Para pengunjuk rasa meneriakkan mendukung Palestina setalah shalat Jumat di Masjid Universitas Al Azhar, lembaga Islam utama dunia Muslim Sunni, di Kairo, Mesir, Jumat, 13 Oktober 2023. | AP Photo/Amr Nabil

Internasional

Mesir dan Jorban Mulai Bergolak

Diamnya rezim terhadap penderitaan di Gaza memicu perlawanan rakyat.

Diamnya pemerintah Mesir dan Yordania, dua negara tetangga Palestina, mulai memicu riak-riak pemberontakan di dalam negeri. Pembungkaman terhadap solidaritas untuk Palestina berpotensi memicu krisis internal.

“Pihak berwenang Yordania dapat  memicu krisis internal dengan keputusan mereka untuk menindak aktivis solidaritas Palestina,” kata sebuah sumber kepada Middle East Eye (MEE), Ahad.

Sumber tersebut mengatakan bahwa situasi mencapai titik didih karena badan intelijen Yordania melancarkan kampanye penangkapan besar-besaran yang menargetkan aktivis, lawan politik, dan pemimpin partai.

Penangkapan tersebut terjadi di tengah meningkatnya ketidakstabilan di negara tetangga Suriah, memburuknya kondisi warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, dan Israel yang melakukan genosida dengan kelaparan di Gaza.

Pada Rabu, pihak berwenang Yordania menangkap aktivis media sosial terkemuka Ayman Aballi, beberapa hari setelah dia menerbitkan sebuah video yang mengecam apa yang dia sebut sebagai “diamnya” negara tersebut atas kebijakan kelaparan Israel di Gaza.

photo
Presiden AS Donald Trump menemui Raja Yordania Abdullah II di Gedung Putih, Washington, Selasa, 11 Februari 2025 - (AP Photo/Evan Vucci)

Kritik terhadap badan intelijen, yang umumnya dikenal sebagai Mukhabarat, semakin meningkat setelah seorang pemuda meninggal dalam tahanan polisi sehari setelah penangkapannya, kata sumber tersebut kepada MEE.

Media lokal melaporkan bahwa ketegangan mulai meningkat setelah Ahmed al-Ibrahim meninggal dalam tahanan polisi setelah menjadi sasaran “serangan fisik yang parah” selama penahanan.

Menurut keluarganya, Ibrahim beberapa kali dibawa ke rumah sakit terdekat saat berada di kantor polisi Ramtha di Ar-Ramtha, 5 km dari perbatasan Suriah. Dia dilaporkan meninggal karena luka-lukanya beberapa jam setelah dipindahkan ke rumah sakit untuk terakhir kalinya.

Kematiannya memicu malam kemarahan di Ar-Ramtha, dengan video yang dilihat oleh MEE menunjukkan pengunjuk rasa memblokir jalan, membakar ban dan menuntut pertanggungjawaban penuh.

photo
Tetara Yordania dalam latihan militer beberapa waktu lalu. - (File/Reuters)

Pada hari yang sama ketika Ibrahim meninggal, pasukan keamanan menangkap Yanal Freihat, seorang anggota parlemen dari partai Front Aksi Islam (IAF), atas sebuah postingan di Facebook yang mengkritik sikap pemerintah terhadap Ikhwanul Muslimin.

Pasukan keamanan juga sempat menahan juru bicara Ikhwanul Muslimin Moaz al-Khawaldeh, sebelum membebaskannya keesokan harinya. 

“Pasukan keamanan menciptakan krisis internal dan menyebabkan gelombang kemarahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di jalanan,” kata seorang analis politik Yordania kepada MEE yang tidak mau disebutkan namanya, karena takut akan pembalasan. 

“Hal ini terjadi pada saat Yordania menghadapi ancaman eksternal serius yang memerlukan persatuan internal, bukan perpecahan politik dan sosial yang mendalam.

“Yordania kini menghadapi dua ancaman strategis besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Yang pertama adalah ancaman runtuhnya negara Suriah dan pemisahan diri Sweida dengan dukungan Israel, yang mungkin memicu perang saudara yang meluas yang akan berdampak pada wilayah tersebut dan Yordania,” kata analis tersebut.

“Yang kedua adalah ancaman perpindahan warga Palestina dari Tepi Barat ke Yordania, yang menyebabkan perubahan komposisi demografi kerajaan Hashemite.”

photo
Seorang pengunjuk rasa mengacungkan plakat bergambar Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat unjuk rasa pro-Palestina di dekat kedutaan Israel menyusul serangan terhadap sebuah rumah sakit di Jalur Gaza, di Amman, Yordania, 18 Oktober 2023. - (EPA-EFE/HANNIBAL HANSCHKE)

Pada malam tanggal 25 Juli 2025, sekelompok pemuda Mesir juga melancarkan serangan berani yang mengguncang tatanan politik Mesir. Menyebut diri mereka “Iron 17,” mereka menyerbu markas Keamanan Negara di kantor polisi Ma’asara di Helwan, menahan beberapa petugas keamanan selama berjam-jam dalam tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini merupakan aksi pertama sejak Abdel Fattah al-Sisi naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2013 sebagai presiden.

Lebih dari sekadar serangan terhadap gedung pemerintah, penggerebekan tersebut, yang terekam dalam video viral, mengungkap kemarahan publik yang meningkat yang dapat mengancam kekuasaan Sisi. Sebagian besar kemarahan ini berasal dari peran Mesir dalam bencana kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza dan penutupan perbatasan Rafah.

Sejak Israel merebut perbatasan Rafah di sisi Palestina pada Mei 2024, krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan puluhan orang, terutama anak-anak, meninggal karena kelaparan, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.

Rezim Mesir, yang menyangkal bertanggung jawab atas penutupan tersebut, menghadapi tuduhan gagal menekan pembukaan kembali penutupan tersebut. Sikap ini telah memicu kemarahan publik, dan banyak yang melihatnya sebagai sikap menyerah terhadap tekanan Israel dan AS dengan mengorbankan perjuangan Palestina.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (republikaonline)

Menambah pemicunya, Gubernur Sinai Utara Khaled Megawer, dalam sebuah wawancara pada hari Jumat dengan jurnalis pro-rezim Mustafa Bakri, mengakui Mesir tidak dapat membuka kembali Rafah secara paksa karena adanya penentangan dari AS, sebuah pernyataan yang oleh para kritikus dipandang sebagai pengakuan implisit atas peran Kairo dalam penutupan tersebut.

Melalui saluran Telegram “Nation’s Flood,” yang memiliki hampir 50.000 pelanggan, muncul rekaman yang menunjukkan para pemuda di dalam kantor Keamanan Negara Ma’asara, menahan petugas selama berjam-jam.

Video-video tersebut, yang telah ditonton jutaan kali, menunjukkan kelompok tersebut mengecam penutupan penyeberangan Rafah, jalur penyelamat bagi penduduk Gaza yang terkepung, dan penangkapan para aktivis yang mengumpulkan bantuan untuk daerah kantong tersebut.

Dalam salah satu percakapan yang mengerikan, seorang petugas yang ditahan menanggapi tuntutan untuk membuka kembali Rafah dengan satu kata: “Tidak mungkin.” Klip-klip ini bukan sekadar dokumentasi; Hal ini merupakan bukti bahwa masyarakat sudah muak dengan rezim yang mereka tuduh terlibat dalam penderitaan Gaza.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat