KH Muhammad Ma | Dok Blogspot

Mujadid

KH Muhammad Ma'roef, Penganjur Doa dan Shalawat

Banyak pejuang yang sowan ke Mbah Ma'roef untuk meminta doa sang kiai.

OLEH MUHYIDDIN

Kota Kediri, Jawa Timur, memiliki banyak pondok pesantren. Tak sedikit pesantren di sana yang berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Kedunglo. Lembaga pendidikan islami itu dirintis oleh seorang ulama karismatik, KH Muhammad Ma'roef.

Semasa hidupnya, Mbah Ma'roef dikenal sebagai ulama yang yang menguasai ilmu lahir dan batin. Ia lahir di Dusun Klampok Arum, Desa Badal, Kecamatan Ngadiluwih, Kediri, pada 1852. Ia merupakan putra kesembilan dari 10 bersaudara. Lengkapnya, mereka terdiri atas tiga orang perempuan dan tujuh orang laki-laki.

Ma'roef berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Kiai Abdul Madjid adalah pendiri Pondok Pesantren Klampok Arum di selatan Masjid Badal. Pada mulanya, Ma'roef kecil belajar kepada kedua orang tuanya. Namun, ibunya meninggal saat Ma'roef belum mencapai usia dewasa. Tak lama kemudian, ayahnya juga wafat. Ma'roef kecil pun diasuh oleh kakak perempuannya yang bernama Nyai Bul Kijah.

Dengan situasi ekonomi yang serba terbatas, ia saat itu tidak bisa bersekolah, seperti anak-anak lainnya. Waktu itu, ia hanya bisa belajar mengaji Alquran kepada Nyai Bul Kijah. Menginjak usia remaja, ia pun mulai mempersiapkan diri untuk perjalanan menuntut ilmu.

Ma'roef berangkat untuk mondok di Nganjuk, Jawa Timur. Karena tidak mempunyai ongkos, jarak yang sangat jauh tersebut ditempuhnya dengan berjalan kaki. Akhirnya, ia tiba di Pesantren Cepoko yang diasuh Kiai Muh.

Selama belajar di Cepoko, keadaannya sangat memprihatinkan. Ia hanya makan sepekan sekali. Itu pun makanan dari pemberian masyarakat sekitar pondok, khususnya setiap malam Jumat. Pada hari-hari biasa, ia hanya makan sisa nasi yang masih melekat di panci. Dengan kondisi yang serba kekurangan itu, ia melatih diri untuk terbiasa berpuasa. Waktu luang pun dilaluinya dengan banyak-banyak mengaji Alquran serta bermunajat kepada Allah SWT.

Setelah tujuh tahun menjadi santri di Cepoko, Ma'roef pun melanjutkan pencarian ilmunya ke Semarang. Di sana, ia berguru pada KH Sholeh Darat. Gurunya ini merupakan seorang dai yang banyak mencetak ulama besar, seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, KH Asnawi Kudus, atau KH Ridwan Mujahid Semarang.

Setelah genap dua tahun mondok di pesantren asuhan Kiai Sholeh Darat, ia melanjutkan pengembaraan ilmu ke Tuban, Jawa Timur. Tepatnya, Pondok Pesantren Langitan yang diasuh Kiai Sholeh. Meski hanya setahun di Langitan, Ma'roef memetik banyak ilmu dan hikmah. Setelah itu, ia pun kembali ke kampung halamannya di Kediri.

photo
Pimpinan Pondok Pesantren Kedunglo KH Abdul Latif Madjid (kanan) bersiap membuka Mujahadah Kubro di Kota Kediri, Jawa Timur, Ahad (8/4/2018). Puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti Mujahadah Kubro yang dilaksanakan setahun sekali guna memperingati Isra Miraj dan haul pendiri Sholawat Wahidiyah KH Muhammad Ma'roef - (ANTARA FOTO)

 

Mendirikan Kedunglo

Saat usianya 30 tahun, Muhammad Ma'roef dijadikan menantu oleh Kiai Shaleh Banjar Mlati. Ia pun menikahi putri sulung kiai tersebut yang bernama Hasanah. Selang dua tahun setelah menikah, ia pun melanjutkan kembali pencarian ilmunya ke Bangkalan, Madura. Perjalanan ini dibiayai mertuanya yang termasuk kalangan berada.

Di Pulau Garam, Ma'roef belajar kepada Syeikhona Kholil Bangkalan, seorang ulama karismatik yang juga banyak mencetak ulama Nusantara. Setelah sampai di Pesantren Kademangan, ia pun diterima dengan baik oleh sang kiai. "Ini orang yang akan menghabiskan ilmuku," kata Kiai Kholil saat menerima Ma'roef sebagai santrinya.

Setelah menimba luasnya ilmu agama kepada Kiai Kholil Bangkalan, ia pulang ke Kediri. Suatu ketika, ia diminta mertuanya agar mencari tanah untuk dijadikan lahan pondok pesantren. Inilah kesempatan baginya.

Ma'roef lantas melakukan tirakat sambil membaca shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali. Akhirnya, ia mendapatkan ilham untuk mendirikan pesantren di sebelah barat Sungai Brantas, antara dua jembatan kembar.

Awalnya, sang mertua kurang setuju dengan tanah pilihan Ma'roef itu. Akan tetapi, alim ini tetap pada pendiriannya. Ia meyakini, jika pesantrennya dibangun di sana, maka akan memiliki beberapa keistimewaan. Secara letak geografis, lokasi itu berdekatan dengan pasar, sungai, dan akses menuju perkotaan. Setelah mendengar pemaparannya, akhirnya mertuanya itu dapat menerima keputusan Ma'roef.

Setelah tanah tersebut dibeli, sebuah pondok pesantren pun didirikan. Lembaga itu dinamakan Kedunglo pada 1901. Nama tersebut terinspirasi dari kondisi tanah setempat ketika pesantren itu dibangun. Bentuknya masih berupa kedung (danau) dan terdapat sebatang pohon lo yang besar di sana.

Setelah masyarakat mengetahui Kiai Ma'roef mendirikan pesantren di Kedunglo, berduyun-duyunlah para santri mendaftar. Mereka ingin menimba ilmu kepada ulama tersebut. Bagaimanapun, ia kurang suka memiliki banyak santri. Ia cenderung membatasi jumlah santrinya sebatas 40 orang.

Di Pesantren Kedunglo, Kiai Ma'roef waktu itu masih merupakan guru tunggal. Ia belum mempunyai tenaga pengajar untuk membantunya mendidik para santri. Karena diajari secara langsung, maka tak heran jika santri-santrinya banyak yang menjadi orang-orang alim.

Santri Mbah Makruf yang akhirnya menjadi tokoh di tengah masyarakat, antara lain, adalah Kiai Dalhar Watu Cengo Magelang, Kiai Manab Lirboyo, Kiai Musyafak Kaliwungu Kendal, Kiai Dimyati Tremas, Kiai Bisri Mustof Rembang, Kiai Mubasyir Mundir, dan Kiai Marzuqi Solo.

photo
Anggota jamaah Sholawat Wahidiyah menangis saat mengikuti Mujahadah Kubro di Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri, Jawa Timur, Ahad (26/6/2016). Puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti Mujahadah Kubro yang dilaksanakan setahun sekali guna memperingati Isra Miraj dan haul pendiri Sholawat Wahidiyah KH Muhammad Ma'roef - (ANTARA)

Aktif di NU

Pada 1926, Kiai Ma'roef diajak oleh salah seorang sahabatnya, KH Hasyim Asy'ari untuk bergabung dengan organisasi Muslimin tradisionalis yang dirintisnya. Akhirnya, organisasi itu dinamakan Nahdhatul Ulama (NU).

Setelah NU berdiri, sebagaimana yang tertulis di anggaran dasar (qonun asasi), maka terbentuklah jajaran kepemimpinan. Kiai Ma'roef duduk di mustasyar NU. Adapun KH Hasyim Asy'ari menjabat sebagai rais akbar syuriah NU.

Sebagai dewan penasihat di NU, Kiai Ma'roef sering menghadiri muktamar-muktamar NU yang diadakan di berbagai daerah. Pada tiap acara, ia biasanya didaulat untuk memimpin doa. Sebab, orang-orang sudah mafhum, doa-doa sang kiai tak jarang mustajab.

Jika para ulama NU mengadakan Bahtsul Masail lalu menemui jalan buntu, mereka juga kerap sowan pada Kiai Ma'roef untuk meminta petunjuk. Setelah ia menjelaskan pandangannya dengan merujuk pada kitab-kitab, masalah pun terpecahkan.

Selain berkiprah di tingkat nasional, ia juga menjadi punggawa utama NU di tingkat lokal. Di NU Cabang Kediri, jabatannya adalah sebagai rais syuriah. Atas peranan sosok yang akrab disapa Mbah Ma'roef itu, NU Kediri pun tumbuh dengan dinamis.

NU Cabang Kediri juga berkembang dengan cukup pesat, sehingga menarik minat para kiai lain untuk bergabung. Dalam kepemimpinannya, Mbah Ma'roef juga mengembangkan pendidikan Islam, dakwah ahlus sunnah wa al-jama'ah (aswaja), melawan kolonialisme, serta mengupayakan kesejahteraan umat.

Tidak hanya itu, sumbangsih Mbah Ma'roef kepada negara di era kemerdekaan juga sangatlah besar. Hal ini tampak saat, umpamanya, saat dirinya ikut dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Meski tak berada di garda terdepan, perjuangannya tak mungkin diragukan. Ia terus bermunajat, agar para pahlawan bangsa dapat sukses mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi.

Sebelumnya, ia juga menjadi pusat inspirasi spiritual bagi para laskar republik. Sebagai contoh, kala Agresi Militer Belanda, banyak pejuang yang sowan kepada Mbah Ma'roef. Mereka meminta doa dari sang kiai. Dengan bekal doanya, mereka pun menjadi lebih besemangat dalam berjuang mengusir Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali.

 
Dengan bekal doa sang Kiai, para pejuang jadi lebih besemangat dalam berjuang mengusir Belanda.
 

Demikianlah, doa-doa yang dipanjatkannya memberi semangat para santri dan tentara untuk terjun ke medan pertempuran. Di sisi lain, Mbah Ma'roef juga dikenal sebagai ulama yang sangat dermawan. Dapat dipastikan, semua orang yang meminta harta maupun doa kepada beliau tidak pernah ditolaknya.

Selain dikenal sebagai ulama spesialis doa-doa, Mbah Ma'roef juga sangat menggemari shalawat. Oleh karena itu, ia sangat menekankan kepada putra-putrinya agar senantiasa membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Konon, anaknya yang sudah lancar bicara diwajibkan membaca shalawat sebanyak 1.000 kali. Adapun anaknya yang sudah akil baligh diwajibkan membaca shalawat 10 ribu kali. Tidak hanya anak-anaknya, tiap tamu yang meminta ijazah suatu amalan kepadanya juga disarankan untuk banyak-banyak bershalawat.

Ia pernah mengatakan, di Kedunglo nantinya akan lahir shalawat yang baik. Terbukti, tujuh tahun setelah Mbah Ma'roef wafat, shalawat yang diprediksinya pun lahir di Kedunglo, yakni Shalawat Wahidiyah. Teks itu disusun salah satu putranya. Kini, banyak Muslimin yang hafal bait-bait shalawat tersebut.

Pada detik-detik menjelang wafatnya, Mbah Ma'roef yang sudah berusia 103 tahun. Alhasil, ia tidak kuat lagi pergi ke masjid. Pada Rabu bulan Muharram 1375 Hijiriah, ia kembali ke rahmatullah dengan tenang. Jenazahnya dimakamkan di sebelah barat Masjid Kedunglo.

photo
Anggota jamaah Sholawat Wahidiyah menangis saat mengikuti Mujahadah Kubro di Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri, Jawa Timur, Ahad (26/12/2016). Puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti Mujahadah Kubro yang dilaksanakan setahun sekali guna memperingati Isra Miraj dan haul pendiri Sholawat Wahidiyah KH Muhammad Ma'roef - (ANTARA)

Pesantren yang Terus Berkembang Pesat

Pondok Pesantren Kedunglo terletak di Kediri, Jawa Timur. Lokasinya berada di sebelah tenggara dari Alun-alun Kota Kediri atau sebelah barat tepian Sungai Brantas. Ada dua jembatan kembar yang turut memudahkan akses menuju pesantren tersebut. Pada zaman dahulu, jalur transportasi yang hidup di sekitarnya tak hanya darat, melainkan juga via air sungai dengan perahu.

KH Muhammad Ma'roef mendirikan Pondok Pesantren Kedunglo pada 1901 (sumber lain menyebut: 1902). Mulanya, ia hanya menerima sebanyak 40 orang santri. Seperti halnya kebanyakan pesantren di Kediri, Kedunglo pun memiliki keterkaitan dengan pesantren-pesantren yang lebih tua, semisal Lirboyo atau Jampes. Bila dirunut silsilahnya, para pendiri pesantren-pesantren itu bertemu di KH Zainal Abidin dari Banjar Melati. Bahkan, merujuk pada berbagai sumber, Banjar Melati adalah pesantren tertua di seantero Kediri.

Kepada para santrinya, Mbah Ma'roef sangat perhatian. Ia mendidik langsung mereka dengan penuh kasih sayang dan keseriusan. Kedekatannya dengan para santri tak ubahnya seorang ayah kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, ia sangat dihormati dan disayangi mereka.

Seperti pesantren-pesantren pada umumnya, Kedunglo memiliki visi untuk mendakwahkan Islam kepada masyarakat. Dan, misi-misi yang ada berhasil dilakukan Mbah Ma'roef sepanjang hayatnya. Sesudah sang pendiri Kedunglo itu wafat, kepemimpinan di lingkungan pesantren tersebut diteruskan oleh salah satu anaknya, KH Abdul Madjid.

Kiai Abdul Madjid terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf, khususnya yang disarikan dalam kitab Al-Hikam. Bagaimanapun, KH Abdul Madjid cukup piawai dalam membahasakan tasawuf sehingga mudah dipahami jamaah. Tujuan tasawufnya ialah untuk menggapai makrifat Allah. Sesudah dirinya wafat, tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh penerusnya, yakni KH Abdul Latif Madjid.

photo
Mursyid Sholawat Wahidiyah KH Abdul Latif Madjid (berpayung) mendapat pengawalan seusai acara Mujahadah Kubro di Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri, Jawa Timur, Ahad (26/12/2010). Puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti Mujahadah Kubro yang dilaksanakan setahun sekali guna memperingati Isra Miraj dan haul pendiri Sholawat Wahidiyah KH Muhammad Ma'roef - (ANTARA)

Di masa kepemimpinan KH Abdul Latif Madjid inilah, Pondok Pesantren Kedunglo kian menjadi salah satu pesantren yang berpengaruh di Kediri atau bahkan seluruh Pulau Jawa. Pesantren ini lebih menekankan program pendidikannya secara komprehensif pada bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Tentunya, hal itu dilakukan dengan tidak menanggalkan visi dan misi dakwah Islam. Termasuk di antaranya, mencetak wali yang intelek atau intelektual yang wali.

Pondok Pesantren Kedunglo tampak berbaur dengan permukiman penduduk setempat. Jumlah santrinya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Mereka tak hanya berasal dari Kediri dan sekitarnya, melainkan juga seluruh Indonesia.

Salah satu ciri khas pendidikan agama di Ponpes Kedunglo adalah pengamalan shalawat Wahidiyah yang digagas oleh sang pendirinya, Mbah Ma'roef. Dengan membacanya, seseorang turut memohon pertolongan (syafaat) kepada Allah SWT. Shalawat ini juga dibaca untuk menjernihkan hati dan pikiran. Fokusnya adalah cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW.

Pengamal shalawat itu tidak terbatas di kalangan santri, tetapi juga masyarakat luas. Jumlahnya diperkirakan telah mencapai puluhan ribu orang. Para pengamal ini tiap tahun berkumpul di Kedunglo untuk memperingati 1 Muharram dan Maulid Nabi serta mengadakan Mujahadah Qubro.

Sumber: Malam Nisfu Sya'ban di Pesantren Kedunglo yang diawali dengan membaca surah Yasin.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat