Petugas saat melintas di dekat patung pahlawan revolusi di Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta, Selasa (29/9/2021). | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Catatan Penting G-30-S/PKI

Bangsa ini menanggung beban konflik sejarah bila rekonsiliasi yang alami dan murni tidak terwujud.

JEJE ZAENUDIN, Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis)

Hari ini, 57 tahun lalu. Partai Komunis Indonesia (PKI), partai besar pada waktu itu, untuk kedua kalinya berupaya melakukan kudeta terhadap pemerintahan sah. PKI mencoba memanfaatkan kelemahan internal pemerintahan yang sering diwarnai konflik.

Puncaknya, meletuslah Gerakan 30 September (G-30-S) 1965, juga dikenal G-30-S/PKI. Meski sudah berlalu lebih dari lima dekade, peristiwa yang puncaknya mengorbankan nyawa tujuh jenderal TNI ini mustahil dilupakan dalam memori kolektif bangsa.

Apalagi bila ditarik jauh ke belakang sebelum peristiwa kelam itu terjadi. Baru beberapa saat pekik kemerdekaan diikrarkan duet Sukarno-Hatta, tanda bangsa ini terbebas dari penjajahan negara lain, ribuan nyawa kembali melayang.

Mulai dari nyawa ulama, santri, rakyat kecil menjadi taruhannya. Salah satunya dikenal dengan peristiwa Madiun (1948) dan beberapa peristiwa lainnya yang serupa.

 
Mulai dari nyawa ulama, santri, rakyat kecil menjadi taruhannya. Salah satunya dikenal dengan peristiwa Madiun (1948) dan beberapa peristiwa lainnya yang serupa.
 
 

Tentu bangsa Indonesia dan umat Islam, khususnya tidak boleh begitu saja melupakan peristiwa berdarah yang menjadi salah satu episode sejarah kelam dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat, bahkan beragama tersebut.

Dari rangkaian peristiwa G-30-S/PKI, paling tidak ada tiga hal yang perlu menjadi catatan khusus buat perjalanan bangsa ke depan.

Pertama, betapa pentingnya umat Islam dipahamkan mengenai ideologi berbasis agama. Ideologi yang berbasis kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Karena mustahil ideologi berbasis agama dan mengusung filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa dapat bermesraan, bergandengan tangan dengan ideologi yang dibangun di atas pengingkaran terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa.

Juga pengingkaran terhadap eksistensi kekuasaan Tuhan terhadap kehidupan manusia. Baik manusia sebagai individu, bagian dari kelompok, ketika bermasyarakat, maupun dalam berbangsa dan bernegara.

 
Kedua, jangan sampai jejak sejarah hitam G-30-S/PKI dikaburkan sedemikian rupa, yang menyebabkan hilang dari ingatan kolektif masyarakat Indonesia, khususnya generasi milenial.
 
 

Kalaupun dipaksakan, niscaya saling meniadakan bahkan menghancurkan. Kecuali bila akar ideologi komunis itu telah berubah total. Dengan cara menafsirkan kembali ideologinya agar kehidupan manusia kembali kepada fitrahnya yang sejati.

Yaitu, sebagai makhluk Tuhan yang mengabdi kepada kehendak dan tujuan penciptaan Tuhan, sebagai hamba dan khalifahnya di muka bumi.

Kedua, jangan sampai jejak sejarah hitam G-30-S/PKI dikaburkan sedemikian rupa, yang menyebabkan hilang dari ingatan kolektif masyarakat Indonesia, khususnya generasi milenial. Tentu, upaya ini membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara kemudian hari.

Upaya mengaburkan sama saja dengan mencerabut masyarakat dari peristiwa yang terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa. Apalagi, bila ada upaya mengubah opini, persepsi, dan pandangan publik bangsa Indonesia.

Peristiwa berdarah tersebut diputarbalikkan antara pelaku menjadi korban, dan sebaliknya korban menjadi pelaku. Sebab, upaya pemutarbalikan ini tidak kalah bahayanya dengan kontroversi pemikiran komunisme, yang menjadi diskursus pada anak bangsa.

 
Upaya mengaburkan sama saja dengan mencerabut masyarakat dari peristiwa yang terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa.
 
 

Jika telah berpecah-belah dalam memandang dan menyikapi G-30-S/PKI itu, berpotensi menjadi pintu masuk baru bagi kelompok yang berkepentingan dengan PKI gaya baru, untuk menimbulkan kekacauan lebih besar lagi dalam bentuk lain.

Minimal terjadi disintegrasi di kalangan generasi muda dalam menyikapi bahayanya komunisme, yang jelas-jelas tidak memiliki tempat untuk tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia yang berlandaskan ketuhanan ini.

Ketiga, upaya rekonsiliasi dan melupakan konflik di kalangan anak, cucu keturunan yang terlibat dalam gerakan PKI memang keniscayaan. Bangsa ini tak boleh dihantui dendam sejarah terus-menerus.

Sejarah kelam itu harus diposisikan secara benar. Disimpan dalam catatan sejarah secara objektif. Lalu semua pihak mengakui dan menyadari kekeliruan posisinya pada masa lampau untuk diperbaiki pada masa kini. Saling melupakan dan memaafkan.

Toh, tak ada gunanya terus-menerus terbebani peristiwa sejarah. Apalagi, kalau menjadi agenda kepentingan pertentangan ideologi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bangsa ini menanggung beban konflik sejarah bila rekonsiliasi yang alami dan murni tidak terwujud.

 
Sejarah kelam itu harus diposisikan secara benar. Disimpan dalam catatan sejarah secara objektif.
 
 

Rekonsiliasi sejati terjadi jika semua pihak melupakan kepentingan ideologi kelompoknya dan merujuk ideologi negara yang sudah disepakati. Kemudian ideologi tersebut diteguhkan, dikukuhkan sebagai prinsip dasar yang diterima bersama.

Dengan menjauhkan upaya penafsiran sepihak yang dipaksakan kepada pihak lain, yang pada akhirnya penafsiran itu diposisikan seakan di atas konstitusi. Penafsiran seperti ini berpotensi membuka luka lama dan membahayakan integrasi bangsa pada saat ini dan akan datang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Eropa Kian Suram

Inflasi di Eropa meningkat signifikan menjadi 9,1 persen pada Agustus 2022.

SELENGKAPNYA

Sukarno: Ini Gerakan Keblinger!

Setelah mendengar laporan itu, Presiden Sukarno memerintahkan agar gerakan G-30-S dihentikan.

SELENGKAPNYA

Fikih Moderat Qaradhawi

Menurut Syekh Qaradhawi, fanatisme menunjukkan ketidakjernihan sikap dalam berpikir.

SELENGKAPNYA