Internasional
Rencana Trump dan Ketakutan di Gaza
Rencana pengusiran Gaza bakal lebih parah dari Nakba.
GAZA – Rakyat Palestina tahun ini akan memperingati 77 tahun pengusiran massal mereka dari wilayah yang sekarang disebut Israel, sebuah peristiwa yang merupakan inti perjuangan nasional mereka. Rencana Presiden AS Donald Trump mengosongkan Gaza memunculkan kembali kenangan dan ketakutan tersebut.
Dalam banyak hal, pengalaman pada 1948 tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bencana yang kini dihadapi di Jalur Gaza. Terutama karena Presiden Donald Trump telah menyarankan agar warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal di Gaza dimukimkan kembali secara permanen di luar wilayah yang dilanda perang dan bahwa Amerika Serikat mengambil “kepemilikan” atas daerah kantong tersebut.
Orang-orang Palestina menyebut pengusiran mereka pada tahun 1948 sebagai Nakba, bahasa Arab yang berarti bencana. Sekitar 700.000 warga Palestina – mayoritas penduduk sebelum perang – melarikan diri atau diusir dari rumah mereka menyusul pengusiran oleh tentara Zionis sebelum dan selama berdirinya Israel.
Setelah perang, Israel menolak mengizinkan mereka kembali karena hal itu akan mengakibatkan mayoritas warga Palestina berada di wilayahnya. Sebaliknya, mereka menjadi komunitas pengungsi permanen yang kini berjumlah sekitar 6 juta jiwa, dan sebagian besar tinggal di kamp pengungsi perkotaan yang kumuh di Lebanon, Suriah, Yordania, dan Tepi Barat yang diduduki Israel.
Di Gaza, pengungsi dan keturunan mereka berjumlah sekitar tiga perempat dari total populasi.
Penolakan Israel terhadap hak warga Palestina untuk kembali ke rumah mereka pada 1948 telah menjadi keluhan utama dan merupakan salah satu masalah paling sulit dalam perundingan damai yang terakhir kali gagal 15 tahun lalu. Kamp-kamp pengungsi selalu menjadi benteng utama pejuang Palestina.
Saat ini, banyak warga Palestina yang khawatir akan terulangnya sejarah menyakitkan mereka dalam skala yang lebih dahsyat.
Di seluruh Gaza, warga Palestina dalam beberapa hari terakhir telah memuat mobil dan kereta keledai atau berjalan kaki mengunjungi rumah mereka yang hancur setelah gencatan senjata dalam perang Israel-Hamas diberlakukan pada 19 Januari. Gambar-gambar dari beberapa putaran evakuasi massal selama perang – dan perjalanan mereka kembali ke utara dengan berjalan kaki – sangat mirip dengan foto hitam-putih dari 1948.
Mustafa al-Gazzar (80-an tahun), mengenang perjalanan keluarganya selama berbulan-bulan pada tahun 2024 dari desa mereka di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Israel tengah ke kota Rafah di bagian selatan, ketika ia berusia lima tahun. Pada satu kesempatan, mereka dibom dari udara, dan pada saat lain, mereka menggali lubang di bawah pohon untuk tidur agar tetap hangat.
Al-Gazzar, yang kini sudah menjadi kakek buyut, terpaksa mengungsi lagi saat perang, kali ini ke sebuah tenda di Muwasi, sebuah daerah pantai tandus tempat sekitar 450.000 warga Palestina tinggal di kamp kumuh. Dia mengatakan kondisi saat itu lebih buruk dibandingkan tahun 1948, ketika badan PBB untuk pengungsi Palestina mampu secara teratur menyediakan makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
“Harapan saya pada tahun 1948 adalah untuk kembali, namun harapan saya saat ini adalah untuk bertahan,” ujarnya.
Agresi Israel di Gaza, setelah serangan pejuang Palestina pada 7 Oktober, telah menewaskan lebih dari 47.000 warga Gaza, menurut pejabat kesehatan setempat. Ini menjadikannya pertempuran paling mematikan dalam sejarah konflik tersebut. Serangan awal pejuang menewaskan sekitar 1.200 warga dan tentara Israel.
Perang telah memaksa sekitar 1,7 juta warga Palestina – sekitar tiga perempat populasi wilayah tersebut – meninggalkan rumah mereka, kerap berkali-kali. Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah pengungsi yang melarikan diri sebelum dan selama perang tahun 1948.
Israel telah menutup perbatasannya. Mesir hanya mengizinkan sejumlah kecil warga Palestina untuk pergi, sebagian karena mereka khawatir gelombang besar warga Palestina dapat menimbulkan krisis pengungsi jangka panjang.
Komunitas internasional sangat menentang pengusiran massal warga Palestina dari Gaza – sebuah gagasan yang dianut oleh anggota sayap kanan pemerintah Israel, yang menyebutnya sebagai “emigrasi sukarela.”
Israel telah lama menyerukan agar para pengungsi 1948 diserap ke negara-negara Arab, dan mengatakan bahwa seruan agar mereka kembali tidak realistis dan akan membahayakan keberadaan mereka sebagai negara mayoritas Yahudi. Hal ini merujuk pada ratusan ribu orang Yahudi yang datang ke Israel dari negara-negara Arab selama kekacauan setelah pendirian negara tersebut, meskipun hanya sedikit dari mereka yang ingin kembali.
Sekalipun warga Palestina tidak diusir dari Gaza secara massal, banyak yang khawatir bahwa mereka tidak akan pernah bisa kembali ke rumah mereka atau kehancuran yang terjadi di wilayah tersebut akan membuat mereka tidak mungkin lagi tinggal di sana. Salah satu perkiraan PBB mengatakan dibutuhkan waktu hingga 2040 untuk membangun kembali rumah-rumah yang hancur.
Milisi Yahudi dalam perang tahun 1948 dengan tentara negara-negara Arab tetangganya sebagian besar dipersenjatai dengan senapan, senapan mesin, dan mortir. Ratusan desa Palestina dihancurkan setelah perang, sementara warga Israel pindah ke rumah-rumah warga Palestina di Yerusalem, Jaffa dan kota-kota lain.
Di Gaza, Israel telah melancarkan salah satu kampanye militer paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah baru-baru ini, kadang-kadang menjatuhkan bom seberat 900 kilogram di daerah pemukiman padat. Seluruh lingkungan telah berubah menjadi puing-puing terlantar dan jalan-jalan yang dibajak, banyak di antaranya dipenuhi bom yang belum meledak.
Yara Asi, asisten profesor Palestina di Universitas Central Florida yang telah melakukan penelitian mengenai kerusakan infrastruktur sipil dalam perang tersebut, mengatakan “sangat sulit” untuk membayangkan upaya internasional seperti apa yang diperlukan untuk membangun kembali Gaza.
Bahkan sebelum perang, banyak warga Palestina berbicara tentang Nakba yang sedang berlangsung, di mana Israel secara bertahap memaksa mereka keluar dari Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, wilayah yang direbut Israel selama perang tahun 1967 yang diinginkan Palestina untuk menjadi negara masa depan mereka.
Mereka menunjuk pada pembongkaran rumah, pembangunan pemukiman dan kebijakan diskriminatif lainnya yang sudah ada sejak sebelum perang, dan yang menurut kelompok hak asasi manusia merupakan tindakan apartheid, tuduhan yang dibantah Israel.
Asi dan yang lainnya khawatir jika Nakba asli lainnya terjadi, hal itu akan terjadi secara bertahap. “Dalam beberapa kasus, hal ini tidak bisa disebut sebagai pemindahan paksa. Namanya emigrasi, disebut lain,” kata Asi.
“Tetapi pada dasarnya, mereka adalah orang-orang yang ingin tetap tinggal, yang telah melakukan segala daya mereka untuk bertahan selama beberapa generasi dalam kondisi yang mustahil, yang akhirnya mencapai titik di mana kehidupan tidak layak untuk ditinggali.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Trump Berencana Ambil Alih Gaza
Raja Yordania Abdullah II akan bertemu Presiden AS Donald Trump pada 11 Februari
SELENGKAPNYAAsia Diguncanng Perang Tarif Trump
Korea Selatan dan Jepang turut khawatir terdampak perang dagang Trump.
SELENGKAPNYANetanyahu Kunjungi Trump, Coba Habisi Hamas?
Gencatan senjata di Gaza terancam dengan pertemuan Netanyahu-Trump.
SELENGKAPNYASaudi dan Qatar Jangan 'Masuk Angin' di Depan Presiden Trump
Muncul tebakan, siapa yang lebih dulu menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel: Saudi atau Qatar.
SELENGKAPNYA