Kau hancur sekaligus selamat | Daan Yahya/Republika

Sastra

Kau Hancur Sekaligus Selamat

Cerpen Nehill Stat

Oleh NEHILL STAT

Nadin duduk sendiri. Tak jauh dari sisi kanannya sekelompok anak muda sedang asyik bercengkrama. Canda tawa mereka menarik perhatiannya. “Masa yang indah," ucap Nadin pelan sambil tersenyum.

"Benar! Banyak hal yang bisa dibicarakan bersama." Suara datar itu memalingkan wajah Nadin bersama senyuman yang masih tersisa 

Seorang pria dengan wajah berseri berdiri tepat di sisi kiri Nadin. "Waktu menapis banyak hal, termasuk sahabat yang sering mendengar cerita kita." Lanjut pria itu.

Seketika bekas senyum hilang dari wajah Nadin. Air mukanya tampak kaget dan bingung namun tetap memancarkan keramahan.

"Bila tak keberatan, aku ingin duduk bersebelahan denganmu?" Nadin tak menjawab, hanya memindahkan tas ke pangkuannya.

Lelaki itu berucap terima kasih sambil duduk. Keduanya menatap ke depan, memandang air laut yang tenang. Tak ada percakapan lagi. Sesekali suara tawa kelompok anak muda mengisi keheningan mereka berdua.

Sore itu angin bertiup lembut, melambaikan rambut merah Nadin. Aroma wangi menyebar. Wangi yang tak asing di hidung pria yang duduk di sampingnya itu. Ada banyak tanya tapi pria itu memilih diam. Dia ingat sang sufi penari: diamlah, engkau akan mendengar lebih banyak.

 

***

Dua belas tahun lalu, Nadin menyambut cinta Z. Tak mudah membuat Nadin jatuh hati. Berbagai cara simpatik yang paling romantik tak juga manjur.

Tidak mungkin seorang perempuan tanpa alas kaki saat berdesakan antri pembagian sembako memiliki angan tinggi menikahi anak orang kaya. “Tak tahu malu bila terlintas pikiran seperti itu,” tegas ibu Nadin suatu saat dulu. Larangan ini rupanya mendapat tempat khusus di hati Nadin, terpatri.

Namun tidak bagi Z, sang flamboyan yang takluk tak berkutik bahkan pada pandangan pertama. Tidak tahu menahu soal status sosial ekonomi. Yang dia tahu adalah apa yang dia rasakan: berbunga-bunga bak musim semi hingga layu gersang layaknya kemarau panjang. 

Z telah mabuk sejak saat itu. Memutuskan meninggalkan segalanya demi Nadin, walau keluarganya geger besar. Hanya kakak perempuannya yang menunjukkan sikap berbeda: Adikku sayang, kau hancur sekaligus selamat… 

Setahun lebih hidup dengan kepastian dalam ketidakpastian. Berulang kali melewati sakit yang menyiksa hingga berjuang mengusir kegilaan diri. Bertahan sebagai pedagang asongan, tukang parkir legal maupun ilegal, penjaga mushola terminal, kenek bangunan, sopir angkot, untuk sekadar bisa makan. Tak ada lagi kemewahan, tak ada lagi kesenangan. Hanya Nadin! Walau perempuan itu tak gubris.

“Kau mengejar bayangan!” Sudah berbulan-bulan cuma kalimat ini yang terucap dari mulut Nadin. Namun Z tidak peduli. Baginya ini momen terindah, bisa mendengar langsung suara sang kekasih.

 

***

Malam sudah mengusir hiruk-pikuk. Awan hitam menyembunyikan lebih dari setengah sinar rembulan. Nadin telah merapikan lapak kecilnya dan bersiap pulang. Ia melangkah cepat, menenteng kresek hitam besar berisi dagangannya. Saat tiba di ujung pasar, tak jauh dari lapaknya, Nadin mulai memperlambat langkah membiarkan gerimis menyentuhnya. Matanya mengamati Z bersama tiga bocah yang sedang duduk di depan pintu toko sembako yang telah tutup sambil menyantap makanan

Sadar akan kehadiran Nadin, Z menundukkan kepala. Seolah rasa malu dan takut bersekutu menyekap rintihan kerinduannya.

“Malam ini tiga anak…” batin Nadin. 

Sudah sebulan terakhir Nadin menyaksikan pemandangan ini dengan bocah yang berbeda-beda. Sudah sebulan juga tak ada lagi keriangan pada wajah Z. Keriangan yang penuh percaya diri yang merekah indah saat awal perjumpaannya dengan Nadin. Yang tampak di wajah Z kini hanyalah kelayuan, dan tak necis lagi. 

Malam itu menjadi berbeda walau tak ada bintang yang berhasil mengintip. Mata Nadin menyaksikan pijaran sinar yang memancar disaat Z menundukkan kepala. Tubuh Z dan bocah-bocah itu seperti diliputi cahaya. 

Setiba di rumah, Nadin menceritakan kejadian tadi. Ibu Nadin menyimak dan merespon singkat, “anak baik.” Nadin cukup kaget, baru kali ini ibunya menanggapi cerita tentang Z dan bocah-bocahnya.

“Anakku, kau terlihat lelah. Tidurlah… Besok pagi mereka menjemput ibu.”

Wajah Nadin berubah, emosinya meluap. Seketika tubuhnya terasa lunglai tak berdaya. “Tidak ibu! Mereka tidak boleh membawa ibu!” Nadin mendekap erat tubuh ibunya, “maafkan Nadin, bu…” Suara Nadin bergetar, air matanya jatuh.

“Tak usah khawatir. Ibu akan baik-baik saja. Tuhan punya rencana sendiri.”

“Harus kemana lagi aku sembunyikan ibu?” Nadin membatin. Pikirannya buntu. Tak ada kelebihan sepeserpun untuk menyewa tempat tinggal baru yang selama ini ia lakukan untuk mengelabui petugas-petugas sosial. Hasil dagangannya hanya cukup buat makan dan membeli obat untuk ibunya. Itu pun sudah terlalu banyak hutang yang entah kapan bisa ia lunasi.

Nadin berbaring di samping Ibunya dengan membawa perasaan bersalah. Tapi, ia tidak terbiasa mengutuk nasib walau kesulitan hidup belum juga beranjak pergi. 

Sambil menggenggam erat tangan ibunya, Nadin teringat masa kecil saat asik bermain dengan teman sebaya. Sang ayah datang dan langsung menggendongnya kemudian menaikkannya ke mobil truk. Hati Nadin gembira mengira orang tuanya mengajak piknik. Mulai saat itu Nadin tak pernah kembali ke kampung tempat dia dilahirkan yang kini telah berubah menjadi lubang-lubang raksasa hasil karya konglomerat tambang. 

Mulai saat itu pula tak ada lagi keriangan usia kanak. Hari-harinya diisi berkeliling menjual apa saja yang bisa dijual hingga ia tumbuh dewasa. Usia Nadin 15 tahun saat ayahnya wafat digerogoti tuberkulosis. Selepas itu ia tak lagi mau ke sekolah dan memilih mencari nafkah meneruskan jejak ayahnya. Nadin kemudian terlelap bersama bayang wajah sang ayah.

Pagi hari, sejumlah petugas dari Dinas Sosial sudah siap di depan gang rumah Nadin. Wajah mereka sumringah merasa berhasil menunaikan amanat konstitusi. Nadin melepas ibunya dengan berat hati, merasa gagal sebagai anak. 

Sejak ibunya tinggal di panti wreda, Nadin lebih cepat menutup lapak untuk menemui ibunya setiap sore. Tak ada lagi penyaksian Z dan bocah-bocahnya pada malam hari. Lama tak ada perjumpaan, hati Nadin mulai bertanya-tanya. Rasa penasaran membawa Nadin melintasi depan toko sembako itu. Berharap ada Z dengan bocah-bocahnya. Tapi tak seorang pun yang duduk di sana. Malam-malam berikutnya Nadin mengulang rute yang sama dengan getaran hati yang sama. Juga tak ada siapapun di situ.

Hingga suatu malam yang lebih dingin dari biasanya, dari kejauhan tampak seorang pria sedang berdiri di depan lapak milik Nadin. “Z?” Nama ini keluar begitu saja dari mulut Nadin. Jantung Nadin berpacu cepat seiring langkah kakinya. Sayangnya Z lebih cepat berlalu. Nadin berusaha mengejar tapi tak berhasil. Z raib bagai ditelan malam.

***

“Nak, sudah lama ibu tidak dengar cerita Z dan bocah-bocahnya… Apa dia baik-baik saja?”

“Tidak tahu, bu.” jawab Nadin sambil mendorong kursi roda menyusuri taman panti.

“Padahal Ibu ingin sekali mendengarnya...”

“Apa ibu tidak marah?”

“Ibu hanya ingin melindungimu. Hidup memang pilihan… tapi bukan untuk kita.” 

Selepas menemani ibunya, Nadin bergegas menuju toko sembako. Seorang bocah yang biasa bersama Z ada di situ. Nadin tampak bercakap-cakap dan kemudian menyerahkan kertas kepada bocah itu.

 

***

“Bagaimana bisa kau bertahan hidup seperti ini?” tanya Iren, kakak perempuan Z. Akal iren tak mampu lagi mencerna kelakuan adiknya kini. Mereka bertemu terakhir 7 bulan silam saat Z memutuskan keluar dari rumah setelah membuat sang ayah marah besar lantaran menolak menikahi anak gadis kolega bisnisnya.

“Seperti yang kakak lihat. Z baik-baik saja.”

Iren meminta Z untuk mendekat padanya. Z paham apa yang akan dilakukan kakaknya. “Silakan kak,” sambil sedikit mengangkat kedua tangannya tanda pemeriksaan dimulai. 

Iren memelototi dan mengusap-usap satu persatu lengan Z. Cara yang sama ia lakukan pada badan hingga kaki. Merasa cukup, Iren berdiri dan mulai mengamati setiap sudut ruangan. Hanya ada satu kasur busa tipis dan satu bantal kepala tanpa sprei.  

Selanjutnya, Iren menatap dalam-dalam mata Z, “sejak kapan kau merdeka?”

“Sejak awal perjumpaan…” jawab Z tenang

Iren langsung memeluk Z sambil berkata “Adikku sayang… kau hancur sekaligus selamat. Sampaikan terima kasihku untuk Nadinmu.” 

“Kakak harus pulang hari ini juga.” Iren melangkah keluar setelah meletakkan amplop berisi uang secara diam-diam di lantai kamar. Hati cemas berbulan-bulan hilang seketika, “Terima kasih Gusti, terima kasih… Alhamdulillah. Kau bebaskan adikku dari racun putih,” batin Iren sembari terus berjalan. Air mata bahagianya menetes. Tak sabar rasanya cepat-cepat tiba di rumah dan membawa kabar indah ini kepada suaminya. Hanya Iren dan suaminya yang memahami kegilaan Z pada serbuk putih itu.

Selepas kunjungan itu, Z kian terpuruk dalam kerinduan yang sangat. Nadin telah menggerogotinya, tak tersisa. Hasrat bersanding membuat Z berupaya berpikir ulang soal tingkahnya yang over atraktif malah membuat Nadin risih dan makin menjauh. Kini, ia memutuskan untuk diam membeku seperti yang dilakukan Nadin. Tak ada lagi sapaan dan hadiah-hadiah kejutan dengan kata-kata manis di lapak atau di depan pintu rumah Nadin. 

Berbulan-bulan kemudian, di suatu malam saat Z seperti biasa membawa makanan untuk bocah-bocah. Seperti biasa juga, dadanya akan selalu berdebar menyambut sang kekasih yang akan melintas. 

“Bidadari Abang datang. Aku ajak makan ya?” Bilang salah satu bocah  

“Mana makanannya?” tanya bocah lain

“Diam,” Z memotong

“Basa-basi saja… Lagian gerimis. Kasihan bidadari abang basah.”

“Diam!” kali ini dengan wajah serius. Bocah-bocah itu tak berani bersuara lagi.     

Malam itu Nadin tampak berjalan lambat sembari mengamati Z. Mata mereka saling bertatapan sekilas. Tiba-tiba pikiran Z menyeruak pada kata-kata Iren “... kau hancur sekaligus selamat…” Hatinya makin bergetar, kepalanya tertunduk. “Ya Tuhanku sungguh kasih sayang-Mu tak berbatas. Aku angkuh, ampuni dosa-dosaku…” Tubuhnya berguncang menahan luapan rasa penyesalan sekaligus syukur. Tangisnya pun pecah.

***

"Menunggu seseorang?"

"Tidak" jawab Nadin. "Udara di sini menyegarkan. Tak banyak berubah. Dulu ayah sering mengajakku ke sini setelah kami berkeliling, berharap dagangannya ada yang membeli… Sepertinya tempat ini menyimpan keberkahan. Anakku menyebut taman sojo, bahasa lokal ayahnya." Nadin menunduk dan memejamkan mata sambil melepas senyum.

“Bagaimana kabar mu, Z?” Nadin bertanya dengan kepala tetap menunduk.

“Seperti yang kau terlihat. Aku baik-baik saja.”

Nadin menatap Z dan dengan nada lembut berujar “aku hancur saat kau menghilang… Aku tak benar-benar mengerti mengapa perasaan itu datang tepat saat kau pergi. Hanya tangis dalam doa yang menghiburku… Tapi aku juga selamat layaknya yang selalu kau ajarkan kepada bocah-bocahmu.”

Z diam tak membalas. Untuk beberapa saat keduanya saling menatap tanpa kata. Membiarkan diri mereka didekap hening seolah meleburkan sepuluh tahun merindu, dan akan selalu merindu jauh di dalam lubuk jiwa.

"Aku tahu pertemuan ini tidak pantas, meskipun tidak direncanakan" ucap Nadin sambil berdiri lalu melangkah pelan menuju kerumunan dengan mata berkaca-kaca.

Z tak bergerak, tetap di tempat duduknya. Ia menundukkan kepala bagai merelakan segalanya dengan penuh penghormatan. 

Sesaat kemudian tangannya mengeluarkan secarik kertas kusam dari saku kemejanya. Tulisan tangan: 

Engkau punya kisah

Aku punya cerita

Andai kita dapat menulisnya bersama

Yang terus berharap

–Nadin–

 

Nehill Statbtinggal dan beraktivitas sebagai pengajar di kaki gunung Gamalama, Ternate.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Mata Rabi'ah

Puisi Armen Setiaji Untung

SELENGKAPNYA

Ombak Senja

Cerpen Darju Prasetya

SELENGKAPNYA

Puisi Tanya

Puisi-puisi Malik Ibnu Zaman

SELENGKAPNYA