Opini
Perangkap Bisnis di Bulan Suci
Di tengah gempuran badai bisnis Ramadhan yang bertubi-tubi, perlu kesadaran kualitas puasa kita.
AHMAD BAHRUR ROZI, Doktor Studi Islam Sunan Ampel Surabaya
Tujuan sejati ibadah puasa menurut Alquran tidak lain demi terciptanya insan bertakwa. Suatu capaian elaboratif antara iman sebagai sumber nilai dalam setiap agama dengan amal saleh.
Ini berarti puasa merupakan ruang bagi manusia menyelaraskan hubungan antara kesalehan individual dengan kesalehan sosial, berupa pola relasi yang positif antara sesama. Sebab itu Ramadhan dikatakan bulan suci.
Bulan di saat umat Islam berkesempatan meningkatkan kualitas keimanannya dengan meningkatkan intensitas ibadah ritual. Ini diwujudkan misalnya dengan memperbanyak shalat, zikir, dan mengaji (mengkaji) ayat-ayat suci Alquran.
Di samping itu, puasa Ramadhan merupakan ibadah yang mencitrakan pengekangan diri manusia dari setiap tindakan destruktif yang bersumber dari nafsu syahwaniyah dan hayawaniyah yang inheren dalam diri manusia.
Jadi, puasa erat kaitannya dengan kemampuan mengolah emosi dan pengendalian diri dari godaan materialisme dan hedonisme.
Berpuasa merupakan upaya berdialog dengan diri dan hati nurani, yaitu usaha mengevaluasi setiap kealpaan tindakan manusiawi serta mengakuinya secara jujur di hadapan Tuhan.
Jadi, puasa erat kaitannya dengan kemampuan mengolah emosi dan pengendalian diri dari godaan materialisme dan hedonisme. Spirit Ramadhan dan segala bentuk sakralitas rohaniahnya, nyatanya tak luput dari lirikan bisnis yang belakangan semakin marak.
Menyambut Ramadhan, berbagai aktivitas bisnis bernuansa agama dan dakwah disuguhkan untuk menarik perhatian konsumen. Mulai bisnis kaki lima hingga online shop (olshop) seakan dirancang sebisa mungkin bernuansa khas Ramadhan.
Sepintas, fenomena ini tampak bagian dari gejala spiritualisasi di bulan suci agar umat Islam semakin tenggelam dalam kekhusyukan beribadah. Betulkah demikian? Realitas berkata sebaliknya.
Semakin semaraknya aktivitas bisnis, harus diakui justru menyita waktu untuk menikmati kekhusyukan beribadah yang sesungguhnya. Masyarakat dihipnotis mengisi sepanjang puasanya dengan memenuhi hasrat konsumsi atas nama religiositas.
Banyak tak sadar, puasa kita sejatinya menyingkap tirai ternyata di bulan Ramadhan kita hanya agamis dalam ucapan tetapi kapitalis dalam tindakan.
Banyak tak sadar, puasa kita sejatinya menyingkap tirai ternyata di bulan Ramadhan kita hanya agamis dalam ucapan tetapi kapitalis dalam tindakan. Sepanjang Ramadhan, suplai kebutuhan yang meningkat tajam adalah bukti kitalah pendukung sejati kapitalisme.
Padahal jika puasa menjadi spirit umat Islam selama Ramadhan, tentu kapitalisme tumbang dengan sendirinya. Tak perlu teriak khilafah dan fatwa-fatwa.
Salah satu kehebatan kapitalisme, berkembang kreatif di tengah keruntuhan ideologi lain dalam mempertahankan fondasi epistemologisnya. Satu-satunya ideologi yang bisa memanfaatkan kritik jadi semacam antibodi, termasuk yang dilontarkan agama.
Apa yang kita saksikan di bulan Ramadhan ini tidak lain bagian dari strategi modal guna memanfaatkan celah dari situasi religius yang ada. Intinya, sudah tentu komoditas (jualan). Salah satu kemampuan modal menjadikan religiositas keagamaan sebagai produk industri.
Dalam situasi demikian, agama dengan segala bentuk ritualnya tak luput dari intervensi logika ekonomi.
Dalam situasi demikian, agama dengan segala bentuk ritualnya tak luput dari intervensi logika ekonomi. Dan momen spiritual tahunan semacam Ramadhan, menjadi media paling efektif untuk dikomoditaskan. Akibatnya, reduksi sakralitas dan spirit yang paling fundamental dari puasa itu sendiri.
Ramadhan yang mestinya bermakna sebagai media menempa diri guna menahan godaan materialisme dan hedonisme, sebaliknya menjadi ajang memanjakan selera belanja berbagai macam komoditas.
Puasa ternyata memiliki sisi festivalnya dan itu lebih ditonjolkan ketimbang ibadahnya itu sendiri. Tentu bukan salah kapitalisme semata. Ideologi ini sukses karena selaras dengan sifat dasar manusia yang tamak dan rakus.
Kapitalisme sesungguhnya bukan ideologi ideal, hanya ideologi yang realistis. Karena itu, orang tak perlu membentuk organisasi atau partai yang mengusung kapitalisme. Semua orang pada dasarnya kapitalis.
Dari kelas pemodal yang ingin untung sebesar-besarnya sama dengan kelas pekerja yang ingin upah setinggi-tingginya, di sisi lain ingin memiliki barang/jasa dengan harga semurah-murahnya bahkan kalau perlu gratis.
Tak ada kekuatan apapun yang mampu mengendalikan hasrat ke arah itu, kecuali kesadaran kita sebagai insan yang berpuasa untuk senantiasa mempertanyakan kembali hakikat keberpuasaan kita.
Memang ironis tetapi itulah sisi alamiah manusia yang tamak dan rakus. Puasa sesungguhnya disyariatkan dalam rangka menangkal hasrat tersebut.
Tak ada kekuatan apapun yang mampu mengendalikan hasrat ke arah itu, kecuali kesadaran kita sebagai insan yang berpuasa untuk senantiasa mempertanyakan kembali hakikat keberpuasaan kita.
Menegaskan kembali, tujuan puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga kemampuan mengendalikan diri dari segala dorongan materialisme.
Di tengah gempuran badai bisnis Ramadhan yang bertubi-tubi, perlu kesadaran bahwa kualitas puasa kita bergantung ketabahan menahan godaan konsumerisme dan belanja berlebihan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mendaki Kelezatan Iman
Berpuasa cara Allah SWT supaya sang hamba naik tingkat dalam merasakan kelezatan iman.
SELENGKAPNYAMenaker: THR Maksimal H-7 Lebaran
Kemenaker membuka posko THR secara fisik maupun virtual.
SELENGKAPNYAMuslim yang Menjadi Bukti
Semua ajaran Islam di masa Rasulullah dibuktikan baik dalam kenyataan di bidang apa pun.
SELENGKAPNYA