Opini
Divergensi Sufi Sunni dan Sufi Falsafi
Dari empat periode perkembangan tasawuf, dapat dirumuskan dua aliran utama tasawuf.
EKA PUTRA WIRMAN, Guru Besar Pemikiran Islam UIN Imam Bonjol Padang
Asketisme merupakan paham dan prilaku menjauhi kenikmatan duniawi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual. Sepanjang sejarahnya, asketisme Islam telah mengalami beberapa kali pergeseran orientasi.
Periode awal sebagai titik mula, asketisme Islam berorientasi kepada ibadah ritual dan kehidupan zuhud sebagai upaya meraih ridha Allah SWT. Tokoh asketisme Islam periode ini adalah para sahabat Rasulullah penghuni asrama Masjid Nabawi Madinah (as-Suffah) seperti Abu Hurairah dan Abu Dzar al-Ghiffari.
Periode kedua terjadi pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, di samping fully concerning pada ibadah ritual dan zuhud, asketisme Islam sudah berorientasi pada diskursus jiwa dan kesempurnaan akhlak (tazkiyah al-nafs). Tokoh era ini dipersonifikasikan oleh al-Hasan al-Bashri (w.110H), Sufyan al-Tsauri (w.161H), Rabiah al-Adawiyah (w.185H), Ma’ruf al-Karkhi (w.201H), al-Harits al-Muhasibi (w.243H), Dzunnun al-Mashri (w.245H), dan Junaid al-Baghdadi (w.298H).
Geliat asketisme Islam sangat marak sehingga melahirkan konsep-konsep utama, yaitu al-khauf (takut murka Allah), al-raja’ (berharap ridha Allah), dan al-mahabbah (cinta mati pada Allah).
Al-Mas’udi dalam kitab Kasyf al-Dzunun menyebutkan di era khalifah al-Ma’mun (w.218H) seorang ahli ibadah bernama Abu Hasyim al-Kufi (w.150H) sudah dikenal sebagai seorang sufi. Ini menjadi pertanda bahwa terminologi tasawuf dan sufi telah lahir pada abad kedua dan ketiga Hijriyah sebagai satu dimensi sosial dan keilmuan.
Terminologi tasawuf dan sufi telah lahir pada abad kedua dan ketiga Hijriyah sebagai satu dimensi sosial dan keilmuan.
Pada periode ketiga, abad keempat dan kelima Hijriyah, praktik asketisme Islam bertransformasi menjadi entitas baru bernama tasawuf. Para sufi periode ini antara lain Abu Thalib al-Makki (w.386H), Abdul Karim al-Qusyairi (w.465H) dan Abu Hamid al-Ghazali (w.505H).
Beberapa konsep utama tasawuf yang lahir di zaman ini adalah konsep al-maqamat wa al-ahwal (tangga dan kondisi spritual) dan konsep trilogi ma’rifat al-takhalli (kosong dari akhlak buruk), al-tahalli (diisi dengan akhlak mulai), dan al-tajalli (menyaksikan keagungan Allah).
Periode keempat, pada abad keenam dan ketujuh Hijriyah terjadi lompatan jauh orientasi tasawuf dari peningkatan ibadah dan pembinaan jiwa (human morality) menjadi penyatuan wujud manusia dengan Tuhan (unity of being). Tasawuf memasuki era dan orientasi baru setelah bergumul dengan pemikiran filsafat terutama pemikiran Plato dan Plotinus.
Orientasi panteisme versi tasawuf ini disempurnakan oleh Muhyiddin Ibn Arabi (w.638H) dengan ajaran wihdatul wujud. Embrio ajaran panteisme telah muncul sebelum Ibn Arabi, yaitu oleh Abu Yazid al-Busthomi (w.264H) dengan ajaran al-ittihat, dilanjutkan oleh Husein ibn Mansur al-Hallaj (w.309H) dengan konsep al-hulul, dan Abu al-Futuh Sahruwardi al-Maqtul (w.586H) dengan gagasan hikmah isyraqiyah.
Setelah Ibn Arabi, panteisme dilanjutkan oleh Abdul Haq Ibn Sab’in (w.669H) melalui konsep al-wihdah al-mutlaqah yang menegaskan hanya ada satu wujud yaitu Allah.
Dari empat periode perkembangan tasawuf, dapat dirumuskan dua aliran utama tasawuf. Pertama, tasawuf sunni yang berorientasi kepada peningkatan ibadah ritual, hidup zuhud, dan kesucian jiwa. Aliran ini disebut dengan tasawuf sunni atau akhlaki merujuk ajaran para imam ahlussunnah wal jamaah dalam akidah, fikih, dan akhlak (tazkiyah al-nafs).
Kedua, tasawuf falsafi yang berorientasi kepada kemanunggalan manusia dengan Sang Pencipta sehingga menghilangkan garis demarkasi yang memisahkan antara si pencari (thalib) dengan Yang Dicari (mathlub).
Tasawuf falsafi mengadopsi konsep emanasi (al-faidh) dan alam idea (‘alam al-mutsul) Plato dan Plotinus. Dalam teori alam idea, Plato menyebutkan bahwa alam semesta hanyalah bayangan Tuhan bukan entitas mandiri.
Plato menafikan batas pemisah antara Pencipta dan alam. Dualisme yang dilekatkan pada Tuhan dan alam hanya ada di hadapan indra dan pikiran manusia saja.
Plato menafikan batas pemisah antara Pencipta dan alam. Dualisme yang dilekatkan pada Tuhan dan alam hanya ada di hadapan indra dan pikiran manusia saja. Pada hakikatnya hanya ada satu wujud, yaitu Tuhan. Konsep ini kemudian direproduksi menjadi ajaran inti tasawuf falsafi seperti wihdatul wujud, al-ittihad, al-hulul, dan al-isyraq.
Dua filosof Muslim terkemuka al-Farabi dan Ibn Shina juga mengelaborasi teori emanasi Plato dan melahirkan teori 10 akal dalam wujud. Menurut kedua filosof Muslim ini, penciptaan alam berawal dari proses Tuhan berpikir atas diri-Nya lalu melahirkan akal pertama. Akal pertama memikirkan Tuhan lahirlah akal kedua. Akal pertama memikirkan diri sendiri muncul jiwa pertama, yaitu langit.
Begitu seterusnya sampai tercipta akal kesepuluh dan jiwa kedelapan. Setiap jiwa mengatur dan menggerakkan satu planet mulai dari saturnus, jupiter, mars, matahari, merkurius, bulan sampai bumi beserta unsur utama berupa ruh, api, udara, air, dan debu.
Proses evolusi alam semesta versi teori 10 akal dalam wujud ini ditemukan juga pada tasawuf falsafi berupa ajaran martabat tujuh dan Nur Muhammad yang digagas oleh al-Burhanpuri Gujarat dan dikembangkan oleh Syamsuddin al-Sumatrani Aceh.
Proses evolusi alam semesta versi teori 10 akal dalam wujud ini ditemukan juga pada tasawuf falsafi yang digagas al-Burhanpuri Gujarat dan dikembangkan oleh Syamsuddin al-Sumatrani Aceh.
Martabat pertama dari martabat tujuh adalah ‘Alamul Ahadiyyah, sebuah alam yang hanya ada zat Allah sendirinya tanpa sifat dan perbuatan. Martabat kedua adalah ‘Alamul Wahdah yang disebut juga dengan cahaya (nur) Muhammad yang bersifat Qadim dan azali.
Martabat ketiga adalah ‘Alamul Wahidiyyah, Allah mulai menciptakan melalui kata “kun”. Martabat keempat adalah ‘Alamul Arwah, diciptakannya nyawa atau ruh universal yang merupakan esensi api, air, angin, dan tanah.
Martabat kelima adalah ‘Alamul Mitsal, yaitu distribusi ruh kepada makhluk. Martabat keenam adalah ‘Alamul Ajsam, terciptanya jasad halus. Martabat ketujuh adalah ‘Alamul Insanul Kamil ketika Allah meniupkan nyawa ke dalam tubuh Adam.
Hilangnya garis pemisah antara Tuhan dan alam dalam teori alam idea Plato yang diadopsi tasawuf falsafi memunculkan syatahat (kalimat ekstase) dari para sufi. Al-Hallaj berkata, “Akulah Kebenaran (Tuhan) itu”, “Maha suci Aku, alangkah Mulianya Aku”.
Begitu pula dengan pernyataan Syekh Siti Jenar, “Di sini tidak ada Siti Jenar, di sini hanya ada Allah”. Ungkapan syatahat mengakibatkan al-Hallaj dihukum gantung atas perintah khalifah al-Muqtadir Billah. Begitu pula dengan Syekh Siti Jenar yang dihukum mati oleh wali songo.
Dengan hilangnya dinding pemisah antara wujud Tuhan dan wujud manusia membuat seorang sufi falsafi dapat berselancar di alam arwah, menelisik rahasia langit dan menjelajah alam malaikat tanpa batas.
Dengan hilangnya dinding pemisah antara wujud Tuhan dan wujud manusia membuat seorang sufi falsafi dapat berselancar di alam arwah, menelisik rahasia langit dan menjelajah alam malaikat tanpa batas. Sufi falsafi dapat berjumpa dengan para Nabi dan orang-orang saleh di alam arwah setiap waktu. Bahkan pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW dan nabi lain yang telah lama meninggal dapat dilakukan sufi falsafi di alam nyata (yaqdzah) sebagai bentuk terbukanya (kasyaf) tirai (hijab) pemisah antara Tuhan dengan alam.
Selain dapat mengetahui rahasia alam fisik dan metafisik, sufi falsafi yang telah mencapai tingkat spiritual paripurna juga melaksanakan tugas sebagai tiang penyangga alam semesta. Sufi falsafi yang mengatur sirkulasi alam semesta sesuai fungsi dan tugasnya disebut dengan wali autad, wali badal, dan wali qutub atau wali gaus.
Ilmu para sufi falsafi sejatinya tidak terbatas (unlimited). Sebab, refleksi dari ilmu Tuhan yang Maha Luas. Hal ini terjadi karena sufi falsafi mampu menembus alam malakut dan hadrat Rabbani. Membuka terbuka tabir (hijab) langit dan di bumi yang dianggap rahasia oleh manusia biasa.
Sementara itu, ilmu sufi sunni terbatas pada apa yang tertulis dalam kitab dan terhampar di alam semesta. Sufi sunni dengan jiwa yang bening (qalbun salim) menerima tetesan ilmu dan hikmah dari langit, tapi tidak pernah berenang dalam sifat ilmu Tuhan yang azali dan tak bertepi.
Sedalam dan setinggi apapun tingkat spiritualitas sufi sunni, mereka tetap merawat keyakinan adanya dinding pemisah antara Khalik dengan makhluk. Khalik berada pada keagungan dan ketidakberhinggaan-Nya (infinite). Sedangkan, manusia adalah makhluk bumi yang memiliki keterbatasan (finite) yang senantiasa mengetuk pintu langit mengharapkan ridha dan cinta-Nya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Tragedi 30 September 1965, Sejumlah Versi
Tak lama setelah peristiwa G-30-S/PKI, bermunculan berbagai analisis soal pemicunya.
SELENGKAPNYAMuncul Rumor Presiden Xi Jinping Dikudeta
Muncul juga laporan banyak penerbangan yang dibatalkan di tengah latihan militer.
SELENGKAPNYAAkhlak Bertetangga
Hidup rukun dalam bertetangga adalah akhlak yang sangat ditekankan dalam Islam.
SELENGKAPNYA