
Tema Utama
Ibnu Hajar Sang Ulama Pengembara, Penulis Prolifik
Ibnu Hajar al-Asqalani memiliki kecintaan yang tinggi pada ilmu-ilmu agama.
OLEH HASANUL RIZQA
Ibnu Hajar al-Asqalani memiliki nama lengkap Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Ahmad al-Kinnani. Nisbah itu menunjukkan kabilah tempatnya berasal, Suku Kinanah.
Gelar al-Mishri dan asy-Syafii juga kerap ditambahkan pada dirinya. Sebab, ia diketahui berasal dari Mesir dan bermazhab fikih sejalan dengan Imam Syafii.
Ulama ini lahir pada 12 Sya’ban 773 Hijriyah—bertepatan dengan 1372 Masehi. Kalangan sejarawan berbeda pendapat mengenai lokasi kelahirannya. Ada yang berkata, Ibnu Hajar lahir di suatu daerah tepian Sungai Nil, Mesir. Namun, beberapa riwayat menyatakan, fakih yang juga ahli hadis itu berasal dari Kota Asqalan (Ashkelon), Palestina. Karena itulah, dirinya masyhur dengan julukan “al-Asqalani”.
Tidak hanya mengenai gelar, nama panggilannya pun menuai perdebatan. Pemilik nama asli Ahmad bin Ali itu memang terkenal dengan sapaan Ibnu Hajar. Ada cerita yang sering disampaikan, yakni bahwa sebutan itu terjadi karena masa kecilnya yang penuh perjuangan sebagai seorang pembelajar.
View this post on Instagram
Kisahnya sebagai berikut. Saat masih berusia anak-anak, Ahmad menjadi salah seorang santri di sebuah madrasah lokal. Berbeda dengan kebanyakan kawannya, di kelas ia termasuk yang sukar mencerna pelajaran. Para guru dengan penuh kesabaran membimbingnya.
Akan tetapi, anak yatim-piatu itu belum juga mencapai kompetensi sebagaimana umumnya para murid. Keadaan itu menekannya secara psikis. Hingga suatu malam, ia memutuskan untuk pergi tanpa pamit dari pondok madrasah tersebut.
Keesokan paginya, rencana tersebut dilaksanakannya. Maka semakin lama, makin jauh langkah kakinya dari madrasah. Meninggalkan para ustaz dan teman-teman untuk kembali ke kampungnya.
Kemudian, turunlah hujan. Ahmad kecil langsung berlari untuk berteduh di bawah pohon. Tanpa sengaja, ia mendapati sebongkah batu di hadapannya. Satu titik pada permukaan batu itu tampak cekung.
Sebutan Ibnu Hajar terjadi karena masa kecilnya yang penuh perjuangan sebagai seorang pembelajar.
Anak ini menyadari, keadaan batu itu karena menerima tetesan air secara terus-menerus. Seketika, ia mendapatkan pelajaran berharga. “Batu yang begitu keras dapat berlubang. Kalau begitu, keadaanku juga bisa berubah bila terus-menerus menerima ilmu. Aku tidak boleh menyerah,” gumamnya.
Maka Ahmad tidak jadi pulang kampung. Ia kembali ke madrasah dengan semangat yang lebih besar dari sebelumnya. Di kemudian hari, tekadnya terbukti berhasil. Karena mengambil pelajaran dari batu—demikian menurut rawi kisah ini—lelaki itu lantas dijuluki “putra batu” atau Ibnu Hajar.
Betapapun bagusnya amanat dari cerita tersebut, banyak sejarawan yang meragukan kebenarannya. Dalam kitab Syadzarat adz-Dzahab fii Akhbar man Dzahab, Ibnul Imad al-Hanbali menjelaskan, sebutan “Hajar” sesungguhnya adalah nisbah kepada salah seorang kakek Ahmad bin Ali al-Kinnani.
Dinamakan demikian karena kakek tersebut sejak masih mudanya memiliki sifat yang sangat pendiam, sampai-sampai orang mengibaratkannya sebagai batu (hajar).
Kembara ilmu
Ibnu Hajar al-Asqalani sudah kehilangan kedua orang tuanya tatkala masih anak-anak. Ayahnya, Nuruddin Ali, merupakan seorang pemuka agama Islam yang juga mahir menulis puisi-puisi religius. Bapaknya itu berpulang ke rahmatullah pada 777 H/1375 M, ketika Ibnu Hajar berusia empat tahun.
Adapun ibundanya meninggal dunia beberapa tahun lebih dahulu. Tujjar, demikian nama sang ibu, terkenal piawai berniaga bahkan sejak masih gadis belia. Hal itu tak mengherankan karena keluarga tempatnya berasal mengendalikan sebuah perusahaan besar yang sukses dan ekspansif.
Sebelum ajal datang, Nuruddin Ali telah berwasiat agar putranya diasuh seorang sahabatnya yang merupakan pengusaha besar, bernama Abu Bakar Muhammad al-Kharubi. Di bawah asuhan al-Kharubi, Ibnu Hajar tumbuh menjadi pribadi yang sangat menjaga diri dari dosa-dosa.
Darinya pula, anak yatim-piatu itu mulai terbiasa dengan perjalanan jauh. Sebagai seorang pedagang, al-Kharubi memang sering berpergian ke pelbagai kota, baik di dalam maupun luar Jazirah Arab. Tujuan utamanya emang berniaga, tetapi tidak jarang disempatkannya pula untuk bersilaturahim dengan ulama-ulama setempat. Sebab, dirinya mencintai ilmu-ilmu agama.

Ibnu Hajar pun memperoleh fasilitas untuk pendidikan yang amat baik. Saat masih berumur lima tahun, anak lelaki ini belajar di sebuah madrasah di Kota Makkah. Beberapa gurunya di sana adalah Syamsuddin bin al-Alaf dan Shadruddin Muhammad bin Abdur Razaq as-Sifthi. Sekitar empat tahun kemudian, sang murid berhasil menghafal keseluruhan Alquran.
Sejak saat itu, semangatnya untuk mengunjungi majelis-majelis ilmu kian membara. Saat ikut menunaikan ibadah haji bersama dengan al-Kharubi, Ibnu Hajar mendapati pelbagai halakah yang membahas banyak kitab keilmuan Islam.
Hingga usai musim haji, ia pun berhasil menamatkan dan bahkan menghafalkan isi sejumlah buku penting. Sebut saja, Umdad al-Ahkam karya al-Maqdisi, Mukhtasar karya Ibnu Hajib, Mulhamah al-‘Irab karya al-Harawi, Al-Fiyah Imam Malik, dan Tambih karya al-Syirazi.
Dari Hijaz, rihlah intelektualnya berlanjut ke Kairo, Mesir. Di negeri delta Sungai Nil tersebut, ia mulai menekuni bidang ilmu hadis dan fikih, khususnya yang mengikuti mazhab Syafii. Sang santri kelana lalu menuju ke Iskandariah, Baitul Makdis, dan Damaskus. Bahkan, langkah kakinya sampai ke Qush (Afghanistan) dan Hadhramaut (Yaman). Perjalanan panjang ditempuhnya semata-mata untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Ibnu Hajar mempelajari syariat dari level dasar hingga lanjutan. Beberapa sumber menyatakan, Ibnu dirinya berguru kepada lebih dari 600 alim ulama. Jumlah tersebut tidak tertandingi siapapun pembelajar pada masanya. Hal itu menandakan kuatnya tekad dalam dada al-Asqalani.
Dengan berkelana, ia menjumpai banyak ahli ilmu yang benar-benar tepercaya. Perjuangannya menjadi sangat penting, terutama saat dihubungkan dengan bidang kajian yang diminatinya, yakni hadis. Mendapatkan riwayat dari rawi yang kredibel tentunya memerlukan upaya yang besar.
Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW diperolehnya dari banyak alim yang tepercaya. Sebagai contoh, hadis riwayat sahabat Rasul SAW Abu Hurairah diperolehnya dari Abdurrahman bin al-Hafizh adz-Dzahabi dan Ibnu ‘Irfah al-Maliki. Tidak sedikit pula hadis dikutipnya dari Ahmad bin Umar al-Baghdadi, khususnya yang diriwayatkan Abu al-Abbas.
Di luar disiplin hadis, ia juga belajar pada para pakar beragam ilmu lainnya. Untuk menyebut beberapa orang saja di antaranya adalah gurunya yang bernama Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad. Sosok yang berasal dari Baalbek (Lebanon) itu pakar qiraat. Di samping itu, ada Majduddinal-Fairus ‘Abadi yang ahli gramatika bahasa Arab.
Sebagai bentuk takzimnya kepada para syekh, Ibnu Hajar menulis Al-Majma’ al-Mu’assan bi al-Mu’jam al-Mufahras. Dalam kitab tulisannya itu, ia membuat biografi singkat para gurunya. Nama-nama mereka dikelompokkannya berdasarkan disiplin yang diajarkan.
Sebagai contoh, dalam keilmuan hadis. Tidak hanya menjelaskan profil mereka, al-Asqalani juga memaparkan apa saja hadis yang pernah didengarnya dari para guru tersebut.

Produktif
Usia manusia memang terbatas, tetapi karyanya akan tetap hidup dan terus menginspirasi. Itulah yang terjadi pada Ibnu Hajar al-Asqalani. Di sela-sela kesibukannya dalam mencari ilmu dan mengajar, ia masih sempat menghasilkan banyak karya.
Sebagai seorang penulis, dirinya tergolong sangat produktif. Tercatat, ada lebih dari 20 judul kitab karyanya yang masih bisa dijumpai di masa kini. Bahkan, pembukaan Taqribut Tahdzib mengungkapkan, sang alim telah menghasilkan lebih dari seratusan kitab di sepanjang hayatnya.
Beberapa di antaranya yang amat populer hingga saat ini adalah Fath al-Bari dan Bulugh al-Maram. Keduanya menjadi bacaan wajib bagi kaum santri di Indonesia.
Ibnu Hajar memerlukan waktu 25 tahun untuk menyelesaikan penulisan Fath al-Bari. Naskah awalnya mulai dikerjakan tatkala dirinya berusia 44 tahun.
Fath al-Bari merupakan penjelasan (syarh) al-Asqalani terhadap kitab Shahih al-Bukhari. Karyanya itu sangat populer. Hingga kini, kaum Muslimin acap kali menjadikannya rujukan dalam memahami hadis-hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. Ibnu Hajar memerlukan waktu 25 tahun untuk menyelesaikan penulisan Fath al-Bari. Naskah awalnya mulai dikerjakan tatkala dirinya berusia 44 tahun.
Fath al-Bari menuai pujian, antara lain, karena metode penyusunan yang dipakainya. Para ulama, baik yang sezaman al-Asqalani maupun era kemudian, memuji kitab tersebut sebagai syarh hadis yang paling lengkap. Maka populerlah perkataan, “Laa hijrata ba’dal Fathi.” Artinya, ‘Tidak perlu berpindah (memilih kitab syarh hadis lain) selama ada Fath al-Bari.”
Adapun Bulugh al-Maram berisi kumpulan hadis hukum. Isinya mungkin tampak ringkas karena “hanya” memuat 1.596 hadis. Kandungannya pun “hanya” memuat pokok-pokok hadis hukum. Namun, kitab tersebut menjadi rujukan penting bagi para ulama fikih bahkan pada masa kini. Dan, sudah banyak tanggapan apresiatif dan kritis terhadapnya.
Kekayaan Sebagai Alat
Ibnu Hajar al-Asqalani memiliki latar belakang famili yang tidak hanya cinta ilmu, tetapi juga pandai berdagang. Sejak masih belia, ia pun sudah menyerap pengetahuan tentang niaga, seperti cara-cara meraih untung dalam usaha. Karena itu, sosok yang hafal lebih dari 100 ribu hadis tersebut hidup berada.
Walaupun kaya raya, Ibnu Hajar jauh dari sikap sombong. Bahkan, tawaduknya semakin dalam. Kekayaannya pun banyak digunakan demi kepentingan ilmu-ilmu agama dan perbaikan taraf kehidupan umat.
Sosok yang terkenal dermawan itu disegani semua lapisan masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Rasa segan itu timbul bukan karena dirinya berharta banyak, melainkan kedalaman ilmu dan keluasan cakrawala berpikirnya.
Pernah suatu ketika, Ibnu Hajar mengunjungi sebuah daerah dengan menunggangi kuda yang gagah. Pelana yang dipakainya pun berupa kain beludru yang sangat lembut. Alhasil, tunggangannya itu termasuk yang paling mewah pada masanya.
Di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan seorang fakir miskin yang beragama non-Islam. Identitas agama itu tampak dari kalung yang dikenakan lelaki kumal tersebut.

Tiba-tiba, pria non-Muslim itu menegurnya dengan suara keras, “Wahai kau orang Islam!”
Karena merasa dipanggil, Ibnu Hajar lantas menghentikan derap kudanya. Sang alim lantas mendekati pria tersebut.
“Ada apa wahai fulan?” tanyanya.
“Jawab pertanyaanku kalau memang kau Muslim! Siapa yang pantas disebut pembohong: kau sendiri atau Nabimu itu (Rasulullah SAW)?” ujar orang non-Muslim itu.
Nada pertanyaannya jelas menyakiti hati. Namun, Ibnu Hajar tidak meluapkan amarah. Dengan tenang, ia meminta kejelasan maksud lawan bicaranya itu.
“Apa maksudmu?”
“Bukankah nabimu pernah menyatakan bahwa dunia adalah penjara bagi orang-orang yang beriman kepadanya, dan sekaligus surga bagi orang yang ingkar terhadapnya?” tanya si non-Muslim retoris.
Ibnu Hajar langsung teringat pada hadis Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah. Yakni, “Dunia adalah penjara orang yang beriman, dan surganya orang kafir” (HR Muslim).
Harta kekayaan hanyalah alat atau sarana untuk menuntut ilmu atau beribadah kepada-Nya. Hatinya tidak silau akan kenikmatan duniawi.
Mengerti arah perkataan lelaki itu, Ibnu Hajar kemudian berkata dengan lugas, “Wahai fulan, engkau memandang diriku sedang menikmati kehidupan dengan begitu indahnya. Engkau melihatku memiliki kuda yang bagus, harta yang berlimpah. Ketahuilah, aku pun seorang Muslim. Iman dan Islam—itulah sungguh kenikmatan yang tiada tara, tiada bandingannya.”
Melihat si non-Muslim terdiam, al-Asqalani meneruskan perkataannya. “Maka lihatlah dirimu sendiri. Engkau tidak beriman kepada nabiku. Dan hidupmu pun serba kekurangan. Sungguh, hal itu bagiku sudah cukup pilu.”
Sebelum meninggalkan tempat, ulama tersebut berujar lagi, “Tidak ada yang keliru dari sabda Rasulullah SAW. Camkanlah, kehidupan yang kini kujalani tidak sebanding dengan nikmat surga kelak. Maka layaklah dunia ini disebut sebagai penjara bagi Mukminin. Dan tidak merasakan panasnya neraka selagi di dunia ini—itu sudah menjadi sebentuk nikmat bagimu.”
Demikianlah keteladanan ulama dari abad kesembilan Hijriyah itu. Dalam pandangannya, harta kekayaan hanyalah alat atau sarana untuk menuntut ilmu atau beribadah kepada-Nya. Hatinya tidak silau akan kenikmatan duniawi.
Kembali kepada Fitrah
Semoga kita berusaha bersama-sama menjaga kedua makna fitrah tersebut.
SELENGKAPNYAHarapan Setelah Lebaran
Saat silaturahim Lebaran, keluarga besar berkumpul, duduk berdekatan, makan minum satu meja.
SELENGKAPNYA