Geni
Pentingnya Pendidikan Formal dalam Industri Film
Pendidikan formal dianggap mampu mencetak sineas atau pegiat film yang lebih siap berkarya.
Pembuat film hebat tidak selamanya lahir dari sekolah film. Meski begitu, peran pendidikan formal dinilai tetap memiliki peran sentral dalam mendorong kemajuan positif di industri film Indonesia.
Pendidikan formal dianggap mampu mencetak sumber daya manusia yang lebih siap untuk berkarya di industri film. Pendidikan formal juga membantu membentuk karakter film maker yang disiplin dan matang secara teori maupun praktik.
Sutradara dan pendiri Jogja Film Academy Ifa Isfansyah, produser sekaligus pendiri International Design School (IDS) Andi Boediman, serta penulis naskah sekaligus dosen film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Titien Wattimena sepakat mengenai hal itu. Menurut Andi, kesadaran akan pentingnya pendidikan formal untuk insan perfilman mulai dirasakan ketika ia belajar film di luar negeri.
Selama menempuh pendidikan itu, dia bertemu orang-orang dari berbagai negara yang memiliki minat yang sama. Mereka lebih mudah bertukar ide, gagasan, bahkan mampu membangun komunitas film yang kuat.
Dia menggarisbawahi soal komunitas. "Ketika kita bertemu dengan orang-orang yang satu spirit, kita bisa mengembangkan rasa, belajar bareng, diskusi bareng, mengasah daya kritis, dan untuk film sendiri kalau pengen maju memang harus punya komunitas atau ya harus ada sekolahnya,” ujarnya dalam diskusi daring "Selaras Sineas" pada pertengahan Mei lalu.
Menurut Andi, untuk berkarya dan bekerja di industri film, seseorang idealnya harus memahami tujuh disiplin ilmu. Ketujuhnya yakni sinematografi, penyutradaraan, penulisan naskah, produksi, suara, dan penyuntingan, terlepas dari kemampuan khususnya.
Pengetahuan itu, kata dia, bisa didapat melalui pendidikan formal, bukan autodidak. "Karena biasanya, orang yang autodidak hanya fokus pada satu disiplin, misalnya sinematografi aja, editing aja, sudah,” kata Andi.
Titien Wattimena melihat, perbedaan antara lulusan pendidikan formal film dan yang bukan, cukup kentara. Alumnus IKJ itu mengaku, lebih mudah membaca bagaimana kemampuan lulusan pendidikan formal film karena mereka setiap hari belajar tentang berbagai unsur film selama tiga hingga empat tahun.
“Semisal aku mencari tim penulis itu bukan cuma yang jago nulis, tapi endurance-nya ada, disiplin, dia punya keberanian mempresentasikan idenya. Itu lebih terbaca dari mereka yang lulusan sekolah film,” kata Titien.
Ifa Isfansyah gelisah lantaran masih minimnya sekolah formal film yang menekankan praktikal, bukan cuma belajar teori semata. Pada 2010, ketika mulai menggagas Jogja Film Academy, Ifa merasa bahwa ekosistem struktur film di Yogyakarta belum kuat dan lengkap. Padahal, jika berkaca pada sejarah, Yogyakarta pernah mempunyai sekolah film dan banyak pembuat film kenamaan yang berasal dari Yogyakarta.
“Tapi, tiba-tiba generasinya seperti terputus. Dari kegelisahan itu saya merasa perlu dibentuk lagi sekolah formal. Memang ada ruang belajar dan diskusi seperti workshop, tapi menurut saya, pendidikan formal itu lebih berkelanjutan,” jelas Ifa.
Alasan lain mengapa memilih Yogyakarta sebagai kota didirikannya Jogja Film Academy. Selain karena cocok untuk aktifasi perkembangan ruang film, biaya hidup di Yogyakarta juga sangat terjangkau.
Menurut dia, faktor ini penting dipertimbangkan karena mayoritas mahasiswa yang berkuliah di perfilman adalah mereka yang mengikuti passion dan menggunakan biaya sendiri.
Saat ini, Jogja Film Academy sudah mengaplikasikan kurikulum di level diploma III (D-3). Untuk mahasiswanya sendiri, setiap tahun ada sekitar 70 orang sehingga setiap batch terdapat sekitar 200 mahasiswa.
Menurut Ifa, teknologi digital juga mendukung keyakinannya untuk mendirikan Jogja Film Academy. “Rasanya kalau ide itu muncul pada 1990-an, saya enggak mungkin realisasikan karena saat itu buat film masih butuh lab, sangat eksklusif. Tapi sekarang film menjadi sangat handy bisa pakai kamera sendiri, jadi rasanya di titik itu, setiap orang di berbagai daerah berhak untuk menceritakan kisahnya sendiri,” kata Ifa.
Sepengetahuan Ifa, saat ini setidaknya ada sekitar 30 jurusan film yang tersebar di berbagai institut maupun universitas di Indonesia. Di satu sisi, hal ini terasa menggembirakan, namun di sisi lain ada pertanyaan baru yang menghantui Ifa, yakni terkait kualitas para pengajarnya.
“Misal ada banyak universitas yang buka jurusan film, saya khawatir pengajarnya hanya dari mereka yang unggul di akademik saja, bukan dari pelaku industri,” kata Ifa.
Dia berharap, kemunculan jurusan film pada masa mendatang bisa disertai dengan SDM pengajar yang mumpuni. Dengan begitu, industri perfilman Tanah Air bisa benar-benar maju.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
El Real Pertegas Dominasi di Benua Biru
Keberhasilan El Real tak terlepas dari tangan dingin pelatih Carlo Ancelotti.
SELENGKAPNYAKekerasan Meningkat di Kashmir
Situasi kekerasan terus tereskalasi di Kashmir, sejak pengadilan India menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada pemimpin pro-kemerdekaan Kashmir Yasin Malik.
SELENGKAPNYAKamala Harris Dorong Pengetatan Aturan Senjata
Pemerintah AS akan mencari solusi untuk menangani masalah kekerasan dengan senjata api.
SELENGKAPNYA