
Kronik
Mengungkap Nasihat Mao Kepada Aidit
Selain menguak soal peranan Mao Tse-tung, Fic dalam buku ini juga berani membuka misteri di Halim Perdana Kusuma pada 1 Oktober 1965.
Dialog antara Mao Tse-tung (pemimpin besar Partai Komunis Cina) dan DN Aidit (tokoh PKI) tersebut termuat dalam buku baru mengenai kudeta 1 Oktober 1965 yang ditulis ilmuwan Cekoslowakia, Victor Miroslav Fic.
Selama lebih dari 35 tahun, Profesor Emeritus di Departemen Politik Universitas Brock, ST Catharines, Kanada, ini menelisik data yang sangat misterius mengenai pergolakan politik yang dikenal sebagai G30S PKI itu.
Bagi banyak pihak, tulisan Fic yang Jumat (30/9) siang diluncurkan Penerbit Yayasan Obor Indonesia jelas terasa seperti dentuman halilintar yang menyambar di siang bolong. Bayangkan saja, Fic berani menyatakan tesisnya yang memang selama ini luput dari perhatian publik: Tragedi Kudeta I Oktober 1965 itu merupakan konspirasi antara Soekarno-Aidit-Mao Tse-tung untuk membersihkan pucuk pimpinan Angkata Darat.
Namun, pada akhirnya tragedi itu menjatuhkan Soekarno sendiri.
Fic dalam buku itu memulai topik utamanya dengan membuka peristiwa yang selama ini minim sekali dipublikasi. Peristiwa bermula pada sebuah kejadian yang menimpa mendiang Presiden Sukarno di Istana Mereka pada 4 Agustus 1965. Saat itu kesehatan Panglima Besar Revolusi itu semakin memburuk. Dia sempat jatuh pingsan sebanyak empat kali dan muntah-muntah 11 kali akibat gangguan ginjal yang akut.
Melihat itu, tim dokter Presiden yang berasal dari Cina yakin bahwa umur Sukarno sudah di ujung tanduk. Mereka yakin hanya dengan satu serangan lagi, yakni berupa pingsan dan muntah, Presiden akan meninggal. Maksimal ia setiap saat bisa meninggal atau mengalami kelumpuhan.
Memburuknya kesehatan Presiden kemudian menyebar ke segenap penjuru petinggi politik. Berbagai spekulasi dan desas-desus segera menyebar menjadi pembicaraan, termasuk kemungkinan terjadinya suksesi ketika Presiden mangkat. Aidit yang saat itu sedang berada di Cina pun mendapat kabar buruk tersebut.

Keesokan harinya, yakni pada 5 Agustus 1965, ketika dia bertemu dengan Mao Tse-tung, di sebuah kawasan Zhongnanhai, Peking, keduanya pun mendiskusikan kondisi Presiden Sukarno. Di situlah Aidit meminta nasihat mengenai apa yang harus dilakukan bila Presiden meninggal. Dijawab oleh Mao, "Habisi para jenderal dan perwira senior itu dalam sekali pukul!"
Selang dua hari kemudian, pada 7 Agustus Aidit beserta rombongannya dengan pesawat yang disediakan Cina pun pulang ke Tanah Air. Setelah mendarat di Kemayoran, ia langsung ke Istana menemui Sukarno.
Fic di dalam buku ini menulis, karena seriusnya topik pembicaraan, maka Aidit perlu mengulang pertemuan dengan Presiden keesokan harinya di Istana Bogor.
"Dalam pertemuan Aidit dengan Presiden di kamar-kamar tidurnya berdua saja di Istana Bogor itulah Aidit menyampaikan pokok-pokok utama pesan Mao. Sudah tentu dengan bahasa yang paling halus yang dapat dicarinya," tulis Miroslav Fic di dalam bukunya.
Diakui Fic, memang hasil pertemuan antara Aidit dan Sukarno tidak ada catatan tertulisnya karena sifatnya sangat rahasia. Namun, salah satu hasilnya adalah Sukarno sepakat pergi ke Cina untuk beristirahat panjang di Danau Angsa untuk memulihkan kesehatannya yang memburuk.
Fic bahkan menyimpulkan Sukarno, Aidit, dan Mao kemudian menyepakati sebuah perjanjian seperti yang ditulis sendiri oleh Aidit dalam suratnya tertanggal 10 November 1965 yang ditujukan kepada para kader partai:
"Sosro (Soekarno --Red) dan Tjeweng (Soebandrio): jelas tidak membuktikan kesetiakawanan apalagi memenuhi janji yang telah diucapkan, sebab dari sana semua persetujuan Sosro dengan tetangga (Cina --Red) akan digugat terus. Dalam memperjuangkan konsep partai kita tidak peduli akan korban, bila perlu Sosro jadi korban bila tidak memenuhi perjanjian," tulis Aidit yang ditujukan kepada CBD PKI se-Indonesia.
Selain menguak soal peranan Mao Tse-tung, Fic dalam buku ini juga berani membuka misteri di Halim Perdana Kusuma pada 1 Oktober 1965. Menurut Fic waktu itu terjadi 'adu kuat' antara Sukarno dan Aidit yang ingin berjalan sendiri tanpa Presiden.
Sebab, Keputusan No I Gestapu yang membubarkan kabinet Dwi Kora dan susunan anggota Dewan Revolusi tidak menyebut-nyebut nama Presiden lagi. Tarik ulur ini berlangsung cukup lama, yakni sampai datangnya pasukan Kostrad ke dekat area lapangan terbang tersebut.

Menanggapi buku karya Viktor Miroslav Fic, pakar sejarah Dr Taufik Abdullah mengatakan, buku setebal 447 halaman ini memang menarik. Dari analisis penulis, terlihat memang terjadi kesalahan fundamental yang dilakukan Aidit. Di kalangan sejarawan, data yang kini dimuat Fic juga sudah lama dibicarakan.
"Kalau ada keterlibatan Beijing dalam persitwa itu jadinya masuk akal saja. Keunggulan buku ini adalah mampu berbicara sangat rinci. Apa yang ditulis adalah sebuah hasil kerja yang akademis sekali. Tampak di beberapa bagian ia menulis dengan keyakinan sangat tinggi bahwa apa yang ditulisnya itu benar," kata Taufik Abdullah.
Tak beda dengan Taufik, tokoh NU, Solahuddin Wahid, mengatakan ia semakin percaya PKI itu adalah pihak yang melakukan gerakan pada 30 September 1965. Fakta yang ditulis Fic memang sangat mengejutkan dan masyarakat umum memang belum banyak yang tahu.
Editor buku tersebut, Bambang Murtianto mengatakan, selaku generasi muda yang tidak mengalami peristiwa itu, buku ini memang banyak memberikan data baru. Selain soal adanya nasihat dari Mao Tse-tung kepada Aidit, buku ini kembali memuat teka-teki mengenai peran Sukarno dalam peristiwa itu.
Menurut Bambang, dalam buku tersebut juga ada sebuah bagian di mana Sukarno ternyata sudah diberi tahu akan terjadi pembunuhan para jenderal. Sisi menarik lainnya adalah tentang kesaksian Bambang Widjanarko yang menyatakan Untung di depan Sukarno pernah menyatakan berani 'mengambil' tindakan kepada anggota Dewan Jenderal, asal itu memang diperintahkan Presiden.
Disadur dari Harian Republika edisi 01 Oktober 2005
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Bercadar, Wajib, Sunah, atau Mubah?
Terdapat berbagai pandangan para fuqaha (ahli fikih) tentang cadar
SELENGKAPNYAPerempuan dan Peradaban
Dua perempuan yang teguh menyiapkan generasi untuk tegaknya peradaban, yaitu istri Imran dan Maryam binti Imran.
SELENGKAPNYARatu Siti Aisyah We Tenriolle, Penyelamat Epos La Galigo
Siti Aisyah berjasa mengumpulkan naskah La Galigo dan menulis ulang ke dalam bahasa bugis kuno
SELENGKAPNYA