Kompleks Pertambangan Grasberg di Tembagapura, Papua. | Dok Republika

Nasional

Pertambangan Berkelanjutan Menurut Islam

Islam tidak melarang kemajuan atau teknologi, selama prosesnya tidak melukai alam atau manusia.

TEMBAGAPURA -- Perjalanan Republika bersama Habib Husein Ja'far tak hanya menyusuri perut bumi, tetapi sampai pada atap pegunungan Jayawijaya. Di tengah hamparan pegunungan Papua yang megah, pada ketinggian lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut, Habib Ja’far berdiri memandangi hamparan hijau yang mulai tumbuh kembali di atas bekas lahan tambang. “Ini bukan rumput liar,” katanya pelan. “Ini bagian dari tanggung jawab.”

Perjalanan ke lokasi tambang open-pit Grasberg bukanlah perjalanan biasa. Dari Tembagapura, perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan offroad menyusuri jalur “heat road”, jalur logistik utama yang menghubungkan area pengolahan di dataran rendah dengan area eksplorasi di puncak gunung. Jalan ini bukan hanya sempit dan berliku, tetapi juga terus menanjak hingga menyentuh ketinggian 4.800 meter di atas permukaan laut (mdpl)—lebih tinggi dari basecamp pendakian Everest di Nepal.

Cuaca di sepanjang perjalanan bisa berubah drastis dalam hitungan menit: dari kabut tebal, hujan gerimis, hingga salju tipis yang menyelimuti batuan Andesit raksasa. Oksigen semakin menipis, suhu makin rendah, dan medan makin ekstrem. Namun pemandangan yang tersaji di kanan-kiri jalan tak henti memukau: gugusan puncak Jayawijaya, lembah hijau, dan awan yang seperti bisa disentuh dari jendela mobil.

Tambang Grasberg bukan tambang biasa. Ia adalah salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia. Ditemukan pertama kali oleh geolog Belanda Jean Jacques Dozy pada 1936 dalam ekspedisi Cartenz, Grasberg baru mulai digarap secara komersial pada era Orde Baru, ketika Freeport masuk Indonesia pada 1967.

photo
Kompleks Pertambangan Grasberg di Tembagapura, Papua. - (Dok Republika)

Sejak saat itu, tambang ini tumbuh menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sumbangannya terhadap pendapatan negara, baik melalui pajak, royalti, maupun dividen, sangat signifikan. Menurut data resmi, lebih dari 60 persen pendapatan Freeport Indonesia kini dinikmati oleh negara melalui holding BUMN tambang, MIND ID, sejak akuisisi saham mayoritas pada 2018.

Tak hanya itu, tambang ini juga menjadi motor penggerak ekonomi Papua: membuka ribuan lapangan kerja, membangun rumah sakit, sekolah, sistem air bersih, dan infrastruktur jalan yang tidak akan pernah ada tanpa kehadiran industri ini.

Namun, di balik semua kekuatan dan manfaat ekonomi tersebut, ada pula jejak luka lingkungan yang tidak kecil. “Dan itulah kenapa reklamasi dan tanggung jawab sosial jadi sangat penting,” ujar Habib Ja’far.

Kini, lewat program reklamasi, lahan bekas tambang itu diubah menjadi lanskap hijau yang kembali bernapas. “Kita itu khalifah di bumi. Kita boleh mengeksplorasi, tapi tidak mengeksploitasi,” ucap Habib, menegaskan prinsip dasar Islam dalam mengelola alam.

Di sana, ia menyaksikan langsung bagaimana kegiatan pertambangan modern bisa berpadu dengan nilai keberlanjutan dan tanggung jawab ekologis. "Pertambangan tidak dilarang dalam Islam. Tapi harus dilakukan dengan kesadaran bahwa semua ini adalah amanah dari Allah," ujarnya.

photo
Habib Husein Jafar di Kompleks Pertambangan Grasberg di Tembagapura, Papua. - (Dok Republika)

Habib menyusuri areal reklamasi Freeport yang hijau. “Di sinilah bedanya antara menambang secara Islami dan menambang secara rakus,” katanya. “Setelah diambil manfaatnya, kita wajib mengembalikan seperti sedia kala, bahkan lebih baik.”

Ia menjelaskan, dalam Islam, prinsip isti’mar—yaitu memakmurkan bumi—adalah perintah langsung dari Allah dalam Alquran. Eksplorasi boleh, selama dilakukan untuk kemaslahatan dan tetap bersahabat dengan alam.

Reklamasi menjadi bentuk nyata dari prinsip ini. Tidak hanya soal menanam kembali rumput atau pohon, tapi juga memastikan tanahnya sehat, airnya bersih, dan ekosistemnya pulih. “Kita tidak boleh jadi manusia yang ambil untung lalu pergi, seolah bumi ini warisan pribadi,” ujar Habib lagi.

“Di sini kita dapat tembaga, bahan dasar kabel, baterai, alat elektronik,” kata Habib saat melihat salah satu alat berat Haul Truck pengangkut hasil tambang. “Artinya apa? Hasil tambang ini bermanfaat untuk kemajuan manusia. Dan itu bernilai ibadah.”

Ia menekankan bahwa Islam tidak melarang kemajuan atau teknologi, selama prosesnya tidak melukai alam atau manusia. “Nabi Muhammad bersabda, hari ini harus lebih baik dari kemarin. Pertumbuhan kualitas hidup, termasuk lewat teknologi, boleh. Tapi jangan sampai bumi rusak karenanya.”

photo
Kompleks Pertambangan Grasberg di Tembagapura, Papua. - (Dok Republika)

Freeport Indonesia, dalam kunjungan itu, menunjukkan bagaimana hasil tambang dikelola untuk berbagai kebutuhan global. Namun, yang menarik bagi Habib adalah bagaimana perusahaan juga membangun komitmen tanggung jawab: dari reklamasi hingga pelestarian air dan keanekaragaman hayati.

Habib Ja’far tidak berhenti pada soal teknis. Ia merenungi makna spiritual dari aktivitas tambang yang berlangsung di lokasi ekstrem ini. “Coba lihat pegunungan ini. Mustahil semua ini dibuat oleh selain Allah. Keteraturan, kekayaan, keunikan—semuanya ayat-ayat Tuhan,” tuturnya, menunjuk pada lanskap pegunungan yang megah.

Ia menyebut tambang bukan hanya tempat kerja, tapi juga tempat belajar tentang keagungan dan kekuasaan Tuhan. “Kalau kita renungi, semua ini bisa jadi ladang dzikir. Ladang ilmu. Ladang hikmah,” ujarnya.

Dalam perspektif Habib, tambang bukan harus dijauhi, tapi harus dimaknai dan dijalani dengan kesadaran tauhid. Bahwa di balik setiap batu yang digali, ada tanggung jawab besar untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Pencipta.

photo
Kompleks Pertambangan Grasberg di Tembagapura, Papua. - (Dok Republika)

Di akhir kunjungannya, Habib Ja’far menyampaikan refleksi yang menyejukkan. “Kita ini manusia, bukan pemilik bumi. Kita hanya diamanahi untuk menjaganya.”

Ia berharap perusahaan tambang lain juga meneladani prinsip keberlanjutan yang sejati, bukan sekadar memenuhi regulasi. “Islam sudah mengajarkan semua ini jauh sebelum ada istilah ESG, sebelum ada kata green mining,” ucapnya. “Tinggal kita, mau hidup selaras dengan bumi, atau terus menerus hidup menindasnya.”

Di tengah gurat wajah lelah para pekerja tambang, dalam kebisingan mesin raksasa dan debu yang beterbangan, Habib menemukan sesuatu yang lembut: kesadaran. Bahwa pertambangan tidak harus jadi musuh lingkungan. Ia bisa menjadi bagian dari ibadah, dari keberkahan, jika dilakukan dengan iman dan tanggung jawab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Merajut Toleransi dari Perut Bumi

Harmoni bisa dirajut di mana saja, bahkan di tempat paling terpencil dan sulit dijangkau sekalipun.

SELENGKAPNYA