Tokoh
Saat Jimmy Carter Merangkul Hamas
Carter melawan kebijakan AS dan Israel dengan mendekati Hamas.
WASHINGTON – Bahwa mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter adalah satu dari sedikit pimpinan negara itu yang peduli Palestina bukan rahasia lagi. Namun, seberapa jauh ia bersedia berjalan untuk mengupayakan perdamaian kerap mengejutkan rekan-rekan senegara dari tokoh yang wafat pada usia 100 tahun, Ahad kemarin itu.
Pada 2008, misalnya, ia melakukan pertemuan yang bikin panas Washington. Pada April 2008, ia nekat mengunjungi sejumlah tokoh kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Patut dicatat bahwa saat itu Amerika masih mencap Hamas sebagai kelompok teror.
Pada 15 April 2008l, Carter mula-mula menemui pemimpin senior Hamas, Nasser Shaer. Keesokan harinya, Carter dijadwalkan bertemu dengan Mahmoud Zahar dan Said Siam di Kairo, Mesir.
''Mahmoud Zahar dan Said Siam hari ini menuju Kairo untuk bertemu dengan Jimmy Carter sebagai bagian dari tur beliau di Timur Tengah,'' kata Juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri dilansir Republika kala itu.
Zuhri mengatakan Kairo dipilih karena Israel tidak mengizinkan Carter mengunjungi Jalur Gaza. Meski mundur dari kawasan itu pada 2005, Israel secara fisik tetap menguasai semua pos perbatasan darat Jalur Gaza-Israel.
Zahar dan Siam dianggap AS sebagai petinggi Hamas garis keras. Keduanya diyakini berada di belakang aksi Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza Juni 2007. Namun, semua itu tampaknya tidak menyurutkan keinginan Carter untuk bertemu mereka.
Sementara Carter bertemu dengan Shaer dalam sebuah resepsi di Ramallah, Tepi Barat. Keduanya juga tak rikuh berjabat tangan dan berpelukan dengan hangat.
''Itu adalah sebuah resepsi yang ramah dan hangat. Carter bertanya kepada saya apa yang dapat ia lakukan untuk membantu mewujudkan perdamaian antara Palestina dan Israel. Saya jawab kemungkinan dia untuk berpartisipasi dalam perdamaian sangatlah besar,'' kata Shaer, yang dikenal sebagai pemimpin Hamas dari garis pragmatis.
Gusarkan AS-Israel
Langkah Carter tersebut, ditambah dengan rencananya bertemu dengan pemimpin tertinggi Hamas, Khaled Meshaal di Damaskus, Suriah 18 April sangat menggusarkan Israel dan AS. Carter bersikeras kunjungannya ke Timur Tengah murni misi pribadi dan tidak ada hubungannya dengan pemerintah AS apalagi menjadi mediator AS.
Carter mengatakan semua pihak harus dirangkul, termasuk Hamas dan Suriah jika Israel ingin merasakan perdamaian dan keamanan yang sesungguhnya. Mengucilkan Hamas, tegas Carter, hanyalah langkah yang bersifat kontraproduktif. ''Ketika Suriah dan Hamas mempunyai keinginan berpartisipasi dalam kesepakatan damai final maka mereka harus dilibatkan dalam proses diskusi yang membawa pada dicapainya kesepakatan damai permanen,'' tegas Carter.
Carter sebelumnya juga mematahkan tabu yang sebelumnya dianut pemerintahan Presiden Bush dengan mengunjungi makam pemimpin Palestina, Yasser Arafat. Carter dan istrinya, Rosalynn, meletakkan karangan bunga dan khidmat berdoa di atas makam Arafat. Media massa Israel mengecam pedas sikap pemerintah menyambut Carter, di dalamnya termasuk penolakan pemerintah menjamu Carter. Sikap itu berarti mengesampingkan semua peran Carter dalam proses tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir 1979.
"Aksi boikot itu tidak akan dikenang sebagai sebuah momen keemasan dalam sejarah pemerintah Israel. Jimmy Carter telah mendedikasikan hidupnya bagi misi kemanusiaan, perdamaian, dan mempromosikan pemilu demokrasi dan pengertian yang lebih baik di antara pihak yang bermusuhan di seluruh dunia," demikian tulis editorial harian cetak terkemuka Israel, Haaretz, Rabu.
Kunjungan pada 2008 itu dilakukan kala situasi di wilayah Palestina sendiri terus memanas. Serangan militer Israel ke Jalur Gaza menewaskan empat pejuang Palestina dari sayap militer Hamas, Brigade Ezzedine Al-Qassam. Sumber di Hamas mengatakan enam anggota Al-Qassam tertangkap dan dibawa ke Israel. Di pihak Israel, tiga tentara tewas dan tiga lainnya cedera.
Hasil kunjungan Carter kala itu tergolong signifikan. Ia sedianya berhasil membujuk Hamas bersiap menerima Israel sebagai tetangganya dan hidup berdampingan dengan damai. ''Kita tidak akan percaya bahwa perdamaian akan dan pastinya tidak terwujud sampai kita menemukan sebuah cara untuk membawa Hamas ke dalam diskusi melalui sejumlah cara. Strategi saat ini untuk mengesampingkan Hamas dan Suriah tidak akan berhasil,'' kata Carter saat berbicara di depan anggota Dewan Israel untuk Kebijakan Luar Negeri di Yerusalem selepas mengunjungi pimpinan hamas.
''Para pemimpin Hamas mengatakan mereka akan menerima keberadaan sebuah negara Palestina berdasarkan batas pada 1967 dan akan 'menerima' hak Israel untuk hidup berdampingan dengan damai,'' lanjut Carter.
Dalam kesempatan itu, Carter kembali membuat pernyataan yang tak sedap bagi Israel dan AS. Carter mengatakan ia tidak melihat masalah ketika dirinya bertemu Hamas. Masalahnya, tegas Carter, justru berada di Israel dan AS karena mereka menolak bertemu Hamas.
Carter, pada Ahad, 20 April 2008 kemudian kembali ke Israel setelah mengunjungi Mesir, Suriah, dan Yordania. Mengabaikan tekanan Israel dan pemerintah AS, Carter bertemu dengan petinggi Hamas di Tepi Barat, Mesir, dan Suriah. Di Suriah, Carter bahkan sampai dua kali menggelar pertemuan dengan pemimpin tertinggi Hamas, Khaled Meshaal.
Dalam kesempatan itu, Carter membacakan surat dari Hamas yang menyebutkan Hamas tidak akan merongrong usaha Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegosiasikan kesepakatan final dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert. Hamas juga menyatakan bersedia menyusun pemerintahan bersatu Palestina dengan Abbas. Surat itu juga menyebutkan penolakan Hamas atas usulannya mengenai gencatan senjata sepihak selama 30 hari.
“'Mereka mengatakan tidak bisa mempercayai Israel terkait dengan apa yang dilakukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza,'' tegas Carter. Terkait dengan pernyataan Carter di Israel, Juru bicara Hamas di Jalur Gaza, Sami Abu Zuhri mengatakan pernyataan Carter itu tidak berarti Hamas akan menerima semua kesepakatan yang dicapai Abbas dan Olmert melainkan lebih pada kesiapan Hamas menerima referendum yang akan digelar terkait dengan kesepakatan tersebut. Zuhri juga mengatakan Hamas akan menyiapkan sebuah 'fase damai' jika Israel mundur dari batas 1967.
Selepas kunjungan ke Timur Tengah kala itu, ia mengekspresikan dukungannya kepada Israel sebagai negara, namun mengkritik kebijakan domestik dan luar negerinya. ''Kejahatan kemanusiaan terbesar di muka bumi sekarang ini adalah kelaparan dan pemenjaraan terhadap 1,6 juta rakyat Palestina,'' tegas Carter.
Carter menyebut statistik yang dikatakannya menunjukkan asupan nutrisi sejumlah anak Palestina berada di bawah anak-anak Afrika Sub-Sahara. Sedangkan posisi Uni Eropa terhadap Israel, digambarkan oleh Carter, seperti ''telentang'' atau pasrah. Carter menerima Nobel Perdamaian tahun 2002 atas upayanya menjembatani pakta damai Mesir dengan Israel --perdamaian pertama antara Israel dan negara Arab.
Pada akhirnya, Israel dan Amerika Serikat tak ambil pusing dengan saran Carter agar Hamas dirangkul. Setahun setelah kunjungan bertemu Carter, Nasser Shaer ditangkap di Ramallah. Pada 2022, ia coba dibunuh Israel di Nablus namun berhasil selamat. Sementara Mahmoud Zahar hingga saat ini masih terus dikenai sanksi ekonomi. Said Siam dibunuh Israel pada 15 Januari 2009 dalam serangan udara Israel di rumah kontrakan saudaranya di Jabalia. Sedangkan Khaled Meshaal hingga saat ini masih ditahan Israel.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.