
Kabar Utama
Eropa Kian Suram
Inflasi di Eropa meningkat signifikan menjadi 9,1 persen pada Agustus 2022.
JAKARTA -- Prospek perekonomian negara-negara Eropa semakin suram. Resesi membayangi Benua Biru akibat krisis energi yang berdampak ke berbagai sektor. Pemerintah Indonesia dinilai harus mewaspadai dan mengantisipasi dampak yang mungkin ditimbulkan dari gejolak ekonomi di Eropa.
Kian suramnya proyeksi perekonomian Eropa diungkapkan Kepala Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde. Dia mengatakan, aktivitas bisnis akan melambat dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini karena tingginya harga energi dan pangan akibat Rusia-Ukraina telah memperlemah daya beli konsumen.
Lagarde menyampaikan hal tersebut dalam pidatonya di Parlemen Eropa terkait kemungkinan Eropa mengalami resesi. Dia mengatakan, 2023 akan akan menjadi tahun yang sulit dan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun depan diprediksi negatif. "Seperti yang kita yakini bahwa kuartal keempat 2022 juga akan negatif," kata Lagarde seperti dikutip dari ABC News, Rabu (28/9).
Ekonomi yang tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut didefinisikan sebagai resesi. Namun, Komisi Eropa menggunakan indikator yang lebih luas, salah satunya mengenai angka lapangan kerja.
"(Invasi Rusia ke Ukraina) Masih membayangi Eropa, menaikkan harga energi yang memperdalam pengeluaran konsumen dan membuat ongkos produksi bagi pengusaha semakin tinggi," kata Lagarde.
Lagarde mengatakan, inflasi meningkat signifikan menjadi 9,1 persen pada Agustus 2022. Menurut proyeksi ECB, tingkat inflasi tahunan di Eropa pada 2022 sebesar 8,1 persen.
Bayang-bayang resesi Eropa diperburuk kabar dari Jerman. Perekonomian terbesar di Eropa itu mengirim sinyal resesi. Survei kepercayaan bisnis IFO yang merupakan indikator utama perekonomian Jerman, menunjukkan penurunan selama empat bulan berturut-turut.
"Tingginya harga komoditas dan energi memberatkan permintaan dan menekan margin keuntungan. Perusahaan-perusahaan tidak dapat lagi membebankan biaya produksi yang tinggi ke konsumen dengan mudah seperti bulan-bulan awal tahun ini," kata Kepala Ekonom Zona Euro di Bank ING, Carsten Brzeski.
Resesi sudah dirasakan di Inggris. Kepala sekolah melaporkan banyak anak yang kelaparan atau bersembunyi di ruang bermain karena tidak bisa membeli makan siang.
The Guardian melaporkan, salah satu sekolah di Lewisham, London mengatakan pada Chefs in Schools, ada seorang anak yang berura-pura makan di luar sekolah dengan kotak bekal yang kosong. Hal ini karena ia tidak memenuhi syarat makan siang gratis di sekolah. Tapi juga tidak ingin teman-temannya tahu tidak ada makanan di rumahnya.

"Kami mendengar tentang anak-anak yang begitu kelaparan hingga memakan penghapus di sekolah," kata Chief Executive Officer Chefs in Schools Naomi Duncan.
Di Inggris, anak bayi sampai berusia dua tahun berhak mendapatkan makan gratis. Tapi setelah itu hanya anak-anak yang penghasilan orang tuanya kurang dari 7.400 pounds per tahun yang mendapatkan makan siang gratis.
Dampak ke RI
Kalangan ekonom mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai dampak krisis yang melanda Eropa. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, krisis di Eropa perlu diwaspadai karena memiliki tiga transmisi dampak ke Indonesia.
Pertama, transmisi dari efek moneter karena inflasi yang tinggi, Suku bunga naik membuat investor global melakukan pengalihan aset ke instrumen berdenominasi dolar AS.
Kedua, transmisi perdagangan karena pelemahan permintaan di Eropa baik bahan baku maupun barang konsumsi membuat prospek ekspor Indonesia terpengaruh.
Ketiga, transmisi dari penurunan pendapatan berbagai sektor dibarengi dengan efek psikologis konsumen yang menahan belanja mengakibatkan guncangan. Sebagai contoh, pembeli rumah menggunakan KPR di dalam negeri terdampak oleh naiknya tingkat suku bunga pinjaman.
“Apalagi 78 persen pembelian rumah menggunakan skema KPR. Maka variabel suku bunga disertai tingginya inflasi menyurutkan minat pembelian sektor properti,” kata dia.
Menurutnya, pemerintah perlu memperkuat pertahanan moneter dengan mendorong masuknya devisa hasil ekspor, terutama sektor berbasis komoditas yang selama ini menikmati booming harga.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy turut mengingatkan agar krisis energi yang melanda beberapa negara di Eropa perlu diantisipasi. Hal ini mengingat kondisi krisis energi sebelumnya memberikan efek ketidakpastian dalam proses pemulihan ekonomi global.
Apalagi, beberapa negara Eropa yang mengalami krisis energi adalah negara-negara yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB) global. "Sehingga ketika negara-negara ini terkena krisis energi dan berdampak terhadap pemulihan ekonomi mereka, maka secara tidak langsung akan ikut memengaruhi timeline pemulihan ekonomi global," kata dia.
Toko tutup
Toko roti di Jerman yang telah beroperasi selama 90 tahun mengumumkan akan menutup usahanya. Pada Oktober mendatang, keluarga Engelbert Schlechtrimen akan mematikan oven mereka untuk selamanya setelah tidak mampu lagi menanggung kenaikan harga energi akibat perang Rusia di Ukraina.

Keluarga Engelbert Schlechtrimen telah menggeluti bisnis roti buatan rumahan. Mereka memproduksi roti gulung gandum, roti gandum hitam, dan kue cokelat di Kota Cologne, Jerman. Keluarga Schlechtrimen mendirikan toko roti di Cologne sebelum Perang Dunia II.
Engelbert (58 tahun) mengambil alih bisnis toko roti dari ayahnya pada 28 tahun lalu. Engelbert kemudian mengubahnya toko rotinya menjadi toko organik yang menggunakan resep tradisional. Dia sama sekali tidak menggunakan bahan kimia tambahan dalam produk rotinya.
Namun, inovasi ini tidak dapat menyelamatkan bisnis toko roti keluarga tersebut setelah beroperasi selama hampir satu abad. Toko roti Schlechtrimen menjadi salah satu korban krisis energi Eropa, yang didorong oleh pengurangan gas alam Rusia.
Jerman menggunakan gas alam untuk memanaskan rumah, menghasilkan listrik, dan pembangkit listrik. Kenaikan harga energi dan listrik telah menekan bisnis yang sudah susah payah bertahan dengan kenaikan biaya lain karena kenaikan inflasi.
“Kami telah menghadapi beberapa krisis pada saat yang berbarengan, yaitu lowongan pekerjaan, kekurangan sumber daya manusia, penutupan karena pandemi virus korona, kenaikan biaya bahan baku yang ekstrem, dan sekarang ledakan biaya energi,” kata Engelbert, Rabu (28/9).
Engelbert mengatakan, dia sudah menghadapi biaya bahan baku yang naik 50 persen. Sekarang dia juga harus menghadapi krisis energi. Dia berusaha menghemat energi sebisa mungkin, tetapi penghematan ini tidak cukup untuk menutupi biaya pengeluaran yang membengkak.
“Sejauh ini, kami melihat peningkatan (harga energi) sekitar 70 persen, karena kami memanaskan tungku dengan minyak diesel. Kenaikan harga empat kali lipat harus diwaspadai,” katanya.

Engelbert juga menaikkan harga produknya untuk menutupi lonjakan biaya pengeluaran. Namun, pelanggan justru semakin sepi dan beralih ke penjual makanan siap saji, yang diproduksi secara industri dengan harga lebih murah.
Di tengah krisis ekonomi dan meningkatnya inflasi masyarakat memilih untuk menahan pengeluaran. Akibatnya, toko roti keluarga Engelbert tidak sanggup mempertahankan bisnisnya.
Schlechtrimen bukan satu-satunya produsen roti yang berjuang mempertahankan bisnisnya di Jerman. Hampir semua toko roti kecil milik keluarga di seluruh Jerman mengalami kesulitan menutupi ongkos pengeluaran mereka.
“Banyak bisnis di perdagangan roti khawatir tentang bagaimana mereka akan melewati beberapa bulan ke depan. Mereka menghadapi tsunami kenaikan biaya. Kami ingin melihat bailout keuangan untuk toko roti kami, dengan pemerintah federal memberikan bantuan untuk membantu bisnis kami secara efektif, cepat, dan tidak birokratis,” kata Direktur Pelaksana Konfederasi Roti Jerman, Friedemann Berg.
Pemerintah Jerman bulan ini mengumumkan investasi tambahan sebesar 65 miliar euro, sebagai langkah untuk mengurangi dampak inflasi dan harga energi yang tinggi bagi konsumen. Tetapi bagi orang-orang seperti Schlechtrimen, bantuan itu mungkin datang terlambat.
Negara dengan ekonomi terbesar Eropa, Jerman, mengirimkan sinyal resesi. Survei kepercayaan bisnis IFO menunjukkan penurunan ekonomi Jerman selama empat bulan berturut-turut karena inflasi tinggi, yang dipicu oleh kenaikan harga gas alam.
Jerman sangat bergantung pada gas alam murah dari Rusia. Moskow telah mengurangi pasokan gas alam sejak sebelum invasi ke Ukraina pada 24 Februari. Gas digunakan untuk menghangatkan rumah, menjalankan pabrik, dan menghasilkan listrik.
Para pejabat Eropa mengatakan, pemotongan pasokan gas tersebut merupakan upaya untuk menekan pemerintah agar tidak memberikan dukungan kuat mereka untuk Ukraina. Pemotongan pasokan gas juga merupakan tindakan balasan atas sanksi ekonomi yang dijatuhkan Barat terhadap Rusia.
Perusahaan utilitas Jerman, RWE, pada Ahad (25/9) mengumumkan, mereka akan menerima pengiriman pertama gas alam cair dari Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi tahun ini. Dalam kesepakatan terpisah, RWE akan bermitra dengan Masdar yang berbasis di UEA untuk mengeksplorasi proyek energi angin lepas pantai lebih lanjut.
Krisis energi juga dirasakan oleh Slovakia. Perdana Menteri Slovakia, Eduard Heger, mengatakan, melonjaknya biaya listrik telah membuat ekonomi negara itu berisiko runtuh. Dalam wawancara dengan Financial Times, Heger mengatakan, kenaikan harga energi setelah invasi Rusia ke Ukraina akan ‘membunuh’ ekonomi negara itu, kecuali jika mereka menerima bantuan senilai miliaran euro dukungan dari Komisi Uni Eropa.
Heger juga memperingatkan, dia terpaksa akan mengambil langkah untuk menasionalisasi pasokan listrik negara itu, jika bantuan tidak datang.
Kebangkitan Italia
Timnas Italia sedikit mengobati kekecewaan gagal ke Piala Dunia 2022
SELENGKAPNYAAnugerah CSR 2022, Tebar Kebaikan untuk Sekitar
Penerima Anugerah CSR 2022 diharapkan dapat terus meningkatkan konsistensinya.
SELENGKAPNYADaerah Laporkan Stok Vaksin Kosong, Kemenkes Klaim Cukup
Stok vaksin yang menipis tidak hanya untuk dosis ketiga atau booster.
SELENGKAPNYA