Ombak Senja | Daan Yahya/Republika

Sastra

Ombak Senja

Cerpen Darju Prasetya

Oleh DARJU PRASETYA

Kalau dipikir-pikir memang benar kata orang Jawa "Urip ning ndonyo kuwi namung koyo wong mampir ngombe".  Kehidupan di dunia ini hanya sementara. Waktu seperti begitu cepat menggilas setiap kehidupan.  Kemarin mereka masih bayi tiba-tiba menjadi anak-anak, kemarin yang anak-anak tiba-tiba menjadi remaja, kemarin remaja tiba-tiba jadi dewasa dan seterusnya.

"Kita ini hanya seperti sedang melakukan perjalanan. Kita hanya bisa mengarahkan perjalanan ini mana yang baik dan mana yang tidak agar kita selalu selamat!" ujarnya pada ombak laut di mana ia biasanya menghabiskan kesendiriannya di tepi sebuah pantai hingga menjelang senja.

Karto—begitu orang-orang biasa memanggilnya—adalah sosok pria berusia 65 tahun yang setiap sore selalu menyempatkan diri untuk duduk di tepi Pantai Parangtritis. Tubuhnya yang mulai renta tidak menghalanginya untuk tetap melakukan rutinitas ini. Baginya, deburan ombak dan hembusan angin pantai adalah teman setia yang selalu mendengarkan segala keluh kesahnya.

Hari ini, seperti biasa, ia duduk di atas batu karang besar yang sudah menjadi "kursi tetapnya" selama bertahun-tahun. Matanya yang mulai berkeriput menatap jauh ke horizon, tempat langit dan laut seolah bertemu dalam garis tipis kebiruan. Sesekali ia menghela napas panjang, mengingat perjalanan hidupnya yang terasa begitu cepat berlalu.

"Rasanya baru kemarin aku menggendong Tari kecil di punggungku," gumamnya pada diri sendiri. Tari, putri semata wayangnya, kini sudah menjadi seorang dokter di Jakarta. Sudah lima tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu secara langsung. Komunikasi hanya sebatas videocall yang terkadang terasa begitu singkat dan dangkal.

Karto merogoh saku kemejanya yang sudah lusuh, mengeluarkan selembar foto usang. Di foto itu, tampak dirinya yang masih muda sedang menggendong Tari kecil di pantai ini juga. Mereka berdua tersenyum lebar, dengan latar belakang matahari terbenam yang sama seperti yang kini mulai muncul di hadapannya.

"Waktu memang tidak pernah berbohong," ucapnya lirih. "Semuanya berubah, semuanya berlalu."

Pikirannya melayang ke masa lalu, ketika ia masih menjadi guru SD di desanya. Profesi yang ia jalani dengan penuh dedikasi selama 35 tahun, sebelum akhirnya pensiun lima tahun lalu. Masih jelas dalam ingatannya wajah-wajah polos murid-muridnya yang kini sudah menjadi orang-orang dewasa dengan kehidupan masing-masing.

Suara derit sepeda yang mendekat membuyarkan lamunannya. Pak Karman, tetangganya yang juga pensiunan guru, menghentikan sepedanya di dekat batu karang tempat Karto duduk.

"Sudah kuduga Pak Karto ada di sini," sapa Pak Karman sambil turun dari sepedanya. "Ada kabar dari Jakarta?"

Karto menggeleng pelan. "Belum, Pak. Tari sibuk seperti biasa. Katanya sedang ada penelitian penting di rumah sakit."

Pak Karman duduk di sebelah sahabatnya itu. "Namanya juga anak muda jaman sekarang, Pak. Mereka punya dunianya sendiri."

"Ya, begitulah," jawab Karto singkat. "Tapi terkadang saya bertanya-tanya, apa yang salah dengan cara saya mendidik dia dulu? Mengapa dia seperti melupakan orangtuanya?"

"Jangan begitu, Pak. Tari anak yang baik. Dia hanya sedang mencari jalannya sendiri."

Percakapan mereka terhenti sejenak. Matahari semakin condong ke barat, menciptakan bias-bias keemasan di permukaan laut yang bergelombang.

"Ingat tidak, Pak, dulu kita sering mengajak murid-murid kita ke pantai ini?" Pak Karman mencoba mengalihkan pembicaraan. "Mereka selalu senang kalau diajak field trip ke sini."

Karto tersenyum tipis. "Bagaimana bisa lupa? Itu cara kita mengajarkan mereka tentang kebesaran Tuhan dan keindahan alam."

"Dan sekarang mereka sudah jadi orang semua. Ada yang jadi dokter seperti Tari, ada yang jadi insinyur, guru, bahkan ada yang jadi bupati."

"Ya, waktu memang tidak pernah berhenti berputar," Karto mengangguk. "Seperti kata pepatah Jawa itu, kita memang hanya mampir ngombe."

Tiba-tiba ponsel Karto berdering. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel dari sakunya. Nama "Tari" muncul di layar.

"Halo, Nduk?" suaranya bergetar.

"Bapak... maaf ya jarang menghubungi," suara Tari terdengar dari seberang. "Bapak sehat?"

"Alhamdulillah sehat, Nduk. Bapak selalu sehat."

"Pak... saya mau pulang minggu depan. Ada cuti panjang. Kangen Bapak..."

Mata Karto berkaca-kaca. "Beneran, Nduk? Jangan bohongi Bapak..."

"Beneran, Pak. Saya sudah beli tiket. Minggu depan saya pulang."

Setelah menutup telepon, Karto tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Air mata mengalir di pipinya yang keriput.

"Alhamdulillah, Pak," Pak Karman menepuk pundak sahabatnya. "Tuh kan, Tari tidak melupakan Bapak."

Seminggu berlalu dengan cepat. Karto membersihkan rumahnya dengan teliti, menyiapkan kamar Tari yang sudah lama tidak ditempati. Ia bahkan menanam bunga-bunga baru di halaman, mengingat Tari sangat menyukai bunga sejak kecil.

Hari yang ditunggu pun tiba. Tari datang dengan taksi dari bandara. Begitu melihat sosok ayahnya yang berdiri di depan rumah, ia langsung berlari dan memeluknya erat.

"Bapak... maafkan Tari ya," isak Tari dalam pelukan ayahnya. "Tari terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai jarang pulang."

Karto mengelus rambut putrinya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Nduk. Yang penting sekarang kamu sudah pulang."

Malam itu, mereka duduk di teras rumah, berbincang panjang tentang banyak hal. Tari menceritakan pekerjaannya sebagai dokter, penelitiannya, dan kehidupannya di Jakarta. Karto mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tersenyum melihat putrinya yang begitu bersemangat bercerita.

"Pak," kata Tari tiba-tiba. "Besok kita ke pantai yuk, seperti dulu."

Keesokan harinya, mereka duduk di batu karang yang sama, tempat Karto biasa menghabiskan sorenya. Tari mengambil foto mereka berdua, menciptakan kenangan baru di tempat yang sama dengan foto lama mereka.

"Bapak sering ke sini ya?" tanya Tari.

"Iya, Nduk. Di sini Bapak bisa merenungkan banyak hal. Tentang hidup, tentang waktu yang begitu cepat berlalu."

Tari menggenggam tangan ayahnya. "Maaf ya Pak, Tari sudah membuat Bapak kesepian."

"Tidak apa-apa, Nduk. Bapak paham kamu punya kehidupan sendiri. Tapi ingat, seperti kata pepatah Jawa itu, hidup ini hanya sementara. Jangan sampai kita lupa pada hal-hal yang penting dalam hidup."

Tari mengangguk. "Tari janji akan lebih sering pulang, Pak. Minimal sebulan sekali."

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan pemandangan yang sama seperti dalam foto lama mereka. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan yang kembali hadir, ada ikatan yang kembali menguat.

"Hidup memang seperti mampir ngombe, Nduk," kata Karto sambil menatap matahari terbenam. "Tapi yang penting bukan berapa lama kita hidup, melainkan bagaimana kita mengisi kehidupan ini dengan hal-hal yang bermakna."

Tari menyandarkan kepalanya di bahu ayahnya, seperti yang sering ia lakukan ketika masih kecil. Mereka berdua terdiam, menikmati moment yang begitu berharga ini. Di kejauhan, ombak tetap bergulung, angin tetap berhembus, dan waktu tetap berjalan. Tapi setidaknya, untuk saat ini, mereka telah menemukan kembali makna dari perjalanan hidup mereka.

Sejak saat itu, Tari menepati janjinya. Ia mulai rutin pulang sebulan sekali, bahkan terkadang lebih sering. Karto masih tetap mengunjungi pantai setiap sore, tapi kini dengan hati yang lebih ringan. Ia telah memahami bahwa meskipun hidup ini sementara, setiap moment berharga yang kita lalui bersama orang-orang yang kita sayangi akan selalu abadi dalam kenangan.

Dan di tepi pantai itu, di atas batu karang yang sama, kisah mereka terus berlanjut, mengalir bersama deburan ombak yang tak pernah lelah menyapa pesisir. Seperti kehidupan yang terus bergulir, namun selalu menyisakan jejak-jejak indah untuk dikenang.

Penulis adalah penulis cerpen yang karyanya telah banyak dimuat di berbagai media baik media cetak maupun online. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dalbo Masuk Desa

Cerpen Abi Utomo

SELENGKAPNYA

Puisi Tanya

Puisi-puisi Malik Ibnu Zaman

SELENGKAPNYA

Antara Minggu Palma hingga Paskah

Puisi Fileski Walidha Tanjung 

SELENGKAPNYA