Ekonomi
Ekonomi Diyakini Segera Membaik
Kelangkaan bahan baku bisa memengaruhi beberapa industri unggulan.
JAKARTA -- Bank Indonesia optimistis pertumbuhan ekonomi Tanah Air akan membaik pada kuartal ketiga tahun 2020. BI pun memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh di atas tiga persen pada kuartal IV dengan mencermati perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia yang melambat.
“Itu kurang lebih bottom-nya yang paling berat itu 2-2,5 bulan, April-Mei dan setengah Juni, pertengahan Juni mulai kembali membaik,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam keterangan pers daring di Jakarta, Rabu (29/4).
Indikatornya, lanjut dia, mencermati pola penyebaran dan penanganan wabah Covid-19 di Tanah Air. Apalagi, dia mengatakan, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah sebagai salah satu upaya menekan penyebaran wabah virus korona juga masuk dalam kalkulasi bank sentral.
Selama beberapa hari terakhir, tren kasus baru virus korona menunjukkan penurunan, sedangkan kasus sembuh lebih tinggi dibandingkan kasus meninggal dunia. Meski begitu, BI tidak mengubah perkiraan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini yang mencapai 2,3 persen dengan mencermati dampaknya kepada sektor investasi, produksi, dan pariwisata.
“Kalau dulu kan ekonomi global tumbuh tidak sebagus sekarang. Sekarang asumsinya lebih buruk, tapi di sisi lain ada perkembangan lebih positif mengenai pola penanganan Covid di Indonesia," katanya.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat per Senin (27/4) tidak ada kasus baru virus korona di 19 provinsi di Tanah Air, dengan kasus sembuh yang lebih besar dibandingkan meninggal dunia. Sedangkan hingga Rabu (29/4) pukul 12.00 WIB, jumlah kasus Covid-19 di seluruh Indonesia mencapai 9.771 kasus dengan jumlah kasus sembuh mencapai 1.391 dan meninggal dunia 784 kasus. Secara harian, pertumbuhan kasus baru virus korona jenis baru juga mengalami tren penurunan.
Peneliti Pusat Kajian Visi Teliti Saksama Widyar Rahman memperkirakan, kinerja perekonomian Indonesia dapat pulih sepenuhnya pada 2022. Ini dengan asumsi pandemi Covid-19 reda pada pertengahan 2020. "Tentunya proses pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu yang lebih panjang," kata Widyar.
Widyar menjelaskan, penurunan jumlah kasus positif korona yang disertai dengan kebijakan penanganan untuk mengatasi Covid-19 menjadi kabar positif bagi pulihnya perekonomian. Namun, menurut dia, permintaan barang dan jasa yang belum pulih dalam waktu dekat masih memperlambat pertumbuhan industri pengolahan nasional.
Kondisi itu juga dipengaruhi oleh kinerja perdagangan global yang masih terdampak oleh turunnya kinerja industri manufaktur di Cina yang menjadi pusat penyebaran wabah. "Jika dibandingkan wabah SARS 2002-2003 yang juga berasal dari Cina, dampak negatif dari merebaknya Covid-19 terhadap perekonomian akan jauh lebih luas," kata Widyar.
Peneliti Senior Visi Teliti Saksama Sita Wardhani menambahkan, dari sisi produksi, rata-rata produsen dalam negeri hanya memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020. Jika pasokan dari Cina yang selama ini merupakan mitra dagang utama, dalam periode ini terhambat atau hanya terpenuhi sedikit, proses produksi pabrik di Indonesia dapat terganggu. "Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian Cina bangkit dan kembali aktif pada bulan April," kata Sita.
Namun, menurut dia, bila pemulihan ekonomi di Cina berlangsung lebih lama dari perkiraan, pemenuhan barang baku impor dapat tertunda lebih lama.
Sita mengatakan, kelangkaan bahan baku bisa memengaruhi beberapa industri unggulan yang tidak lagi mampu memenuhi permintaan, seperti sektor makanan dan minuman. Kelangkaan pasokan itu diperkirakan dapat memicu terjadinya inflasi tinggi sehingga sektor rumah tangga akan menurunkan konsumsi.
"Dengan tingkat inflasi tinggi, konsumsi rumah tangga juga turun sejalan dengan daya beli yang juga menurun. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun dapat terpuruk lebih jauh," kata Sita.
Defisit fiskal
Sementara itu, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai pembiayaan defisit fiskal pemerintah sebesar Rp 1.400 triliun disebabkan banyaknya stimulus dan insentif fiskal yang diberikan pemerintah. Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan pemberikan stimulus dan insentif fiskal yang terlalu banyak dari pemerintah menekan potensi pendapatan negara.
"Hal ini perlu diperhatikan apakah insentif fiskal ini banyak dinikmati perusahaan besar, dan bagaimana efektivitas ke perekonomian karena kalau kita bicara insentif fiskal seperti belanja pajak 2018 lalu karena pemerintah rajin memberika tax holiday allows maka belanja pajak tembus Rp 221 triliun. Tapi efek ke ekonomi dan serapan ekonomi tidak optimal jadi jangan sampai kejadian lagi, sehingga defisitnya berat," ujarnya ketika dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (29/4).
Dari sisi belanja, lanjut Bhima, kebutuhan stimulus ekonomi menyebabkan defisit yang besar, sehingga pembiayaan defisit fiskal juga tinggi di atas Rp 1.000 triliun. "Nah pembiayaan tinggi ada beberapa risikonya, pertama biaya penyelematan krisis sangat mahal dan utang tenor panjang-panjang misal Global Bond hingga 2050. Jadi kalau melihat beban yang cukup panjang, dikhawatirkan ongkos krisis 2020 akan membebani APBN sampai lima puluh tahun ke depan," kata dia.
"Kemudian membuat beberapa belanja misal perlindungan sosial akan dipangkas ketika pemerintah terhimpit beban untuk bunga dan cicilan pokok," ucapnya. Sebelumnya Bank Indonesia mencatat total pembiayaan defisit fiskal pemerintah mencapai Rp 1.400 triliun. Nantinya pembiayaan tersebut akan dipenuhi pinjaman dari lembaga dunia dan pasar obligasi.
Gubernur Bank Indonesia merinci sebanyak Rp 500 triliun pembiayaan defisit fiskal akan dibiayai dari saldo kas pemerintah yang ada di Bank Indonesia dan perbankan, dana Badan Layanan Umum (BLU), pinjaman Asian Development Bank (ADB), dan Bank Dunia serta penerbitan obligasi.
“Dari pemenuhan tersebut, sisanya pembiayaan defisit fiskal pemerintah menjadi Rp 900 triliun. Sementara sebanyak Rp 225 triliun sudah dikeluarkan, sehingga kini jumlah pembiayaan defisit fiskal menjadi Rp 775 triliun,” ujarnya saat video conference di Jakarta, Rabu (29/4).
Menurut Perry Warjiyo, dari total sebesar Rp 775 triliun, sekitar Rp 150 triliun akan digunakan untuk pemulihan ekonomi. Kemudian sebanyak Rp 100 triliun akan ditopang dari kebijakan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Indonesia, sehingga perbankan dapat menyerap Surat Berharga Negara (SBN).
“Sisanya lagi Rp 425 triliun akan dipenuhi melalui lelang SBN. Kalau kami hitung sisa lelang sampai akhir tahun kebutuhannya dari lelang tidak melonjak,” ucapnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.