
Nostalgia
In Memoriam, 90 Tahun Wafatnya Tjokroaminoto
Tjokroaminoto menentang pemerintah dan administrasi Hindia Belanda.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia
Tepat 90 tahun wafatnya guru bangsa, Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Pada 17 Desember 1934 tepatnya, pendiri dan sekaligus Ketua Sarekat Islam itu menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa kali didera sakit. Berita kematiannya menjadi pusat perhatian, terutama di kalangan jurnalis Belanda. Setidaknya Soerabaijasch Handelsblad, Deli Courant, de Sumatra Post, de Telegraf, De locomotief, Algemeen handelsblad, dan lainnya menuliskan kembali ingatan untuk sosok yang diabadikan dengan sebutan raja Jawa tanpa mahkota tersebut.
Dari Ambtenaar ke Sarekat Islam
“Tjokroaminoto adalah salah satu pemimpin pergerakan pribumi yang pertama dan paling terkenal”–demikian Soerabaijasch handelsblad mengawali beritanya pada 18 Desember 1934. Haji Oemar Said Tjokroaminoto berhasil menyelesaikan opleidingschool–sekolah pendidikan untuk ambtenaar pribumi di Magelang. Ia kemudian bekerja di pemerintahan pribumi dan menjadi penulis untuk patih Ngawi.
Tjokro tidak tertarik untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia pun meninggalkan kampung halamannya dan bekerja di firma Kooy & Co. di Surabaya. Di sore hari, ia menghadiri Burger Avondschool, jurusan teknik mesin. Dia juga lulus dari sekolah ini, setelah itu dia ditempatkan sebagai insinyur magang, kemudian sebagai ahli kimia di satu pabrik gula, dekat Surabaya.
Kisahnya di dunia pergerakan mencapai puncaknya sejak 1911-1921. Hanya sekitar 10 tahun saja. Pada tahun 1912, ia diminta oleh Haji Samanhoedi, pendiri Sarekat Dagang Islam, untuk menyusun kembali anggaran dasar untuk asosiasi dagang tersebut (Soerabaijasch handelsblad, 18 Desember 1934).
Pada tahun 1913, dalam catatan Haagsche Courant – Tjokro mengabdikan diri sepenuhnya untuk masyarakat lewat Central Sarekat Islam (CSI). Ia terpilih dalam rapat umum yang dipimpin oleh Haji Samanhoedi. Dalam Anggaran Dasarnya Sarekat Islam menegaskan, tujuannya selain memajukan kehidupan beragama, juga untuk mengurus kepentingan penduduk di bidang pertanian, perdagangan, industri, kesehatan, pendidikan, dan pengajaran.
Sejak saat itu, SI yang awalnya di kalangan pribumi dikenal sebagai gerakan ekonomi-religius, berubah menjadi kelompok politik yang dicemaskan pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Idenburg saat itu menghadapi kritik tajam atas kebijakannya, saat ia meloloskan dan memberikan S.I status badan hukumnya. Pada tahun-tahun berikutnya, Tjokro berulang kali membuat kehadirannya terasa, gerakannya terus meluas, termasuk di daerah-daerah di luar Jawa. (de Telegraf, 18 Desember 1934).
Di kalangan kaum pergerakan, Tjokro pun menjadi barometer karena kelihaiannya berorasi. Misalnya Soekarno, yang lama tinggal bersama Tjokro di Surabaya selama masa HBS-nya, mengadopsi gaya orasinya guru bangsa itu. Karena kelihaiannya berorasi itu, memicu rakyat berduyun-duyun masuk ke SI Jumlah anggota Sarekat Islam pun segera meroket tajam.
Pada kongres nasional pertama dan kedua S.I. pada tahun 1916 dan 1917, ia menjadi ketua. Di bawah kepemimpinannya, Sarekat Islam mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1916. Pada tahun 1916, S.I. resmi memiliki delapan puluh cabang lokal yang dengan jumlah keanggotaan yang luar biasa, 60.000 orang (Haagsche Courant, 17 Desember 1934).
Dari Kooperatif Menjadi Radikal
Pada tahun 1917, perjuangan politik melawan “kapitalisme yang berdosa” diumumkan dalam program prinsip SI Setahun kemudian Tjokroaminoto menentang pemerintah dan administrasi Hindia Belanda. Ia menegaskan bahwa pemerintah telah bertindak sebagai pelindung kapitalisme dan menghancurkan ekonomi kerakyatan.
Pada tahun 1918, “Konsentrasi Radikal” dibentuk, yang dipimpinnya bersama Abdul Muis. Majalahnya, Oetoesan Hindia, yang saat itu menjadi organ SI Surabaya di bawah kepemimpinannya, menerbitkan banyak artikel yang ditulisnya. Pada tahun yang sama, Tjokro diangkat menjadi anggota Volksraad yang pertama.
Sarekat Islam bergerak ke arah revolusioner pada pertengahan tahun 1919. Kondisi ini bertepatan saat krisis, melonjaknya harga kebutuhan pokok yang dimanfaatkan kelompok Semaun untuk mengagitasi rakyat kecil. Pertama-tama aksi di Jawa Tengah dengan pemogokan di industri gula; kemudian gerakan di Toli-Toli Sulawesi; akhirnya diikuti dengan aksi perlawanan di dekat Garut–yang digerakkan oleh Seksi B yang berhubungan dekat dengan pimpinan S.I (De locomotief, 18 Desember 1934).
Secara bertahap, upaya Tjokroaminoto dan rekan-rekannya, termasuk Haji Agus Salim dan Abdul Muis, untuk merangkul massa rakyat secara luas mendapat tentangan keras dari Semaun, Alimin, Darsono, Muso yang mengkhotbahkan prinsip-prinsip komunis di antara para pendukung SI (Deli Courant, 18 Desember 1934)
Dari Semarang, anak-anak didiknya di Sarekat Islam, kemudian merintis Partai Komunis Hindia pada tahun 1920, kemudian berubah menjadi PKI. Para propagandis melancarkan aksi untuk menggelorakan gerakan rakyat. Dengan bangkitnya gerakan rakyat “nasionalis Indonesia”, ketertarikan terhadap SI semakin memudar.
Dalam peristiwa seksi B, sekretarisnya di SI, yakni RP Sosrokardono dihukum. Tjokroaminoto pun dipanggil oleh Raad van Justitie di Batavia, namun dibebaskan karena kurangnya bukti. Pemerintah Hindia Belanda kembali menunjuknya sebagai anggota Volksraad untuk ketiga kalinya.
Meredup dan Akhir Hidup Tjokroaminoto
Tjokroaminoto makin meredup pascakematian istrinya RA Soeharsikin di Surabaya tahun 1921. Tjokro menikah lagi dengan seorang penari dari kelompok wayang orang di Yogyakarta, yang menyulut kritik keras dari SI Sejak saat itu, pengaruhnya di dunia pergerakan mulai pudar (Soerabaijasch handelsblad, 18 Desember 1934).
Setelah perpecahan yang disebabkan oleh meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI), pada konferensi SI tahun 1923, Tjokro merintis Partai Sarekat Islam (PSI). Kekuasaan legislatif ditempatkan di tangan Dewan Partai, yang membentuk kongres bersama dengan para pemimpin SI dan delegasi dari seksi-seksi.
Setahun kemudian, Tjokro mengundurkan diri. Apa alasannya? Perubahan haluan perkumpulannya, yang awalnya lebih moderat berubah menjadi non-kooperatif. Meskipun tidak mampu mengulang sukses SI di masa lalu, PSI memiliki 135 departemen yang tersebar di seluruh Indonesia. Diperkirakan jumlah anggota PSI adalah 30.000 anggota, dengan rincian 25.000 orang berada di Jawa dan 5.000 anggota di Sumatra.
Pada tahun 1924, Tjokro mencoba menghidupkan kembali perhimpunan ini dengan mengambil arah politik-religius. Haji Agus Salim yang sejak lama menjadi penyokong utama gerakan SI, memilih untuk mengundurkan diri, pasca dipilih masuk dalam keanggotaan Volksraad (Deli Courant, 18 Desember 1934).
Saat mengembalikan marwah PSI, isu Khilafah telah menyita perhatian umat di dunia Islam. Divisi Moektamar al ‘Alam Islam Hindia Timur (aliansi dunia Islam), Tjokro diutus bersama Haji Mansoer dari Surabaya untuk menghadiri kongres aliansi Islam di Makkah pada 1926. Sekembalinya dari Makkah, Tjokroaminoto menamakan dirinya Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Setelah kembali dari Tanah Suci, Tjokro menetap di Kedungdjati Semarang. Kemudian di Batavia, dan terakhir di Yogyakarta. Kisah selanjutnya, Tjokroaminoto gagal menghidupkan kembali PSI. Majalah yang disuntingnya, Oetoesan Hindia juga tidak beroperasional kembali. Setelah sakit yang berkepanjangan, dalam usia 55 tahun, Tjokro meninggal dunia di Yogyakarta (De locomotief, 1934).
Kolaborator pribumi Soerabaijasch handelsblad, menulis seolah-olah Tjokro telah memilih bulan Desember untuk kematiannya. Sebab kondisi kesehatannya sudah tidak ada harapan lagi sejak Oktober lalu (Soerabaijasch handelsblad, 18 Desember 1934).
Menurut pendapat umum di kalangan orang Islam yang sederhana, ketika seseorang meninggal di bulan Ramadhan, jiwanya disucikan dari segala dosa, karena para malaikat yang ditugaskan untuk menentukan tempat jiwa-jiwa, terbebas dari kewajiban tersebut selama bulan Puasa – demikian Het nieuws van den daag voor Nederlandsch Indie memberitakan pada 18 Desember 1934.
Adalah Algemeen Handelsblad yang menegaskan, meskipun telah wafat, Tjokro adalah seorang idealis dan memiliki keyakinan yang kuat terhadap S.I. “Terlepas dari semua kelemahannya–Tjokro adalah pahlawan di mata rakyat selama bertahun-tahun dan kenangannya akan tetap ada, sebagai perintis–mungkin terlepas dari dirinya sendiri – seorang nasionalisme Jawa (Algemeen Handelsblad, 19 Desember 1934).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.