Cover Islam digest edisi Ahad 8 Mei 2022. Biografi Ibnu Hajar al-Asqalani. | Islam Digest/Republika

Tema Utama

Biografi Ibnu Hajar al-Asqalani

Ibnu Hajar dipandang luas sebagai syekh-nya para ulama hadis dan fikih.

 

OLEH HASANUL RIZQA

Namanya dikenal melalui pelbagai karya monumental. Ibnu Hajar al-Asqalani adalah seorang ulama besar abad kesembilan Hijriyah. Kisah hidupnya memancarkan inspirasi dan perenungan.

Sekilas Riwayat al-Asqalani

 

Dalam peradaban Islam, ada begitu banyak ulama yang menghasilkan karya-karya gemilang. Ketika masih hidup, mereka tidak kenal lelah untuk membimbing umat ke arah cahaya Alquran dan Sunnah. Sesudah wafatnya, kaum alim itu tetap bisa menginspirasi generasi dari masa ke masa melalui kitab-kitab yang ditulisnya.

Salah satu bintang cemerlang dalam sejarah keilmuan Islam adalah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Di Indonesia, nama ulama tersebut tidaklah asing, khususnya bagi kalangan santri. Di pondok-pondok pesantren, berbagai kitab karangannya hingga kini masih dibaca dan dipelajari. Sebut saja, Fath al-Bari, Bulugh al-Maram, dan Tahdzib at-Tahdzib.

Sosok yang bernama asli Ahmad bin Ali itu merupakan seorang pakar ilmu hadis dan fikih. Pada masanya, ia dijuluki sebagai amirul mukminin-nya para ahli hadis. Tokoh yang hidup pada abad kesembilan Hijriyah itu juga pernah menjabat hakim agung (//qadhi al-qudhat//) mazhab Syafii di Mesir.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Ibnu Hajar al-Asqalani lahir pada 773 Hijriyah atau 1372 Masehi. Ada beberapa pendapat mengenai tempat kelahirannya. Sebuah sumber menyebutkan, ia lahir di Asqalan (Ashkelon), yang terletak di utara Gaza, Palestina. Karena itu, julukannya adalah al-Asqalani.

Adapun sumber lain mengatakan, sang ulama lahir pada tanggal 12 Sya’ban 773 H di tepi Sungai Nil, dekat Dar an-Nuhas. Bagaimanapun, umumnya sejarawan sepakat bahwa cendekiawan tersebut menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Mesir.

Ibnu Hajar tumbuh sebagai seorang yatim piatu. Ayahnya wafat tatkala dirinya masih berumur empat tahun. Ibunya pun berpulang ke rahmatullah beberapa tahun kemudian. Meskipun tanpa kedua orang tua, anak ini tidak bermental lemah. Semangatnya justru sangat tinggi, khususnya dalam menuntut ilmu-ilmu keislaman. Karena itu, ia dengan tekun belajar dari satu guru ke guru lainnya.

Sepeninggalan bapaknya, Ibnu Hajar kecil diasuh oleh Abu Bakar Muhammad al-Kharubi. Sahabat almarhum ayahnya itu merupakan seorang pedagang yang cukup sukses. Sering kali anak yatim piatu itu diajak dalam perjalanan dagang ke Hijaz.

Ibnu Hajar terlatih untuk hidup mandiri sejak masih anak-anak. Meski tanpa pengawasan, ia selalu melaksanakan tugas dengan baik. al-Kharubi juga sering mengajarkannya untuk menjadi pribadi yang penuh disiplin.

Saat berusia lima tahun, Ibnu Hajar mulai menerima pendidikan dasar. Salah seorang gurunya ketika itu adalah Syamsuddin bin al-Alaf, seorang alim yang juga pernah menjadi gubernur Mesir.

 
Saat berusia sembilan tahun, Ibnu Hajar berhasil mengkhatamkan hafalan Kitab Suci.
 
 

Hingga beberapa bulan, anak lelaki itu sudah cukup fasih membaca Alquran walaupun belum bisa mencapai level tahfiz. Barulah sesudah kedatangan guru baru, yakni Shadruddin Muhammad bin Abdur Razaq as-Sifthi, ia mulai piawai menghafalkan Alquran. Saat berusia sembilan tahun, ia berhasil mengkhatamkan hafalan Kitab Suci.

Beberapa tahun kemudian, Ibnu Hajar kecil mengikuti perjalanan al-Kharubi ke Makkah al-Mukarramah. Saat masih bermukim di kota kelahiran Rasulullah SAW itu, ia dipersilakan untuk mengimami jamaah shalat tarawih di Masjidil Haram.

Hal itu menandakan pengakuan masyarakat setempat akan kefasihannya dalam membaca dan menghafal Alquran. Menurut Syekh Ahmad Farid dalam buku 60 Biografi Ulama Salaf, Ibnu Hajar ketika peristiwa itu terjadi baru berusia 12 tahun.

Beberapa bulan kemudian, al-Kharubi kembali ke Mesir. Sang adik nan cerdas pun turut serta. Rupanya, pengalamannya menghabiskan Ramadhan di Tanah Suci amat membekas. Ia pun menguatkan tekad untuk semakin giat belajar, mendalami ilmu-ilmu agama.

Sesampainya di Kairo, Ibnu Hajar mencurahkan seluruh harinya untuk mendaras. Ia juga menghafalkan banyak kitab. Di antaranya adalah Al-Hawi karangan al-Mawardi dan Mukhtasar karya pakar ushul fiqih Ibnu Hajib. Begitu pula dengan buku Umdatul Ahkam buah tangan al-Muqdisi, Alfiyah Imam Malik, dan At-Tanbih tulisan asy-Syirazi yang membahas cabang-cabang ilmu mazhab Syafii.

Maka dalam usia 13 tahun saja, Ibnu Hajar berhasil menghafal bukan hanya Alquran, tetapi juga buku-buku penting dalam khazanah keilmuan Islam kala itu. Dan, tidak merasa puas dengan hanya menuntut ilmu di Mesir, ia pun siap berkelana. Sejak saat itu, anak lelaki yang gemar berpuasa sunah tersebut memulai perjalanan intelektualnya ke pelbagai negeri.

 
Dalam usia 13 tahun saja, Ibnu Hajar berhasil menghafal bukan hanya Alquran, tetapi juga buku-buku penting dalam khazanah keilmuan Islam kala itu.
 
 

Ibnu Hajar menyambangi Syam. Di sejumlah kota kawasan tersebut, dia belajar kepada banyak tokoh alim. Misalnya, Abul Faraj Abdurrahman bin al-Mubarak al-Ghazi, gurunya dalam mempelajari kitab Shahih al-Bukhari.

Di samping itu, ia pun menuntut ilmu kepada Zainuddin al-Iraqi, Abdur Rahim bin Husain al-Iraqi, Syamsuddin al-Qalqasyandi, dan Badruddin al-Balisi. Ada pula gurunya yang merupakan seorang perempuan, yakni Fathimah binti al-Manja at-Tanukhiyyah.

Kendati sudah menimba ilmu di banyak tempat, Ibnu Hajar belum merasa puas. Ia kemudian memutuskan untuk berguru kepada al-Hafizh al-Iraqi, seorang syekh besar yang terkenal sebagai ahli fikih mazhab Syafii. Tokoh dari negeri Irak itu juga menguasai ilmu tafsir, hadis, dan tata bahasa Arab.

Ibnu Hajar menyertai sang guru selama 10 tahun. Dalam masa itu, ia juga sering mendampinginya dalam beberapa perjalanan ke Hijaz dan Yaman. Al-Hafiz sukses membimbingnya sebagai seorang pencari ilmu yang sejati. Bahkan, Ibnu Hajar menjadi orang pertama yang diberi izin oleh sang guru untuk mengajarkan hadis.

Setelah al-Hafiz wafat, ia belajar kepada Nuruddin al-Haitsami dan Muhibbuddin Muhammad bin Yahya al-Wahdawaih. Melihat keseriusannya dalam mengkaji hadis, keduanya memberikan saran kepada agar Ibnu Hajar menekuni disiplin ilmu fikih. Sebab, umat pada saat itu dipandang sangat membutuhkan orang yang benar-benar pakar akan ilmu tersebut. Selain itu, pelbagai jihad yang terjadi pada masa itu menyebabkan kian sedikitnya para fakih di pelbagai negeri Islam.

Secara keseluruhan, pengembaraan yang dilakukan Ibnu Hajar cukup panjang. Dari Irak dan Syam, ia melangkahkan kaki ke arah Madinah dan Makkah. Di dua kota suci tersebut, dirinya menimba ilmu dari sejumlah alim setempat. Sesudah itu, lelaki yang bertinggi badan sedang itu meneruskan perjalanan ke Yaman.

Semakin banyak kota dikunjungi, kian banyak pula guru yang ditemuinya. Semakin luas pula wawasan keislamannya, terutama dalam bidang ilmu hadis dan fikih. Seiring dengan itu, para ulama, termasuk mereka yang belum pernah menjadi gurunya, makin memerhatikannya. Begitu pun dengan kaum ningrat dan penguasa.

photo
ILUSTRASI Mesir pada abad ke 15 memunculkan sejumlah cendekiawan legendaris. Salah satunya adalah Ibnu Hajar al-Asqalani - (DOK :PIXABAY)

Walaupun namanya terus populer, Ibnu Hajar tidak kurang sifat tawadhunya. Baginya, menuntut ilmu didasari pada sikap keikhlasan. Yang diutamakan adalah kepentingan umat di atas diri pribadi.

Masyarakat kemudian menempatkannya sebagai sosok teladan. Mereka memadati setiap majelis ilmu yang digelar Ibnu Hajar. Kaum intelektual pun meminta saran dan pertimbangannya dalam pelbagai urusan, khususnya yang berkaitan dengan syariat.

Sang fakih tercatat mengajar di sejumlah tempat. Misalnya, Madrasah Husainiyah, Madrasah Manshuriyah, Madaaris al-Babrisiyah, dan asy-Syaikhuniyah. Selain itu, ada pula majelis tasmi’ hadis serta fikih di al-Mahmudiyah al-Muayyudiyah.

Ibnu Hajar memiliki banyak murid yang berasal dari pelbagai penjuru daulah Islam. Mereka menjadi penerusnya dalam menyebarkan dakwah, ilmu, dan amal. Di antaranya, terdapat para santri yang dipandang unggul. Misalnya, Ibrahim bin Ali al-Makki asy-Syafi’i, Ahmad bin Utsman al-Karmaani al-Hanafi, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Anshari al-Khazraji, Zakariya bin Muhammad al-Anshari, dan Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhaawi asy-Syafi’i.

Kemudian, beberapa nama lainnya juga dikenang sebagai murid Ibnu Hajar yang cemerlang. Sebut saja, Muhammad al-Hasyimi al-‘Alawi, pengarang Nuzhum Adh-Dhurar Burhanuddin al-Baqa’i, dan penulis Al-Manhal ash-Shafi Ibnu Taghri Bardi.

Tidak ketinggalan, ada pula Ibnu al-Haidhari, Tafi bin Fahd al-Makki, Kamal bin al-Hamam al-Hanafi, serta Qasim bin Quthlubugha. Mereka semuanya menyebarkan sanad keilmuan dan karya-karya dari sang guru kepada generasi Muslimin.

photo
ILUSTRASI Ibnu Hajar al-Asqalani masyhur sebagai penulis kitab-kitab klasik, semisal Fathul Bari dan Bulughul Maram. - (DOK EPA YAHYA ARHAB)

Menjadi kadi

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani begitu dihormati masyarakat negerinya, Mesir. Daerah di delta Sungai Nil itu dipimpin penguasa Mamluk yang mencintai ilmu pengetahuan. Karena itu, keberadaan sang imam adalah berkah, baik bagi pemerintah maupun rakyat setempat pada umumnya.

Ibnu Hajar menjadi tempat umat bertanya perihal soal-soal dalam agama. Dalam berfatwa, sang alim selalu merujuk pada Alquran dan Sunnah. Kepakarannya dalam bidang hadis tidak diragukan lagi. Kaum cendekiawan pada masanya menjuluki tokoh tersebut sebagai al-Hafiz. Sebab, Ibnu Hajar mampu menghafal lebih dari 100 ribu hadis, lengkap dengan konteks (asbabul wurud), matan, dan rawinya.

Maka raja Mamluk beberapa kali meminta bantuannya untuk mengimami majelis ilmu yang difasilitasi negara. Bahkan, pada akhirnya ulama yang bermazhab Syafii itu menjadi kepala kadi (qadhi al-qudhat) Mesir. Jabatan tersebut diembannya selama lebih dari dua dekade atau tidak kurang dari lima periode.

 
Raja Mamluk beberapa kali meminta bantuannya untuk mengimami majelis ilmu yang difasilitasi negara.
 
 

Ibnu Hajar dipandang luas sebagai syekh-nya para ulama hadis dan fikih. Dirinya kerap diminta naik mimbar sebagai khatib di Masjid Amru bin Ash dan Masjid al-Azhar. Pada 1448 M atau 852 H, ia terpilih untuk keenam kalinya sebagai qadhi al-qudhat. Bagaimanapun, hasil pemilihan itu ditolaknya dengan halus.

Memang, kesehatannya cenderung menurun dalam beberapa bulan terakhir. Akhirnya, ia jatuh sakit. Pada malam tanggal 28 Dzulhijjah, beberapa jam usai shalat isya, Ibnu Hajar menghembuskan nafas terakhir. Kepergiannya ke alam barzakh bertepatan ketika para sahabat di sisinya sedang membacakan surah Yasin, sampai ayat ke-58.

Wafatnya Ibnu Hajar menyisakan duka yang mendalam bagi kaum Muslimin. Ribuan orang, termasuk kalangan elite Mamluk, menjadi jamaah shalat jenazahnya. Lautan manusia menangis sedih, menyaksikan pemakamannya. Bahkan, para warga Mesir yang non-Muslim juga turut merasa kehilangan sosok teladan.

Kembali kepada Fitrah

Semoga kita berusaha bersama-sama menjaga kedua makna fitrah tersebut.

SELENGKAPNYA

Jurnalis Shireen Abu Akleh Dimakamkan

Polisi Israel menggerebek rumah keluarga Abu Akleh pada Kamis (12/5).

SELENGKAPNYA

Harapan Setelah Lebaran

Saat silaturahim Lebaran, keluarga besar berkumpul, duduk berdekatan, makan minum satu meja.

SELENGKAPNYA