Opini
Kenormalan Baru Ruang Kota
Ruang kota bukanlah sekadar benda mati yang statis.
ILYA FADJAR MAHARIKA, Lektor Kepala Teori Arsitektur dan Urbanisme di Jurusan Arsitektur, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Fenomena local lockdown di banyak dusun dan perumahan dalam merespons pandemi Covid-19 perlu dimaknai sebagai tata kenormalan baru.
Pembatasan fisik berupa portalisasi dan pemasangan barikade yang disertai penyemprotan disinfektan, serta spanduk informasi merupakan pengejawantahan masyarakat lokal dalam menerjemahkan physical distancing.
Kreativitas masyarakat mempraktikkan physical distancing di level ruang, menjadi perilaku menarik sekaligus mekanisme mandiri yang dapat menjadi kunci pengendalian penularan Covid-19.
Beragam referensi, misalnya tulisan Matthew Carmona, pakar urban design University College London, Inggris, menyebutkan, ruang kota yang bernilai, memampukan warganya memelihara kesehatan diri, memperkaya modal sosial, membangun gaya hidup produktif secara ekonomi, dan berdampak ekologis yang sedikit.
Kepadatan di ruang luar yang mengalirkan udara segar, paparan sinar matahari, serta pengaturan yang jarak dan kepadatan fluktuatif, justru lebih tangguh melawan virus.
Keseimbangan aspek di atas, penting dan bisa memberi koridor bagi perencana, arsitek, dan pemerintah kota agar tak serta-merta menyerah pada Covid-19 atau meninggalkan keyakinan bahwa tata ruang bisa jadi mekanisme untuk membangun kenormalan baru.
Banyak referensi menyatakan, prinsip kota ideal adalah yang memiliki kepadatan tinggi agar tidak boros ruang, kota ringkas agar akses dapat dicapai sesedikit mungkin menggunakan kendaraan pribadi, serta ruang terbuka hijau yang cukup.
Namun, fenomena Covid-19 membuka pengetahuan dan pengalaman baru.
Diskusi penulis dengan Prof Nicole Uhrig dari Anhait University of Applied Science, Jerman, dalam webinar bertajuk Social Urban Spaces in Times of Crisis (31/5) memunculkan prinsip baru dalam penataan ruang kota.
Kota berkepadatan tinggi perlu mendapat pemahaman baru. Pandemi memberi pengetahuan, kepadatan dalam ruang terbukti lebih rentan terhadap penyebaran Covid-19, apalagi memakai pengondisian udara buatan (air conditioning).
Kepadatan di ruang luar yang mengalirkan udara segar, paparan sinar matahari, serta pengaturan yang jarak dan kepadatan fluktuatif, justru lebih tangguh melawan virus. Berbasis fakta ini, kenormalan baru bagi permukiman padat, misalnya rumah susun perlu dikembangkan.
Kepadatan tinggi dikembangkan dengan kreasi agar ventilasi dan cahaya matahari menjangkau sebagian besar ruang. Pemanfaatan ruang luar, baik itu di muka tanah maupun di lantai atas bangunan bisa dipakai menjadi pedoman baru perancangan bangunan gedung.
Ini membuktikan, kota harus tetap mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil dan mendapatkan solusi untuk transportasi publik.
Prinsip compact city atau kota pampat dikembangkan agar mobilitas masyarakat bukan bergantung pada kendaraan pribadi, melainkan jalan kaki atau kendaraan umum. Covid-19 memunculkan fakta baru, kendaraan umum yang sesak menjadi media penularan.
Respons sesaat barangkali membawa kecenderungan untuk kembali memakai kendaraan pribadi dengan alasan lebih aman.
Namun, respons semacam ini tentu berlawanan dengan pengetahuan lain bahwa ketiadaan kendaraan bermotor di jalanan ketika kota lockdown menjadikan udara bersih, bahkan mampu memperbaiki lubang ozon di atas kutub bumi.
Ini membuktikan, kota harus tetap mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil dan mendapatkan solusi untuk transportasi publik. Salah satunya, penggunaan sepeda sebagai alat transportasi yang dapat diinovasi menjadi sepeda listrik.
Perlu pula lebih banyak jalur pejalan kaki dan sepeda yang dilengkapi pengaturan jalur ataupun jarak antarpengguna.
Inovasi baru dapat dikembangkan pada transportasi publik, misalnya penggunaan ventilasi khusus, otomasi pintu, serta perlengkapan teknologi internet of things untuk sensor dan biosensor pendeteksi virus dan partikel atau patogen berbahaya lain.
Ruang terbuka hijau awalnya dipahami untuk paru-paru kota dan resapan air hujan. Adanya Covid-19, kita memperoleh pengetahuan baru, ruang terbuka hijau dapat difungsikan pula untuk bertani di lahan perkotaan demi ketahanan pangan dan sosialisasi warga lokal.
Mengombinasikan ruang terbuka hijau dan fungsi bangunan menjadi solusi bagi banyak fasilitas publik. Pasar semiterbuka, masjid dengan kebun luas mengingatkan masjid pada zaman Rasulullah, atau swalayan dan mal terbuka justru lebih sehat dan bermanfaat ganda.
Ketangguhan sosial
Sejarah membuktikan, teori rancang kota juga merupakan jawaban atas beragam persoalan kesehatan yang muncul karena dampak negatif revolusi industri dan merebaknya pandemi. Ruang kota bukanlah sekadar benda mati yang statis.
Di atasnya ada mekanisme sosial, pembagian otoritas, dan transaksi politik yang dapat disinergikan untuk membangun ketahanan sosial.
Local lockdown yang dijelaskan di muka adalah contoh bagaimana masyarakat Indonesia yang guyub mentransformasikan konsep jaga jarak yang asing menjadi rekayasa sosial, dalam menciptakan ketangguhan sosial untuk memelihara kesehatan.
Barangkali, saatnya perencana wilayah, perancang kota, dan arsitek menjadi bagian Gugus Tugas Penanganan Covid-19 agar bisa menerjemahkan kebijakan kesehatan menjadi praktik spasial yang memberi peran warga sebagai agen pembangun tata ruang sehat dan cerdas, baik dari sisi arsitektur fisik maupun sosial.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.