Nasional
Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Sesuai Masalah Daerah
Daerah akan dipimpin penjabat mulai dari berakhirnya masa jabatan kepala daerah definitif hasil Pilkada 2017 dan 2018.
JAKARTA -- Pemerintah akan mengangkat penjabat kepala daerah di 271 wilayah yang mengalami kekosongan jabatan pada 2022 dan 2023. Namun, sejumlah pihak mengkhawatirkan pemerintah menunjuk personel TNI/Polri aktif menjadi penjabat gubernur maupun bupati/wali kota.
Menurut Direktur Otonomi Khusus Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Andi Batara Lipu, pengangkatan penjabat kepala daerah berdasarkan ketentuan Undang-Undang (UU) tentang Pilkada serta aturan terkait lainnya, yakni UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Siapa pun pejabat yang memenuhi kriteria ketentuan UU tersebut, maka terbuka ruang untuk diangkat menjadi penjabat.
"Kriteria yang digunakan sebagaimana Undang-Undang itu jpt (jabatan pimpinan tinggi) madya dan jpt pratama sepanjang siapa pun pejabat yang memenuhi kriteria itu maka ada ruang untuk itu," ujar Andi menanggapi pertanyaan mengenai wacana TNI/Polri menjadi penjabat kepala daerah, dalam webinar pada Senin (14/3).
Diangkatnya penjabat kepala daerah merupakan amanat Pasal 201 UU Pilkada. Ketentuan ini dibuat imbas tidak diselenggarakannya Pilkada 2022 dan Pilkada 2023 karena pilkada berikutnya baru digelar secara serentak nasional pada 2024.
Untuk mengisi kekosongan jabatan, diangkat penjabat gubernur dari jabatan pimpinan tinggi madya dan penjabat bupati/wali kota dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Daerah akan dipimpin penjabat mulai dari berakhirnya masa jabatan kepala daerah definitif hasil Pilkada 2017 dan 2018 pada 2022 dan 2023 sampai dilantiknya kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024.
Dalam penjelasan Pasal 19 ayat 1 huruf b UU ASN disebutkan, jabatan pimpinan tinggi madya meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Kemudian, jabatan pimpinan tinggi pratama meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris DPRD, dan jabatan lain yang setara.
Sementara, Pasal 20 UU ASN menyebutkan, jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri yang diatur Peraturan Pemerintah (PP). Sejauh ini, terdapat PP Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pengalihan Status TNI/Polri menjadi PNS untuk Menduduki Jabatan Struktural.
Dalam PP itu disebutkan Departemen Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, Lembaga Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Ketahanan Nasional, Badan SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional, dapat diduduki oleh anggota TNI/Polri tanpa dialihkan statusnya menjadi PNS. Atas dasar aturan ini pula, pada 2018 lalu, Presiden Joko Widodo melantik Komjen Pol M Iriawan selaku sekretaris utama Lemhanas RI sebagai penjabat gubernur Jawa Barat.
Penasihat Khusus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Ryaas Rasyid mengatakan, pemerintah harus memastikan penjabat kepala daerah berasal dari aparatur sipil negara (ASN). Dia berpendapat agar posisi penjabat ini diisi sekretaris daerah (sekda) yang sudah memahami kondisi wilayah masing-masing.
“Kalau politik yang mau ikut pemilu siapa pun boleh yang penting memenuhi syarat. Kalau ini penunjukan seharusnya ASN. Pertimbangkanlah sekda-sekda yang sudah dinilai baik ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah karena mereka memenuhi syarat," kata Rasyid.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengingatkan penjabat kepala daerah harus bersikap netral pada tahun politik jelang Pemilu 2024. Sebab, momen kekosongan kepala daerah itu akan terjadi selama penyelenggaraan kontestasi politik Pemilu dan Pilkada 2024.
"Kalau di dalam tahun-tahun politik kita yang selama ini aktivitas di partai politik tentu melihat keberadaan-keberadaan kepala daerah itu menjadi penting, di dalam membantu kerja-kerja politik sebagai partai politik menghadapi pemilu," kata Doli.
Sebelumnya, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta pemerintah mengantisipasi praktik jual-beli jabatan penjabat kepala daerah. Dia mengatakan, pemerintah harus menerbitkan regulasi teknis berupa peraturan pemerintah sebagai salah satu langkah antisipasi tersebut.
Kekhawatiran penunjukan anggota TNI/Polri menjadi penjabat kepala daerah pada 2022-2023 ini salah satunya datang dari Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Dia mewanti-wanti pemerintah agar tidak menempatkan personel TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah.
"Untuk mengeliminir lahirnya kegaduhan dan kontroversi, pemerintah mestinya tidak menempatkan personel TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah," kata Titi.
Hal tersebut penting diperhatikan supaya tidak ada spekulasi di tengah masyarakat yang akan rentan menghubungkannya dengan upaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI/Polri atau hal-hal sejenis lainnya. Menurut dia, TNI/Polri perlu berkonsentrasi penuh pada tugasnya untuk memastikan keamanan negara dan ketertiban masyarakat di masa-masa krusial dalam proses politik Pemilu dan Pilkada serentak 2024.
Dia meminta pemerintah fokus pada pengisian penjabat yang bisa mendapatkan penerimaan publik dan memastikan keberlanjutan pembangunan daerah secara inklusif dan efektif. Dia berpendapat, pengisian penjabat bisa dibuat sederhana. Misalnya, dengan menempatkan sekretaris daerah sebagai penjabat kepala daerah di wilayahnya masing-masing.
"Mempertimbangkan kita masih di masa pandemi, hal-hal yang spekulatif, kontroversial, dan memancing penolakan masyarakat, sudah seharusnya dihindari dan tidak dilakukan," tutur Titi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
PDIP Pertanyakan Kapasitas Luhut Terkait Penundaan Pemilu
Hasto meminta Luhut melakukan klarifikasi, berbicara dalam kapasitas sebagai apa.
SELENGKAPNYAMenerabas Masa Jabatan
Penundaan pemilu disebut paling populer digunakan rezim otoriter untuk terus berkuasa melampaui masa jabatan.
SELENGKAPNYAMunarman Anggap Tuntutan tak Serius
JPU menuntut Munarman delapan tahun dengan kasus permufakatan jahat terkait terorisme.
SELENGKAPNYA