
Opini
A Struggling Generation: Terjebak dalam Dopamin Maya atau Mengejar Kebahagiaan Nyata
Apakah mereka yang semakin terkoneksi ini benar-benar menjadi generasi yang lebih bahagia?
Oleh ALBERTUS GILANG S, Head of Immersive Research - Youthlab Indonesia
Generasi Digital: Terhubung, Tapi Apakah Lebih Bahagia?
Belakangan ini, media sosial dipenuhi dengan kekhawatiran tentang dampak kehidupan digital terhadap remaja, terutama setelah serial ‘Adolescence’ menjadi topik diskusi di kalangan orang tua muda Generasi X dan Milenial. Anak-anak mereka, yakni Gen Z dan Gen Alpha tumbuh di era hiper-konektivitas digital yang semakin intens, membuat mereka semakin betah dengan dunia online melalui berbagai platform dan perangkat.
Akses terhadap dunia digital semakin dipermudah, sebagaimana smartphone dengan harga yang semakin terjangkau dengan sistem pembayaran cicilan atau paylater. Tak hanya terjangkau, namun juga ‘gahar’ dan compact yang mendorong generasi muda untuk semakin terhubung penuh dengan aktivitas digital yang berat sekalipun, seperti bermain game atau streaming.
Kemunculan berbagai merek smartphone Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, salah satunya Infinix, yang baru-baru ini menjanjikan durasi pengoperasian 24 jam nonstop gaming dan entertainment. Dengan tagline ‘Anti Gabut Serba Ngebut’, ponsel ini seolah mengakomodasi agar penggunanya tidak merasa bosan dan terus terpapar konten digital.
Di saat yang sama, industri lain pun terus berkompetisi memperebutkan perhatian anak muda dalam era attention economy. Developer game Tiongkok, misalnya, terus merilis konten-konten baru, seperti karakter, skin, dan kolaborasi dengan anime populer, salah satunya Mobile Legends yang menggandeng anime Naruto. Sehingga generasi muda semakin terdorong untuk menghabiskan lebih banyak waktunya di game online.
Namun, dengan paparan konten yang tak ada habisnya dan kemudahan multi-akses yang semakin luas, apakah mereka yang semakin terkoneksi ini benar-benar menjadi generasi yang lebih bahagia?
Algoritma, Dopamin, dan Pola Konsumsi Digital Gen Z
Di era hiper-konektivitas, kehidupan remaja hingga dewasa awal semakin dipengaruhi oleh dunia digital. Menurut Global Overview Report (2025), rata-rata pengguna internet di Indonesia (usia 16+) menghabiskan 7 jam 22 menit per hari di dunia maya, dengan 4 jam 38 menit dihabiskan hanya di ponsel, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 3 jam 46 menit. Ini tak lepas dari akses hiburan digital yang semakin beragam pilihannya, mulai dari media sosial, marathon film, hingga live streaming pertandingan olahraga dan game online.

Seiring dengan itu, ekonomi kreator di Indonesia juga mengalami pertumbuhan pesat. Laporan Indonesia’s Creator Economy Explodes mencatat bahwa ada 12 juta kreator digital yang memproduksi sekitar 1 juta konten setiap bulan. Bahkan, survei Remitly (2023) menunjukkan bahwa Youtuber menjadi aspirasi karier paling populer di Indonesia. Ini menandakan pergeseran minat generasi muda terhadap dunia digital semakin kuat dan mendorong mereka untuk terus terkoneksi dan mencari peluang ekonomi.
Tren ini juga terlihat dalam fenomena di lokal, seperti yang ditemukan oleh Youthlab dalam studi etnografi. Ketika streamer asal Amerika, iShowSpeed, mengunjungi Indonesia, Kota Tua Jakarta menjadi salah satu titik keramaian yang dipenuhi content creator lokal.
Namun, dibalik kemudahan akses dan keinginan anak muda mencari peluang ekonomi digital, terdapat konsekuensi yang mengkhawatirkan: ketergantungan pada hiburan instan dan jebakan dopamin media sosial, yang berdampak pada aspek kognitif dan emosional.
Algoritma media sosial didesain untuk mempertahankan atensi pengguna selama mungkin. Jonathan Haidt dalam The Anxious Generation (2024) menyebut fenomena ini sebagai phone-based childhood, di mana interaksi sosial anak-anak lebih banyak terjadi di layar dibandingkan di dunia nyata. Hal ini membuat mereka terjebak dalam standar kebahagiaan dan pencapaian yang bergantung pada validasi digital yakni jumlah likes, views, atau komentar. Mereka semakin sulit menemukan kebahagiaan di luar platform digital.
Meskipun hidup di era di mana koneksi antar individu menjadi lebih mudah, namun kehidupan digital membuat generasi muda semakin merasa terisolasi. Laporan World Health Organization pada tahun 2023 mencatat peningkatan signifikan dalam tingkat kesepian global, terutama di kalangan generasi muda pasca pandemi. Fenomena ini menandakan bahwa akses tanpa batas ke media sosial dan hiburan digital belum tentu berbanding lurus dengan kebahagiaan.
Sebaliknya, tekanan sosial, fear of missing out (FOMO), perasaan kurang berarti terhadap diri sendiri, kesulitan menemukan makna, dan komparasi digital lebih mendominasi keseharian mereka.
Menurut Anna Lembke, penulis buku Dopamine Nation, pola konsumsi digital yang intens dapat memengaruhi cara otak merespons kesenangan dan stimulasi. Otak yang terus menerus terpapar stimulasi tinggi menjadi kurang responsif terhadap kesenangan yang lebih mendalam, menyebabkan fenomena ‘Out of Skull Boredom’, sebagaimana ditulis oleh peneliti James Danckert and John D. Eastwood, yakni perasaan mudah bosan saat tidak ada stimulasi digital. Kebahagiaan yang diperoleh dari interaksi digital cenderung bersifat jangka pendek dan cepat memudar, sehingga memicu keinginan terus menerus mencari stimulasi kesenangan serupa.
Generasi yang Menolak Kesepian
Kecanduan digital di kalangan generasi muda bahkan menjadi kekhawatiran bagi CEO Apple, Tim Cook. Dalam wawancaranya dengan media GQ, Cook menekankan pentingnya keseimbangan antara dunia digital dan interaksi sosial di ruang offline. Hal ini sejalan dengan pandangan Anna Lembke dalam bukunya Dopamine Nation, yang mengungkapkan bahwa kecanduan digital tidak hanya disebabkan oleh teknologi itu sendiri, tetapi juga oleh pola konsumsi dopamin yang tidak terkontrol. Generasi muda perlu lebih sadar (mindful) dalam mengelola dorongan terhadap kesenangan instan agar tidak terjebak terus menerus dalam siklus kecanduan.
Kini banyak anak muda yang mencari pelampiasan kecemasan melalui musik. Pada 2023, kata "sad” menjadi salah satu kata kunci yang paling banyak dicari di Spotify, menggambarkan bagaimana generasi muda mencari kenyamanan dalam lagu-lagu yang mencerminkan kesedihan. Hal ini semakin diperkuat dengan dengan fakta bahwa Taylor Swift menjadi artis dengan jumlah streaming tertinggi di Spotify pada 2024, dan Bernadya juga menjadi musisi yang paling banyak didengarkan albumnya dengan lebih dari 13 juta streams pada bulan November tahun 2024.
Ini menandakan lagu di setiap era (album) Taylor Swift dan album Bernadya menjadi cara generasi ini untuk melepaskan perasaan kecemasan yang mereka alami akibat kehidupan digital yang terus menerus membebani mereka.
Meskipun ada lonjakan kesepian dan kecemasan di kalangan generasi muda, mereka juga menunjukkan adanya resistensi terhadap kecenderungan tersebut. Sebagai contoh, inisiatif lompat karet yang dimulai oleh Karet GBK di Gelora Bung Karno menjadi wadah bagi anak muda untuk berkumpul dan berinteraksi fisik. Aktivitas ini mencerminkan upaya untuk mengatasi "epidemi kesepian" yang terjadi di era hiper-konektivitas ini, di mana banyak dari mereka merasa terisolasi secara emosional meski selalu terhubung secara digital.
Generasi Muda dan Tempat Ketiga: Mengatasi Isolasi Sosial di Era Digital
Generasi muda saat ini menghadapi kesepian yang semakin meningkat akibat pengaruh dunia digital. Dalam era hiper-konektivitas, meskipun terhubung secara online, mereka sering merasa terisolasi dalam kehidupan nyata. Hal ini sejalan dengan buku ‘Superbloom’ yang ditulis oleh Nicholas Carr, di mana teknologi komunikasi seperti media sosial membuat setiap individunya berjarak satu sama lain. Fenomena ‘The Anti-Social Century’ yang dibahas oleh The Atlantic menyoroti tren meningkatnya kebiasaan makan sendiri di kalangan generasi muda Amerika. Temuan ini sejalan dengan laporan World Happiness Report 2025, yang menunjukkan bahwa semakin banyak anak muda secara sadar memilih untuk makan sendirian, baik di rumah maupun di restoran.
Namun di Indonesia, tampaknya berbeda, tercermin dalam kebiasaan baru yang muncul pada remaja Gen Z. ‘Minibar Warkop Warfat’ di Pamulang kini menarik perhatian remaja, bahkan yang tinggalnya dan jaraknya jauh sekalipun. Misalnya dari daerah seperti Pasar Minggu, Cikarang, dan Bekasi, yang membutuhkan waktu satu hingga tiga jam perjalanan.
Warkop ini bukan sekedar tempat untuk minum kopi atau makan mie instan, tetapi juga menjadi ruang sosial yang memungkinkan anak muda menemukan tempat yang sesuai dengan nilai mereka. Di sini, mereka bisa berinteraksi tanpa adanya judgement dari generasi yang lebih tua. Ruang ini kebanyakan diisi oleh Gen Z pelajar yang mengakomodasi kebutuhan mereka untuk terhubung secara fisik, meredakan kecemasan, dan mendapat validasi satu sama lain..
Pencarian "tempat ketiga," seperti yang dijelaskan oleh sosiolog Ray Oldenburg, menjadi semakin penting di tengah epidemi kecemasan ini. Oldenburg menekankan pentingnya menemukan ruang sosial di luar rumah atau tempat kerja untuk merasa diterima, sebuah kebutuhan krusial bagi mereka yang merasa terisolasi di era digital.
Lebih lanjut dalam laporan tersebut, Jan-Emmanuel De Neve, profesor ekonomi dan ilmu perilaku di University of Oxford sekaligus salah satu editor World Happiness Report, menyoroti pentingnya momen makan bersama sebagai indikator kuat koneksi sosial. Dalam riset timnya, ditemukan bahwa frekuensi makan bersama ternyata lebih berkorelasi dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang dibandingkan pendapatan atau status pekerjaan.
Sulitnya Membangun Pertemanan di Era Digital
Selain perasaan terisolasi, generasi muda kini juga mengalami "The Decline of Friendship". Sebuah studi pada 2022 menunjukkan bahwa generasi muda menghabiskan lebih banyak waktu sendirian dibandingkan sebelumnya, bahkan sebelum pandemi. Hal ini mengindikasikan perubahan signifikan dalam cara generasi muda membangun dan memelihara hubungan sosial mereka, di mana cara lama membangun berinteraksi kini semakin tergantikan oleh pola digital yang lebih terbatas dan transaksional.
Persahabatan yang terjadi di era digital kini cenderung bersifat lebih transaksional dan dipenuhi dengan ekspektasi tinggi. Banyak diantaranya dibayangi rasa takut akan penolakan dan penghakiman, sehingga generasi muda kesulitan membedakan hubungan yang tulus dan justru merasa takut untuk membangun persahabatan, karena terpengaruh oleh bias negatif yang muncul dari media sosial.

Ketergantungan pada kultur media sosial yang menuntut kesempurnaan dan pencapaian juga semakin memperburuk keadaan ini. Persahabatan yang seharusnya sederhana, penuh pengertian, dan tidak bersifat self-centered, kini terjebak dalam ekspektasi sosial yang semakin menekan.
Marisa Franco, ahli pertemanan, dalam bukunya Platonic: How the Science of Attachment Can Help You Make—and Keep—Friends menekankan bahwa pertemanan tidak terjadi begitu saja, namun membutuhkan usaha dan upaya untuk memulai dan memeliharanya. Di era digital, pertemanan sering kali terfilter oleh faktor-faktor seperti jumlah followers,, pencapaian individunya, popularitas, atau memilih circle dengan interest yang sama Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam membangun hubungan sosial, karena kedalaman dan keaslian hubungan sering kali diabaikan.
Namun, meskipun menghadapi berbagai tantangan, generasi muda berupaya mencari cara untuk mengatasi kesepian mereka. Banyak dari mereka yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial yang tidak bergantung pada dunia digital, seperti hadir di acara karaoke live party dengan tema Taylor Swift, Sabrina Carpenter, atau Anime Song Karaoke.
Dengan demikian, mereka mencari "Third Place", sebuah ruang yang memberikan rasa diterima, sebuah usaha untuk mengatasi kesepian yang terakumulasi dan mencari makna dalam hubungan yang lebih mendalam.
Komitmen vs Validasi Instan: Tantangan Menjadi Expert di Era Digital
Beberapa pekan lalu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto, mengungkapkan harapannya agar mahasiswa memiliki jiwa ambisius dan mampu menciptakan karya besar dengan memberi contoh negara Tiongkok. Namun, tantangan yang dihadapi generasi saat ini adalah kemampuan dalam mempertahankan fokus dan komitmen untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Penelitian yang dilakukan oleh Gloria Mark menunjukkan penurunan rentang perhatian manusia dalam dekade terakhir. Akibatnya, banyak orang, terutama generasi muda, semakin sulit untuk mempertahankan konsentrasi dalam jangka waktu lama.
Sementara itu, teori 10.000 jam dari Anders Ericsson dalam bukunya PEAK menekankan bahwa penguasaan keterampilan memerlukan latihan yang konsisten tanpa bergantung pada validasi eksternal. Namun, dalam dunia digital yang dipenuhi oleh validasi instan (seperti likes, komentar, dan views), banyak orang yang lebih terfokus pada pencapaian yang cepat dan pengakuan eksternal. Alih-alih menekuni suatu bidang dengan kesabaran dan dedikasi, banyak yang terjebak dalam mencari pengakuan sesaat, yang sebenarnya menghambat proses pembelajaran yang mendalam.
Namun, dalam satu dua tahun terakhir ada tren yang muncul di kalangan sebagian generasi muda, yaitu membangun karier atau bisnis dari nol dengan mengadopsi pola pikir Day 1. Meski proses ini memerlukan waktu yang lebih lama, mereka merasakan bahwa kepuasan jangka panjang yang didapat dari membangun sesuatu secara bertahap lebih bernilai daripada kepuasan sesaat yang datang dari validasi instan. Konsep delayed gratification pun semakin diterima, di mana mereka menunda kepuasan instan untuk memperoleh hasil yang lebih besar dan memuaskan di masa depan.
Reimagine Pekerjaan: Menghadapi Pergeseran Karir Gen Z
Gen Z kini lebih memprioritaskan fleksibilitas dalam bekerja dan menghindari hustle culture yang dianut oleh generasi sebelumnya. Mereka cenderung ingin keberhasilannya diukur berdasarkan hasil, bukan jam kerja yang terikat. Oleh karena itu pekerjaan konvensional 9-to-5 dianggap tidak relevan lagi.

Menurut riset etnografi dan wawancara yang dilakukan oleh Youthlab sepanjang 2024, aspirasi menjadi konten kreator dianggap memberi mereka kesempatan untuk bekerja dari mana saja, kapan saja, dan dengan cara yang lebih menyenangkan.
Fenomena ini terlihat pada apa yang bisa disebut dengan "digital hippies," seseorang yang hidup menikmati dunia digital yang penuh dengan dopamin instan dari like, komentar, dan interaksi online. Mereka cenderung tidak memiliki rencana jangka panjang dan penghasilan yang sepadan dengan pengeluaran harian.
Dalam subkultur Jejepangan, seperti wibu atau cosplayer, fenomena serupa terlihat. Banyak individu yang beralih menjadi konten kreator kategori cosplayer dengan menjual foto, video, merchandise bergambar diri mereka di platform khusus seperti Haluu, dengan harga mulai dari 25 ribu rupiah. Fenomena ini menciptakan lapisan pendapatan yang baru, yakni cara-cara baru untuk menghasilkan uang, namun dengan potensi keberhasilan yang sangat terbatas.
Laporan khusus yang dirilis oleh The Wall Street Journal mengungkapkan bahwa industri kreator konten semakin sulit dimonetisasi. Platform-platform kini semakin membatasi komisi yang diberikan, sementara brand-brand lebih selektif dalam memilih influencer. Hal ini menyebabkan ketimpangan pendapatan yang semakin besar di kalangan kreator konten, dengan hanya sebagian kecil yang benar-benar dapat menghidupi diri mereka dari profesi ini.
Di Indonesia, content creator, terutama yang berada di tingkat makro dan nano, masih ada persepsi untuk mengandalkan pekerjaan ini sebagai sumber penghasilan utama, fenomena yang diperkuat dengan laporan Indonesia’s Creator Economy Explodes, di mana terjadi ledakan minat terhadap profesi ini. Meskipun realitas dunia digital yang ada saat ini mengarah pada persaingan semakin sesak, ketat, dan monetisasi konten tidak semudah era Youtube sebelum Covid, dan memonetisasi ketenaran kepada brand.
Lebih lanjut dalam laporan berjudul “Social-Media Influencers Aren’t Getting Rich—They’re Barely Getting By”, platform seperti YouTube, dan TikTok, misalnya, semakin memperketat algoritma dan mengurangi komisi kepada kreator konten. Sementara itu, brand-brand pun kini lebih berhati-hati dalam memilih influencer, mempertimbangkan kredibilitas dan keefektifan kampanye mereka, bukan hanya jumlah pengikut atau interaksi semata. Sehingga generasi muda di Amerika semakin banyak yang menyadari bahwa ini bukanlah jalan pintas menuju kekayaan. Dan menjadi content creator adalah pekerjaan yang memerlukan stamina dan strategi jangka panjang.
Bila kita melihat fenomena seperti TikTok affiliate marketing atau menjual produk melalui link afiliasi di media sosial, banyak orang berpikir bahwa bekerja secara online, misalnya dengan berjualan produk atau menjadi influencer, bisa menjangkau lebih banyak orang dan lebih "enak" karena lebih fleksibel—kita bisa bekerja dari mana saja dan kapan saja. Selain itu, dengan online, kita bisa memiliki target pasar yang lebih besar. Namun yang tidak ditampilkan adalah persaingan yang tinggi di dunia digital dan pembagian komisi yang semakin terbatas.
Kondisi ini mengarah pada pertanyaan besar: apakah pekerjaan tradisional atau pekerjaan offline yang lebih "kembali ke akar" mungkin menjadi pilihan yang lebih stabil di masa depan? Meskipun pekerjaan offline sering dianggap lebih membosankan atau tidak "keren," mereka tetap menawarkan stabilitas dan pemenuhan kebutuhan finansial yang lebih pasti.
Kebahagiaan yang Sustain
Menurut Gloria Mark, semakin sering seseorang melompat dari satu hiburan ke hiburan lain, semakin cepat pula mereka merasa bosan dan kehilangan makna. Dalam buku Out of Skull: Psychology of Boredom, James Danckert dan John D Eastwood, menjelaskan bahwa kebosanan adalah perasan tidak terpenuhi untuk terlibat dalam sesuatu yang bermakna. Kebosanan ini sering kali direspons dengan konsumsi hiburan instan, terutama dalam dunia digital. Namun, kebahagiaan yang berasal dari hiburan seperti TikTok cenderung bersifat sementara, mudah memudar, memberikan kebahagiaan yang cepat namun tidak sustain.
James Danckert dan John D Eastwood juga menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan internet dan kebosanan. Internet bisa sangat efektif dalam mengatasi kebosanan, karena menyuguhkan konten yang menghibur secara cepat dan mudah. Namun, fenomena infinite scrolling justru mengikat penggunanya dalam lingkaran kebosanan yang tidak pernah berakhir. Inilah yang sering disebut sebagai "hiburan tanpa batas" yang semakin sulit dihentikan.
Generasi muda, khususnya Gen Z, kini mulai menyadari bahwa kebahagiaan yang diperoleh dari hiburan sesaat seperti scrolling tanpa henti di media sosial (doomscrolling) atau belanja impulsif (doomspending) hanya akan memicu kecemasan yang lebih besar dalam jangka panjang. Sebagaimana dalam riset etnografi wawancara pada Gen Z pelajar di Surabaya yang memiliki kesadaran untuk menghindari doomscrolling, dan kerap uninstall aplikasi TikTok karena dirasa penuh dengan distraksi.
Carl Rogers dalam Karakteristik Manusia Masa Depan, generasi muda masih berada dalam proses pertumbuhan dan pencarian makna hidup. Banyak dari mereka kini mulai mencari cara untuk menyeimbangkan ambisi dan kebahagiaan pribadi mereka.
Tren ini terlihat dari kebiasaan mereka yang mulai beralih ke aktivitas yang lebih memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental, seperti berolahraga, yoga, dan pilates. Selain itu, mereka juga lebih selektif dalam hal pengeluaran, mengadopsi gaya hidup frugal dalam berbelanja pakaian, dan memilih kursus singkat di waktu leisure time. Sadar akan terbatasnya kepuasan yang dapat diperoleh dari dunia digital, mereka mulai mencari kebahagiaan dari dopamine alami, yang bukan hanya berbasis pada konsumsi digital.
Kebijaksanaan Generasi: Menavigasi Era Kecepatan dan Kepuasan Instan
Kita saat ini berada dalam era di mana kesabaran semakin menjadi sebuah kebajikan yang terlupakan, terutama di tengah masyarakat yang berfokus pada kecepatan dan kepuasan instan. Teknologi seperti AI telah mempercepat hampir setiap aspek kehidupan, dan membentuk konstruksi di mana jika tidak menggunakannya, individu bisa tertinggal. Fenomena ini tercermin pada tren ‘A.I. Ghibli’ yang menjadi viral di media sosial, mengubah objek foto asli menjadi anime dengan style Ghibli dalam hitungan detik.
Dalam jurnal Patience: An Introduction to the Concept oleh Natalia Frasyniuk dan Iryna Svider, meneliti konsep kesabaran dari berbagai perspektif, termasuk budaya, psikologi, dan dampaknya dalam perubahan sosial di era digital. Secara historis, kesabaran telah dihargai dalam banyak tradisi sebagai kualitas fundamental yang terkait dengan kebijaksanaan, disiplin, dan pertumbuhan spiritual. Dalam banyak ajaran agama dan filosofi, kesabaran dianggap sebagai sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan menjadi pribadi yang lebih bijaksana.
Namun, dalam ekosistem digital yang bergerak cepat, kesabaran tidak lagi memiliki "currency" atau nilai tukar yang relevan, sehingga banyak menimbulkan konsekuensi pada generasi muda yakni kesejahteraan emosional, mental, menimbulkan stress.
Saat ini, jika kita melihat preferensi orang tua terhadap pekerjaan anak mereka yang terlibat dalam pembuatan konten digital, mereka cenderung lebih menerima dan tidak memberikan intervensi yang kuat. Hal ini mengindikasikan pergeseran pola pikir dari generasi yang lebih tua. Jonathan Haidt menyebut bahwa saat ini orang tua cenderung lebih “less protective” terhadap anak-anak mereka, terutama di dunia digital. Ini menunjukkan bagaimana generasi yang lebih tua kini semakin mengakui otonomi generasi muda dalam memilih jalur karir mereka, meski tanpa pemahaman sepenuhnya terhadap tantangan yang ada.
Pergeseran nilai ini sejalan dengan konsep prefigurative culture yang dikemukakan oleh Margaret Mead. Mead menjelaskan bahwa dalam masyarakat tradisional (postfigurative culture), anak-anak belajar dari orang tua dan generasi sebelumnya. Namun dalam prefigurative culture, justru generasi tua yang mengikuti nilai-nilai dan tren yang dikembangkan oleh generasi muda. Fenomena ini terlihat jelas di media sosial, di mana orang tua dari Generasi X kini juga ikut serta dalam tren digital seperti TikTok, membuat konten, dan beradaptasi dengan gaya komunikasi anak muda.
Akibatnya, anak muda dan orang tua sama-sama terlibat dalam crowd culture, mengikuti arus besar tanpa sebuah pertimbangan, pandangan, dan kebijaksanaan yang mendalam. Ini menciptakan keadaan di mana kesalahan bisa terjadi dari kedua belah pihak, baik dari generasi muda yang mungkin masih belajar, maupun dari generasi tua yang tidak sepenuhnya mengerti dampak dari pilihan mereka. Kebijaksanaan dari Generasi X dan generasi Milenial awal, berperan sebagai penghubung antara nilai-nilai lama dan kecepatan digital menjadi sangat penting, bahwa kebijaksanaan tidak sepenuhnya benar dalam kerumunan besar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.