNV),
Menelisik Konflik Ukraina
Dalam konflik yang yang kini masih terus berlangsung di Ukraina, perusahaan teknologi juga menunjukkan bagaimana keputusan-keputusan mereka ikut berdampak dalam memengaruhi geopolitik. Pendiri dan futuris geopolitik di Center for Innovating the Future (CIF), sebuah firma penasihat yang berbasis di Toronto, Kanada, Abishur Prakash menulis di Scientific American bahwa perusahaan-perusahaan teknologi kini, telah terseret ke dalam konflik karena cara pelanggan menggunakan layanan mereka.
Misalnya, dengan banyaknya orang yang memiliki rumah di Tepi Barat melalui Airbnb, atau telah mengikuti kebijakan luar negeri pemerintah melalui SpaceX yang kini memasok Internet ke Iran setelah Amerika Serikat menghapus beberapa sanksi.
“Sekarang, perusahaan-perusahaan teknologi secara independen ikut memberi dampak terhadap perang secara real time. Salah satunya, dengan memutuskan kemampuan apa yang akan dipasok, dan penolakan apa yang ingin mereka toleransi,” ujar Prakash, dilansir dari Scientific American, Senin (7/11).
Hal ini pun, ia melanjutkan, mengarah pada realitas global baru. Dimana, setiap negara, atau kelompok, dengan ambisi geopolitik tidak dapat lagi hanya merencanakan bagaimana negara akan merespons, tetapi juga harus mempertimbangkan bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi akan merespons. “Keyakinan dan ideologi para eksekutif teknologi sekarang sama pentingnya dengan para politisi,” ujar Prakash.
Internet adalah contoh utamanya. Ketika perang dimulai, pasukan Rusia bergerak untuk melumpuhkan Ukraina dengan mengendalikan infrastruktur penting, seperti pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia, yang menghasilkan seperlima dari listrik Ukraina.
Hanya beberapa hari setelah perang Ukraina dimulai, SpaceX yang berbasis di AS turun tangan, dan mulai memasok Starlink, layanan internet berbasis satelitnya, kepada pemerintah Ukraina. Langkah ini, memungkinkan Kiev untuk membalas terhadap pasukan Rusia.
Kemudian, lobi dari dunia teknologi juga ternyata berjalan efektif. Dari Alphabet yang mengakhiri semua penjualan iklan di Rusia, hingga Apple yang melarang VK, platform media sosial terbesar Rusia, dari ekosistemnya, membuat masyarakat Rusia “diperas” secara digital.
Menurut Prakash, gerakan yang sangat politis di bidang teknologi ini harus menjadi peringatan bagi negara-negara di seluruh dunia. “Perusahaan-perusahaan teknologi ini, tidak lagi tinggal diam dalam geopolitik demi pendapatan, seperti yang telah dilakukan banyak perusahaan Barat di Cina, terlepas dari perilaku negara itu terhadap musuh politiknya,” jelasnya.
Namun, para perusahaan teknologi ini juga bertindak secara independen dalam menentukan bagaimana sikapnya terhadap berbagai perkembangan politik yang terjadi dalam sebuah negara. Terkadang secara tak terduga, mereka juga mengambil langkah tersendiri, untuk mencapai tujuan geopolitik-yang telah ditetapkan sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Prabowo Aminkan Dukungan Jokowi
Prabowo menilai munculnya banyak nama jelang Pilpres 2024 merupakan sesuatu yang baik bagi demokrasi.
SELENGKAPNYAJaga Stok Vaksin Antisipasi Lonjakan Kasus Covid-19
Peningkatan kasus saat ini adalah imbas dari kelangkaan stok vaksin Covid-19 beberapa waktu lalu.
SELENGKAPNYADamri Operasikan 24 Bus Listrik di G-20
DAMRI optimistis bus listrik dapat beroperasi prima dengan persiapan matang dan pengecekan berkala.
SELENGKAPNYA