
Safari
Romansa Kampung Batik Semarang
Kawasan di timur alun-alun dan Pekojan ini menjadi ikon pusat perdagangan Semarang lama.
Lokasinya berada di sebelah timur Alun-Alun Semarang dan kawasan Pasar Induk Johar. Tepatnya di sekitar kawasan Bubakan atau terminal lama, Semarang. Suasana kampung ini begitu tenang dan jauh dari kesan hiruk pikuk meski terbilang salah satu kawasan padat hunian di Kota Semarang.
Akses utama kampung (gang) yang tak seberapa lebar dan lorong yang terpola oleh kerapatan antarbangunan rumah, menjadi ciri khas kampung yang masuk dalam wilayah Kelurahan Rejomulyo ini.
Boleh jadi, kampung ini memang tak sekondang Laweyan, kampung batik yang sudah terkenal di Surakarta. Namun, melongok Kampung Batik serasa kembali menikmati romansa lama.
Ya, romansa itu adalah perjalanan sejarah kampung ini dan tentunya, batik Semarangan yang khas dengan motif pohon/daun asam atau flora dan fauna yang akrab bagi warganya.

Balai Batik
Penasaran dengan cerita ini, saya pun mulai menelusuri Kampung Batik. Papan petunjuk bertuliskan Sentra Batik Semarangan menyambut saya, beberapa saat selepas memasuki gapura sederhana bertuliskan Jalan Batik.
Pertama-tama, saya sambangi Balai Batik yang berada tepat di jantung kampung ini. Beberapa warga memang mengarahkan saya untuk mencari balai ini.
Dugaan saya tak meleset, di Balai Batik saya bertemu dengan Siti Afifah (51 tahun) yang tengah membatik bersama putrinya. Rupanya balai ini menjadi salah satu bengkel kerjanya.
Sambutan yang ramah membuat suasana begitu mencair dan saya pun kian bersemangat untuk menggali dan mencari tahu sejarah perjalanan Kampung Batik ini.
“Kampung Batik Semarang ini memiliki sejarah yang panjang dan pernah melalui masa ‘tidur panjang’ sebelum akhirnya kembali menggeliat sejak 2006,” ujar Afifah.

Sejarah
Berdasarkan cerita sejarah yang ditularkan turun-temurun dari orang tua di kampung ini, jelas Afifah, lingkungannya itu memang sudah lama masyhur sebagai Kampung Batik.
Lokasi yang berada di sebelah timur alun-alun dan kawasan Pekojan yang menjadi ikon pusat perdagangan Semarang lama, merupakan lokasi yang tepat bagi para pedagang batik dan kain (utamanya) untuk singgah. Karena, jarak dengan pusat kota yang tak seberapa jauh.
Pada perkembangannya, di kampung yang menjadi persinggahan para pedagang batik ini pun mengembangkan keterampilan membatik. Hingga lingkungan—yang kini berada di antara Jalan Widoharjo dan Jalan Patimura, Jalan MT Haryono dan Jalan Raden Patah ini pun—kian tenar dengan sebutan Kampung Batik.
Bukti lain ketenaran kampung ini juga dapat diketahui dari nama-nama kampung lain di sekitarnya. Salah satunya adalah Kampung Pedamaran (dammar—Red) bahan untuk membatik.
Batik semarang mengembangkan batik khas yang bertemakan flora dan fauna lokal, serta sentuhan seni Cina sebagai wujud akulturasi budaya yang menjadi potret masyarakat Semarangan saat itu.

Pengrajin batik di Kampung Batik Semarang adalah warga asli Semarang yang sebagian merupakan generasi pewaris secara turun-temurun. “Sebagian lagi telah mengalami proses pembelajaran membatik khas Semarangan untuk menghidupkan kembali identitas dan kekhasan kampung ini,” katanya.
Dibumihanguskan
Momentum kejayaan batik semarangan justru terjadi saat masa pergolakan penjajahan kolonial seiring berkembangnya Kota Semarang sebagai kota niaga.
Hingga 1942, era kekuasaan penjajah Jepang, batik semarangan juga masih mengalami masa-masa ketenaran. Namun, Jepang pulalah yang akhirnya membakar kampung batik ini.
Merujuk Buku Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang saat pecah pertempuran lima hari di Semarang, Kampung Batik menjadi salah satu basis kekuatan pemuda yang gagah berani dalam mengobarkan perlawanan.
Sehingga, kampung ini pun menjadi sasaran pembumihangusan pasukan Kidobutai yang marah akibat sengitnya perlawanan para pemuda Semarang.

Kesaksian mantan Polisi Istimewa, Soedijono, selaku saksi hidup pertempuran ini pun membenarkan. Kampung Batik dibakar karena Jepang melakukan ‘pembersihan’ terhadap para pemuda. “Akibatnya, kampung ini benar-benar dibumihanguskan, termasuk aset-aset perekonomian beserta fasilitas yang ada,” ujarnya.
Bangkit lagi
Sejak peristiwa tersebut, Kampung Batik Semarang nyaris menyisakan papan nama karena tak terlihat lagi aktivitas membatik dan berdagang batik di kampung ini.
Upaya untuk menghidupkan kembali budaya dan kearifan lokal Semarangan ini pernah dilakukan pada 1980-an. Namun, kurangnya dukungan eksistensi batik di kampung ini kembali memudar.
Hingga pada 2006, Kampung Batik Semarang dibangkitkan dan dikembangkan lagi melalui pelatihan-pelatihan membatik bagi generasi muda.
Dari pelatihan ini, akhirnya mampu memantik semangat peserta pelatihan. Tidak sedikit yang bisa mengembangkan kerajinan batik semarangan sampai saat ini. “Hal ini tidak lepas dari dukungan pemerintah daerah yang memberikan pelatihan membatik dan sosialisasi batik semarangan melalui program kepariwisataan,” tambah Afifah.

Kini, di Kampung Batik ada 15 perajin yang produktif mengembangkan karyanya. Sebagai pendukung juga sudah berdiri beberapa outlet dan gerai pajang batik-batik khas Semarangan. Selain koleksi batik yang semakin lengkap, siapapun bisa belajar membatik di Kampung Batik ini hanya dengan biaya Rp 20 ribu.
Melekat Tema Lingkungan dan Alam Terdekat
Menyimak lebih detail motif batik semarangan tak dapat dilepaskan dari warna dan tema-tema alam yang begitu dekat dan menjadi kekayaan lingkungan para pelaku seni kriya ini.
Harry Suryo, salah satu penggagas komunitas heritage OASE, membeberkan bocoran kepada saya, batik semarangan nyaris tidak mengenal patron dan pakem tertentu.
Batik semarangan merupakan refleksi dari interaksi warga Semarang dengan lingkungan di sekitarnya. “Batik semarangan banyak mengungkap lingkungan sekitar,” ujarnya.
Para pembatik di Kampung Batik Semarang ini, jelasnya, tak terpaku pada pakem, kecuali menuangkan ide-ide flora dan fauna, serta beberapa landmark Kota Semarang melalui canting mereka.
“Misalnya, yang paling menonjol adalah gambar pohon asam, blekok (burung bangau—Red), Lawang Sewu, Tugu Muda, Wisma Perdamaian, hingga Gereja Blenduk,” jelasnya.
Hal ini juga diamini oleh Siti Afifah, praktisi batik di Kampung Batik yang mengaku, pada umumnya batik semarang berwarna dasar terang, seperti oranye dan merah, karena pengaruh dari Cina dan Eropa.

Selain menonjolkan ikon Kota Semarang, seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, Burung Kuntul, Wisma Perdamaian, dan Gereja Blenduk, tema batik semarangan juga banyak didominasi oleh tanaman atau daun asam.
Semarang sendiri berasal dari kata “asem arang” (pohon asam yang jarang—Red). Faktor inilah yang menjadikan mengapa motif daun pohon asam begitu populer. “Biasanya visual asam dalam motif batik ini dituangkan, mulai dari pohon, daun, bunga, buahnya, hingga fauna yang hidup di sekitarnya,” ujar pemilik Figa Batik ini.
Dalam hal pewarnaan, jelas Afifah, juga jamak menggunakan warna-warna alam yang banyak terdapat di lingkungan sekitar, seperti daun mahoni, kunyit, daun mangga, dan lain- lain.
Fakta Lain Kampung Batik Semarang
Kemasyhuran Kampung Batik Semarang dan kejayaan batik semarangan bukan sekadar isapan jempol atau tanpa bukti yang dapat mengungkapnya.
Kolonial Verslag (1919 dan 1925) pernah menyebut industri batik di Semarang—saat itu—mencapai 107 unit dengan jumlah perajin yang mencapai 800-an orang. Industri batik ini nyaris punah saat dibumihanguskan oleh tentara pendudukan Jepang di Semarang pada 1942.
Hal ini terkait perlawanan para pemuda dan upaya Jepang dalam melumpuhkan perlawanan melalui sendi perekonomian warga Semarang. Baru 64 tahun kemudian, upaya mengembalikan kejayaan Kampung Batik Semarang ini dilakukan untuk mendukung kegiatan kepariwisataan di Kota Semarang.
Dari serangkaian pelatihan membatik dan dukungan penguatan kewirausahaan, hingga kini baru ada 15 pegiat kerajinan batik—baik cap maupun tulis—di Kampung Batik Semarang. Proses membatik yang kini berkembang secara jamak memberdayakan warga sekitar, terutama ibu rumah tangga. Sehingga, mampu menghidupkan perekonomian warganya.
Kebangkitan tersebut juga diikuti munculnya gerai maupun outlet untuk memamerkan dan memasarkan batik khas Semarangan.
Disadur dari Harian Republika edisi 7 April 2013 dengan reportase Bowo Pribadi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Memetik Sunyi di Silancur
Kecantikan Curug Silancur tersaji dengan airnya yang merambat di bebatuan.
SELENGKAPNYATeater Alam dari Karangsambung
Karangsambung ibarat sebuah teater alam dengan batu-batuan tua.
SELENGKAPNYASungai Luk Ulo, Surga Batu Mulia
Pencarian batu mulia biasanya dilakukan dengan menelusuri arus sungai.
SELENGKAPNYA