
Kisah Dalam Negeri
Merajut Toleransi dari Perut Bumi
Harmoni bisa dirajut di mana saja, bahkan di tempat paling terpencil dan sulit dijangkau sekalipun.
Oleh INTAN PRATIWI
TEMBAGAPURA -- Jarum jam menunjukkan pukul 03.20 WIB, masih pagi buta ketika Republika berkesempatan untuk melakukan perjalanan merajut toleransi bersama Habib Husein Ja'far. "Ini perjalanan terlama dan terjauh di dalam negeri yang pernah gue lakuin," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Bersama tim Republika, kami memulai perjalanan menuju Tambang DMLZ di Grasberg, Tembagapura, Papua, lokasi pertambangan Freeport Indonesia. Perjalanan menuju tambang Grasberg di Tembagapura, Papua, bukan perjalanan biasa. Letaknya yang jauh di jantung Pegunungan Tengah Papua menjadikan perjalanan ke tambang milik PT Freeport Indonesia ini sebagai salah satu perjalanan paling ekstrem, penuh tantangan, sekaligus mempesona di Indonesia.
Dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, perjalanan diawali dengan penerbangan sejauh lebih dari 3.000 kilometer menuju Bandara Mozes Kilangin di Timika, Papua. Penerbangan selama kurang lebih lima jam itu hanyalah langkah pertama dari perjalanan panjang. Setibanya di Timika, udara lembab khas Papua segera menyambut dengan kehangatannya.
Namun, perjalanan sesungguhnya masih jauh. Dari Timika menuju Tembagapura yang terletak di ketinggian sekitar 2.000 hingga lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut, perjalanan dilanjutkan melalui jalur darat yang menantang. Jalan sempit dan curam yang berliku, dikelilingi hutan lebat, tebing terjal, dan jurang yang dalam menjadi pemandangan dominan selama perjalanan darat sekitar dua hingga tiga jam.
Udara perlahan berubah seiring peningkatan ketinggian. Dari panas tropis berubah menjadi sejuk, lalu dingin menusuk begitu mendekati area tambang. Di sepanjang jalur ini, pemandangan spektakuler memanjakan mata—pegunungan menjulang, sungai deras berarus jernih, dan sesekali kabut tipis menyelimuti lembah, menciptakan suasana magis yang sulit dilupakan.
Selain pemandangan yang magis, ada cerita terbaik dari perut bumi. Tambang bawah tanah, Deep Mill Level Zone (DMLZ), Freeport Indonesia bukan hanya sekedar wilayah tambang. Ada cerita toleransi di dalamnya. Kami menyusuri lorong-lorong sempit dan dalam menuju kedalaman bumi, siapapun akan merasakan sensasi berbeda—sebuah pengalaman yang jarang dirasakan banyak orang.
Kami menempuh perjalanan panjang melewati lorong terowongan yang menembus kedalaman hingga lebih dari 1.500 meter di bawah permukaan tanah. Jalan masuk menuju perut bumi ini berupa terowongan sempit yang berkelok-kelok, diterangi cahaya lampu remang-remang yang membuat suasana terasa dramatis, layaknya sedang menyusuri dunia lain di bawah permukaan tanah.
Udara di dalam tambang terasa dingin, dengan aroma khas tanah dan bebatuan basah menyapa siapa saja yang melintasinya. Suara mesin berat terdengar samar dari kejauhan, diselingi gema langkah kaki pekerja yang berjalan dengan hati-hati. Di kedalaman ini, keterbatasan ruang dan minimnya cahaya memberi gambaran betapa kerasnya kehidupan para pekerja tambang sehari-hari.

Namun, di tengah tantangan ekstrem itu, ada sebuah pemandangan istimewa yang mengejutkan siapa pun yang datang pertama kali ke tambang bawah tanah ini. Di satu sudut lorong, muncul sebuah persimpangan kecil yang kemudian bercabang menjadi dua. Di sisi kanan lorong berdiri sebuah gereja kecil, sedangkan di sisi kiri lorong berdiri sebuah masjid mungil. Kedua tempat ibadah ini benar-benar berdampingan, berbagi satu tembok yang sama persis di antara keduanya.
Perjalanan kami langsung disambut hangat, "Selamat datang, Habib," ujar seorang pekerja tambang sambil menjabat tangan. Dia tidak langsung turun ke perut bumi. Sebaliknya, diajak berkeliling area permukiman pekerja. Di situlah muncul pemandangan unik yang segera menarik perhatiannya.
"Ini satu jalan, kemudian terpisah ke kanan gereja, ke kiri masjid. Seolah-olah menggambarkan pesan toleransi yang kuat," tutur Habib Ja'far. Ia mengamati lorong kecil yang menghubungkan dua rumah ibadah, sebuah simbol kuat persaudaraan lintas agama.
"Keluar dari masjid, keluar dari gereja, mereka sama-sama berniat untuk bekerja, menghidupi keluarga. Bekerja sebagai ibadah, kemudian bersama-sama dalam berjalan," lanjut Habib sambil berjalan menyusuri lorong itu. Bahkan, ibadah dua agama yang berdampingan itu saling terdengar jelas. "Menariknya karena satu lorong dan satu tembok, akhirnya mereka saling mendengar ibadah masing-masing, sehingga saling memahami," tambahnya.

Habib menjelaskan, interaksi ini menghapus banyak prasangka. "Biasanya stigma muncul karena kita tidak saling kenal. Orang sering takut terhadap sesuatu yang tidak dipahami," ujarnya. Di tempat ini, setiap provokasi langsung terdeteksi, sehingga toleransi bukan sekadar teori, melainkan hidup nyata sehari-hari.
Kisah ini ditegaskan oleh seorang pekerja tambang. "Kemarin, ketika mendengar Habib mau datang, teman-teman Kristen malah yang mengingatkan kami untuk persiapan," ujarnya sambil tertawa kecil. Dia juga mengisahkan bagaimana mereka berbagi tugas membersihkan ruangan untuk menyambut tamu spesial. "Kami tidak melihat Habib sebagai tokoh agama Islam saja, tapi sebagai tamu bersama. Ini simbol bahwa kami memang hidup berdampingan di sini."
Habib Ja'far mengangguk pelan, memandang sekelilingnya. "Saya percaya ini kolaborasi, karpet ini jelas khas masjid, bukan gereja," candanya, membuat semua orang tertawa ringan. Kegembiraan sederhana yang mempertegas keharmonisan kehidupan lintas agama di tambang tersebut.
Pemandangan ini seakan menyampaikan pesan kuat tentang toleransi yang hidup di kedalaman bumi Papua. Para pekerja tambang, baik yang beragama Islam maupun Kristen, setiap hari datang untuk beribadah di tempat yang berdampingan ini. Mereka melewati lorong sempit yang sama, berpapasan, bahkan saling menyapa dan bercanda akrab sebelum masuk ke tempat ibadah masing-masing.

Yang lebih menarik lagi, karena keduanya hanya dipisahkan satu tembok tipis, suara ibadah mereka jelas saling terdengar. "Jadi, kalau ada provokasi atau ujaran kebencian dari salah satu pihak, pasti langsung terdengar dan bisa langsung ditegur," tutur Habib Ja'far saat mengunjungi lokasi tersebut. Menurutnya, desain ini justru mempererat hubungan antaragama, karena mereka jadi saling memahami dan terbiasa mendengar ibadah satu sama lain. "Inilah bentuk nyata dari saling mengenal, seperti yang diperintahkan dalam Islam, yaitu ta'aruf," lanjutnya penuh apresiasi.
Ketika selesai beribadah, para pekerja keluar dan kembali melewati lorong yang sama, berjalan bersama-sama menuju tempat kerja. Suasana yang tercipta sangat hangat, jauh dari prasangka dan perbedaan. Mereka sama-sama berniat baik, bekerja demi keluarga, demi kehidupan, dan lebih jauh lagi—demi Indonesia.
Lokasi masjid dan gereja yang bersebelahan di tambang bawah tanah DMLZ Grasberg ini tidak hanya menjadi simbol toleransi di Freeport, namun juga bukti nyata bagaimana harmoni bisa dirajut di mana saja, bahkan di tempat paling terpencil dan sulit dijangkau sekalipun. Di kedalaman bumi Papua, mereka tidak hanya menggali kekayaan alam, tetapi juga menggali pelajaran berharga tentang persaudaraan dan saling menghargai yang bisa menjadi inspirasi bagi seluruh bangsa.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Pertambangan Berkelanjutan Menurut Islam
Islam tidak melarang kemajuan atau teknologi, selama prosesnya tidak melukai alam atau manusia.
SELENGKAPNYA