
Safari
Kaliabu, Kampung Brem Madiun
Tak ada warga yang tahu pasti asal-usul brem madiun sampai kini menjadi ikon kota itu.
Nuansa sentra pembuatan brem mudah terasa saat memasuki Desa Kaliabu. Sebuah desa sekitar 25 kilometer arah utara dari Kota Madiun. Di sana-sini papan atau poster sebagai petunjuk tempat industri rumah tangga penjual brem. Dari puluhan industri rumah tangga pembuat brem, dua yang benar-benar dapat dikatakan sebagai produsen, bukan mendapat pasokan dan menjual brem dengan bungkus merek sendiri.
Samar-samar aroma harum tercium saat saya memasuki pekarangan rumah Bu Parti (43). Ia salah satu dari dua produsen brem terkenal di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. CV Duta Rasa yang dikelolanya salah satu pemasok terbesar brem yang dijual di pusat Kota Madiun. Ia juga memasok usaha rumahan warga lain.
"Saya mendapat keterampilan bisa membuat brem secara alami karena sering melihat orang tua atau warga desanya dalam membuat brem," kata wanita itu saat menerima kunjungan saya akhir April lalu.
Pembuatan brem
Parti tak tahu pasti asal-usul sejarah makanan yang diproduksinya. Namun, dari mulut ke mulut, generasi ke generasi, ia menangkap bahwa penganan ini termasuk jenis makanan mewah di masa penjajahan. Maklumlah, ketan sulit terjangkau di masa sulit itu. Ia hanya bisa memastikan bahwa pembuatan brem merupakan tradisi turun-temurun yang diwariskan nenek moyang mereka.

Di rumah Parti, saya mencermati proses pembuatan brem. Di situ saya baru tahu bahwa ternyata pembuatan brem cukup mudah, namun memerlukan waktu cukup lama. Salah satu pekerja, Sarno, menjelaskan, proses pembuatan brem membutuhkan waktu sekitar satu pekan. Bahan baku ketan menjadi titik kritis bagaimana kualitas rasa brem bisa terjaga.
Mereka memilih ketan impor dari Vietnam dengan harga Rp 16 ribu per kilogram. Ketan Negeri Paman Ho Chi Minh itu, kata dia, memiliki keunggulan bisa mengembang dan hasilnya tebal. Sementara itu, mereka menilai kualitas ketan lokal kalah jauh dan yang beredar di pasaran pun banyak dicampur dengan beras.
Seharinya, ia mengolah sekitar 1,5 kwintal ketan untuk diolah menjadi brem. Ketan yang sudah dipilih dicuci dengan air bersih untuk kemudian dimasak di tungku selama 1,5 jam. Cara mengolahnya mirip mengukus beras sampai matang. Ketika dirasa sudah matang, ketan yang lengket didinginkan secara bolak-balik. Lama pendinginan, kata Pak Sarno, tidak ditentukan. Hanya saja, pihaknya menggunakan kipas angin agar proses pendinginan bisa berlangsung cepat.
Setelah dirasa dingin, ketan dimasukkan ke dalam bak bundar dengan diberi ragi dan ditutup plastik. Proses fermentasi selama satu minggu dilakukan agar ketan menjadi tape manis. Selanjutnya, ketan yang sudah lembek itu dimasukkan ke dalam kaleng untuk diaduk ke dalam mesin pengolah hingga menjadi bubur. Di sini, diberi pula pewarna satu botol ukuran jempol orang dewasa agar brem yang dijual nanti bervariasi.
Proses alami
"Ketan diaduk terus selama 1,5 jam, sambil diberi soda selama proses pengadukan," terang Pak Sarno. Soda berfungsi membuat brem yang sudah kering bisa mengembang. Tanpa soda, akan banyak terbentuk rongga udara sehingga brem lebih ringan dan kualitasnya kurang baik.

Tahap selanjutnya, Sarno menambahkan, ketan yang sudah menjadi bubur ditumpahkan di papan cetakan seluas 50 cmx4 meter. Di papan kayu itu, dilakukan proses pemadatan menggunakan tangan selama 15 menit. Terkadang pekerja menggunakan penggaris dari kayu untuk meluruskan ketan di papan. "Bahan 1,5 kwintal ketan itu setiap harinya dibagi menjadi 13 papan," katanya.
Bubur ketan itu dibiarkan sampai pagi keesokan harinya: brem menjadi keras. Brem digores sesuai ukuran sebelum dijemur. Dalam cuaca panas, penjemuran hanya membutuhkan waktu setengah hari. Di musim hujan, butuh waktu sehari hingga dua hari agar brem benar-benar kering. "Dengan penjemuran, brem bisa bertahan sampai empat bulan. Kalau tidak dipanasi sinar matahari, brem hanya tahan sebulan."
Parti menjelaskan, proses pengeringan secara alami hingga kini tidak bisa digantikan dengan teknologi. Mulai berjualan sejak 1994, ia menyadari produk yang dijualnya bisa terus bertahan karena proses pembuatannya murni secara tradisional. Hingga kini ia menggunakan tungku dengan kayu sebagai pembakaran agar menghasilkan kualitas brem unggulan. "Saya masak brem di pawon saja, dan butuh kayu satu pick up setiap minggunya," katanya.
Dari rumahnya, setiap harinya Parti bisa menjual 650 bungkus brem berukuran 5x20 cm tiap harinya. Ia mematok tarif sebungkus brem Rp 4.000 hingga Rp 6.500. Semua ukuran bremnya sama, hanya yang membedakan adalah isi setiap bungkus. "Yang murah, isi bremnya sedikit."
Ia menjual brem lima jenis, yaitu rasa cokelat, durian, jeruk, melon, dan stroberi. Produknya hingga kini telah menembus pasar di Bali dan Kalimantan. Setiap harinya hanya memperoleh keuntungan sedikit karena masih harus membayar tiga pekerja sebesar Rp 30 ribu per hari. Meski begitu, karena pesanan setiap hari selalu ada, ia tidak mempermasalahkan margin keuntungan yang tipis itu. "Saya banyak memasok toko di tengah Kota Madiun, yang dijual lagi dengan harga dua kali lipat."

Mengenang Kawasan Gula
Madiun juga dikenal sebagai daerah penghasil gula. Setidaknya terdapat lima pabrik gula (PG) peninggalan Belanda yang masih beroperasi di sana, yaitu PG Rejo Agung, PG Pagottan, PG Kanigoro, PG Soedhono, PG Rejosari.
Saya menyempatkan untuk meninjau dua PG Rejo Agung dan PG Pagottan yang terletak di jalur utama Kota Madiun. Terdapat simbol kereta api yang dijadikan tugu di depan dua pabrik gula itu. Meski bangunannya terlihat tua, secara fisik kondisinya relatif bagus.
Yang patut disayangkan, jalur yang digunakan lori untuk mengangkut tebu dari perkebunan sudah tidak aktif meski kondisi relnya masih bagus. “Sekarang pengangkutan tebu digantikan truk,” kata Bernadi S Dangin yang banyak memperkenalkan saya dengan Kota Madiun.
Ia juga menyayangkan, beberapa bangunan, khususnya di PG Rejo Agung, banyak yang dihancurkan tanpa alasan yang jelas. Namun, kalau dirunut sejarah, ia bisa memahami penghilangan beberapa gedung, termasuk Marx House. Tempat bersejarah itu, menurut dia, dulunya dijadikan ruang diskusi bagi kaum buruh untuk menyebarkan gagasan pemikiran filsuf Karl Marx. Pasalnya, Madiun dulu dikenal sebagai basis pergerakan kaum kiri.
Disadur dari Harian Republika edisi 5 Mei 2013 dengan reportase Erik Purnama Putra
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.