Nasional
Warga Diminta tak Resah Soal Sanksi Protokol Kesehatan
Inpres sanksi pelanggar protokol kesehatan guna memberi landasan hukum bagi pemerintah daerah.
JAKARTA -- Pemerintah meminta masyarakat agar tidak resah dengan kebijakan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan instruksi presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Beleid ini mengatur sejumlah jenis sanksi yang bisa diterapkan kepada pelanggar protokol kesehatan. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menjelaskan, inpres diterbitkan untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah daerah. Penyusunan sanksi, kata dia, akan disesuaikan dengan kearifan lokal masing.
"Masyarakat tidak perlu resah dengan inpres ini karena tujuan inpres ini justru menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat. Sanksi hanya diberikan kepada pihak yang melanggar protokol kesehatan yang sudah disosialisasikan dan dijelaskan kepada masyarakat," jelas Dini, Jumat (7/8).
Sanksi yang disiapkan bervariasi, bisa teguran lisan dan tertulis, kerja sosial, denda administratif, hingga penghentian atau penutupan sementara usaha. Melalui inpres ini, ujar Dini, diharapkan masyarakat, pelaku usaha, dan pihak pengelola fasilitas umum lebih tertib dan disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan. Penggunaan masker dan menjaga jarak adalah yang diutamakan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD akan mengumpulkan menteri terkait dan seluruh kepala daerah untuk membicarakan tindak lanjut dari inpres tersebut. Di sana akan dibahas pelaksanaan inpres hingga penegakan hukumnya.
"Mungkin di awal pekan depan, Senin (10/8) yang akan datang, saya akan kumpulkan menteri-menteri terkait dan semua kepala daerah," ujar Mahfud dalam konferensi daring, Jumat (7/8).
Mahfud menjelaskan, aturan yang diteken presiden pada 4 Agustus 2020 itu dikeluarkan karena melihat penularan Covid-19 yang semakin masif, tapi masih banyak masyarakat yang belum sadar akan protokol kesehatan. Ia menegaskan, penegakan hukum akan dibuat bervariasi sesuai dengan tingkat atau zona paparan Covid-19 di masing-masing daerah.
"Penegakan disiplin dan penegakan hukum itu sebenarnya hukum materiilnya sudah ada, aturan-aturan materiilnya sudah ada. Misalnya, orang harus pakai masker, jaga jarak, kemudian cuci tangan dengan sabun," jelas dia.
Saat ini, kata Mahfud, hanya perlu dilakukan pendisiplinan dan penegakan hukum dengan sejumlah cara. Pertama, dilakukan melalui sosialisasi seperti yang dilakukan banyak kementerian lembaga. Kemudian, secara persuasif dengan menegur masyarakat yang tidak melaksanakan protokol kesehatan.
Berikutnya, tindakan administratif dengan mengenakan denda seperti yang sudah dilakukan di berbagai tempat. "Berbagai daerah dengan kearifan lokalnya, ada yang disuruh lari, push up," katanya.
Terakhir dengan sanksi pidana. Menurut dia, pidana akan dikenakan jika seseorang sampai melawan petugas ketika diberitahu atau diingatkan.
"Kalau sudah diberitahu kok melawan gitu. Misalnya sudah disuruh membubarkan kok diteruskan juga, itu ada hukum pidananya. Hukum pidananya banyak. Kalau di UU KUHP ada pasal-pasal melawan petugas yang sah. Itu ada ancaman hukumannya," kata dia.
Antisipasi
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mempermasalahkan pelibatan TNI dalam inpres tersebut. Menurut dia, semestinya TNI tidak boleh berhadapan langsung dengan masyarakat.
"Sesuai dengan ketentuan mengenai OMSP (operasi militer selain perang) dan memperhatikan bahwa penjuru penegakan hukum dan ketertiban masyarakat adalah Polri, bukan TNI," jelas Fahmi melalui keterangannya, kemarin.
Ia meragukan peraturan pelaksanaan inpres, yakni pergub/perbup/perwali, dapat mengatur secara rinci batasan ruang lingkup kewenangan TNI dalam pengawasan, pembinaan masyarakat, dan penerapan sanksi. Terlebih, inpres itu juga mengesankan seolah TNI dan Polri berada dalam posisi setara terkait tugasnya.
Menurut Fahmi, dalam penerapan sanksi berupa teguran lisan sekalipun, tidak boleh disepelekan adanya kemungkinan "aksi berlebihan" dari para personel yang bertugas di lapangan. Maka, seharusnya pergub/perkab/perwal itu juga diimbangi dengan peraturan Panglima TNI dan Kapolri.
"Yang berisi kewenangan, prosedur, cara bertindak dan larangan bagi personel yang bertugas di lapangan. Tapi inpres tidak menginstruksikan pembuatan peraturan tersebut," jelas dia.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menilai, Inpres Nomor 6 Tahun 2020 memang diperlukan. Khususnya, untuk daerah yang berada di zona merah agar penyebaran Covid-19 tak lagi meluas dan tidak menambah klaster.
"Karena kita khawatir ini pandemi tidak selesai karena kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol Covid-19 kurang," ujar Dasco, kemarin.
Namun, ia juga meminta aparat penegak hukum juga bijaksana dalam menerapkan instruksi tersebut. Tetap diperlukan tindakan persuasif agar protokol kesehatan dapat diterapkan tanpa ada paksaan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.