Batu | Daan Yahya/Republika

Sastra

Batu

Cerpen Yin Ude

Oleh YIN UDE

“Aku tidak mau memindahkan batu itu! Titik! Dan kau jangan coba-coba lagi memengaruhiku!”

Suara Pak Gani keras dan nyata berisi penegasan bahwa keputusannya sudah final. Mendengarnya aku tak berani lagi bicara. Terlebih raut wajah lelaki itu menampakkan ketidaksenangan padaku, padahal sebelumnya terlihat sabar dan menghargaiku sebagai tamunya.

Aku pun berdiri dari duduk, hendak pamit.

“Maaf, aku paham kau kecewa karena setelah sejam lebih di sini, berusaha bernegosiasi denganku, tapi aku tak bisa memenuhi harapanmu, Anak Muda.” 

Kalimat yang diucapkan sambil menyeringai itu menahan ucapan permisiku. 

“Sekali lagi sampaikan salamku pada Pak Kepala Desa, bahwa aku bersedia mengembalikan uangnya jika ia bersikeras memindahkan batu itu. Lagi pula, kamu tahu? Dalam perjanjian penyewaan tidak disebutkan tentang pemindahan batu itu!”

Aku mengangguk cepat, segera permisi lalu bergegas keluar dari rumah Pak Gani yang telah mengurungku dalam udara tak nyaman. Udara pengap yang dipicu oleh perbedaan paham antara aku dan lelaki paruh baya itu.

Aku Ferdi, ketua sebuah NGO dari Jawa yang sedang keliling Indonesia untuk mengkampanyekan konservasi sumber daya air. Desa ini masuk dalam lokasi kampanye dan aku tiba bersama timku dua minggu lalu. Seperti biasa, salah satu rangkaian kampanye kami adalah pertunjukan musik dan teater kecil-kecilan bertema konservasi. Kades, yang bernama Rusman mendukung kegiatan kami dan menyediakan lokasi pertunjukan.

Lokasi tersebut adalah lahan kosong seluas lebih kurang lima kavling di tengah desa, yang dimiliki oleh Pak Gani. Penggunaannya tidak cuma-cuma, melainkan dengan cara disewa. Pihak desa melalui Kades Rusman telah berhubungan dengan Pak Gani untuk transaksi penyewaannya dan kudengar sudah dibayar lunas. Tinggal kami pakai.

Tapi rekan-rekan timku mendapati keberadaan sebuah batu cukup besar di tengah-tengah lahan itu. Bentuknya hampir menyerupai menhir, tugu batu jaman dulu. Tingginya sekitar satu meter dengan lebar kira-kira lima puluh senti meter. Mereka, yang setelah mendengar pendapat kru pertunjukan, berkesimpulan bahwa batu itu akan mengganggu keleluasaan pertunjukan, sebab justeru di posisi batu itulah titik utama lokasi pertunjukan.

Timku dan kru pertunjukan mendesakku untuk segera mencari solusi atas hal tersebut.

Aku sudah bicara dengan Arini dan Doni, kurator pertunjukan, mencoba mengajak mereka berpikir untuk mengabaikan saja keberadaan batu itu. Artinya pertunjukan bisa berjalan tanpa terganggu, atau mungkin dengan pikiran kreatif mereka, justeru batu itu bisa diberdayakan untuk menjadi elemen artistik.

Tapi konsep mereka berdua sangat berbeda denganku. Intinya mereka tetap menilai bahwa batu itu pengganggu, penghalang dan harusnya tak ada di sana. 

“Kita bisa angkat dan pindahkan ke tempat lain,” tegas Arini.

Benar juga, batu itu masih tergolong ringan jika dipindahkan oleh banyak orang. Dan semestinya itu sudah menjadi solusi. Tapi, pemilik lahan, Pak Gani, menolak ketika aku, Arini dan Doni mengutarakannya pada pria itu.

“Aku tidak mau memindahkan batu itu!” serunya, tanpa menyebutkan alasan.

Hanya saja aku masih berpikir bahwa penolakan Pak Gani masih “koma”, karena setelah berseru ia kemudian diam, menatap saja Arini dan Doni yang terus menyampaikan dasar keinginan pemindahan batu itu. Pak Gani ragu, keputusannya labil, dugaanku.

Maka aku datang lagi hari itu. Ternyata aku salah. Jelas bahwa penolakannya sudah “titik”, seperti ucapannya, “Aku tidak mau memindahkan batu itu! Titik! Dan kau jangan coba-coba lagi memengaruhiku!”

Di jalan pulang dari rumah Pak Gani aku ditelepon oleh Arini. Gadis yang diam-diam kutaksir itu mencecarku.

“Tiga hari lagi waktunya pertunjukan. Rancangan acara kami tidak akan bisa final sebelum ada kejelasan pemindahan batu itu!” Suaranya keras, membuat telingaku semakin berdenging setelah sebelumnya sudah berdenging karena pengaruh udara panas tengah hari.

“Sabar sedikit! Aku sedang berusaha keras meluluhkan Pak Gani! Berhenti menelepon! Tunggu aku di situ!” Hampir saja terlontar jawaban ketus dari mulutku seandainya tak tertahan oleh teriakan hatiku yang memperingatkan, “Jangan kasar! Besok kau berencana menyatakan cinta pada Arini. Kalau ia sakit hati, asmaramu bakal hancur!”

Aku menghela nafas, menenangkan diri. Motor yang sejenak kuparkir di bawah pohon -demi menjawab panggilan- langsung kukebut lagi. Pikiranku tertuju kepada Kades Rusman.

***

 

“Apa!”

Tak kurasakan ada tanda tanya dari cetusan pertanyaan Pak Rusman. Yang ada adalah tanda seru, saking menghentaknya suara sang kades.

“Apa sulitnya hanya memindahkan batu itu, sementara saja, sampai pertunjukan kalian selesai! Nanti akan dikembalikan lagi!”

“Tapi kenyataannya begitu, Pak,” jawabku sambil menyeka keringat yang kubawa dari luar dan sepertinya akan membanjir lagi di dalam ruangan kerja Pak Rusman, karena kipas anginnya rusak. “Tak jelas alasannya, tapi pokoknya beliau tak setuju. Dan beliau juga menyatakan bahwa dalam perjanjian penyewaan tidak disebutkan tentang pemindahan batu itu.”

Muka kades itu kian menegaskan ketidaksenangan.

“Benar, tak disebutkan tentang pemindahan batu itu,” sambutnya. “Tapi sebagai penyewa kita punya hak untuk menyesuaikan kondisi lahan itu dengan kebutuhan pertunjukan. Nah, ketika ada batu yang posisinya akan mengganggu, haruslah kita pindahkan! Toh,  juga hanya sementara!”

Tangannya mengangkat ponsel yang tergeletak di meja di depannya. Seperti hendak menelepon.

“Eh, sebentar, Pak. Bapak mau menelepon Pak Gani?” tanyaku buru-buru.

“Iya,” katanya dengan raut wajah heran.

“Sebaiknya jangan sekarang, Pak. Saya baru dari rumah Pak Gani. Nah, kalau sekarang Bapak menelepon, beliau pasti berpikir itu karena saya memberitahu Bapak tentang keputusannya. Saya takut dicap pengadu. Bagusnya nanti sore-sore saja. Mungkin ceritanya Bapak mengecek persiapan pertunjukan, lalu mendapati ada batu di sana, terus Bapak berinisiatif menanyakan kepada Pak Gani, sekalian meminta beliau untuk memindahkannya.”

Tak sadar aku telah lancar sekali mengatur kepala desa di hadapanku itu. Dan matanya sedikit melebar. Terkejut nampaknya.

“Tidak!” sentaknya serius. “Memangnya kenapa kalau Mas Ferdi mengadu padaku! Wajar saja, Mas mencari solusi kepada saya selaku pemerintah dan orang yang terkait dengan penyediaan lahan itu. Aku harus mendapatkan jawaban bersedia dari Pak Gani sekarang juga!”

“Atau begini saja, Pak!” Suaraku tiba-tiba ikut menghentak karena terbawa kecemasan. “Saya melihat ada lahan lain di dekat lahan Pak Gani. Kosong dan hampir sama luasnya. Pasti cocok pula sebagai arena pertunjukan. Bagaimana kalau kita beralih ke sana saja!”

“Tidak! Tetap di lahan Pak Gani, dan ia sebagai warga desa harus mengorbankan batu itu demi lancarnya kegiatan desa!” sanggah Rusman memotong. “Ketika kalian datang ke desa ini, bermitra dengan pemerintah desa untuk menyelenggarakan kegiatan, maka itu berarti kegiatannya sudah menjadi kegiatan desa! Semua warga harus ikut menyukseskannya, pada porsi dan cara masing-masing!”

Hawa tak nyaman yang mencengkeramku di rumah Pak Gani merambat lagi di ruangan kades itu. Keringatku sudah membasahi punggung baju. Kalau pun kipas anginnya berfungsi, tak akan bisa mengatasi gerah, sebab bukan sekedar reaksi tubuh, melainkan reaksi pikiran dan hati yang tegang.

“Bisa saja aku mengalihkannya ke lahan yang Mas maksud. Tapi aku mau Pak Gani menuruti kemauan kami pemerintah desa.”

Sedikit menurun suara Pak Rusman saat aku akan keluar dari ruangannya. Namun padaku kekalutan sudah meningkat. Terlebih setelah mendengar langsung percakapan telepon Pak Rusman dengan Pak Gani, yang sengaja diperdengarkan oleh sang kades lewat speaker ponselnya.

Sang kades ngotot memaksa, Pak Gani lebih banyak diam. Sepertinya karena kesal tak diberi kesempatan bicara banyak oleh Pak Kades. Firasatku buruk, bahwa masalah tidak selesai.

Tak kuharapkan Arini atau Doni atau temanku yang lain meneleponku lagi.

Ting ting ting ting…

Lekas kurogoh ponsel dari kantong celana, dengan dada berdebar, cemas harapanku tak terkabul.

Benar, nada dering itu menyuruhku menjawab panggilan Doni. Ingin kuangkat dan berseru ketus lagi, “Tenang sebentar! Ini aku baru dari ruangan Pak Kades! Jangan menelepon! Aku sedang mengendarai motor!” 

Namun batinku membentak, “Mau kehilangan jembatan? Pikirkan, Doni itu sahabat dekat Arini! Dialah orang yang paling potensial kau mintai pertolongan mencomblangimu dengan gadis itu!”

***

 

Tiba di base camp tim. Semua anggota telah duduk berkumpul menyambutku.

Tujuh orang di antaranya terdiam mendengar penjelasanku tentang hasil usaha berbicara dengan Pak Gani dan Pak Rusman. Lalu saling pandang, saling mengharap menyuarakan tanggapan. Dari  sikapnya kuyakin pula bahwa mereka sedang berusaha memahami posisiku, yang tak bisa berbuat apa-apa. 

Lain dengan enam teman kru pertunjukan. Wajah mereka menunjukkan ketidaksenangan, yang terang-terangan. Apalagi Doni, apalagi Arini.

Sesekali kucuri pandang pada gadis cantik itu. Benar-benar cantik, dengan kulit putih dan rambut hitam sebahu. Sayang itu agak tertindih karena wajahnya memberenggut. Kupastikan bahwa ia orangnya berwatak keras.

“Ada yang bisa menebak, ndak, kenapa kira-kira Pak Gani bersikeras menolak memindahkan batu itu? Padahal tinggal dipindahkan saja, dan pemindahannya pun tergolong mudah dengan melibatkan banyak orang. Bila perlu kita sewa crane.” Suara Elya, sekretaris NGO memecah keheningan. Ucapannya mengikuti gerak badannya beringsut untuk duduk lebih dekat denganku. 

Sudah lama ia menaruh hati padaku. Walau tak terucap, itu bisa kutangkap dari caranya bersikap padaku. Dan kurasakan akhir-akhir ini ia sepertinya hendak semakin mempertegas sinyal cintanya, dengan sedikit agresif, seperti mendekatkan duduk, menyentuh tanganku dan berani menatapiku. Sayang aku tak pernah tertarik padanya. Aku lebih terpikat pada Arini.

Darmanto, koordinator divisi kampanye NGO mengangkat tangan seperti hendak bicara.

“Kemarin aku coba-coba ngobrol dengan tetangga Pak Gani. Kudapati dari mereka cerita bahwa batu itu bukan barang sembarangan buat Pak Gani. Terlebih sejak seminggu yang lalu,” ucapnya.

Aku dan semua menatap dengan ketidaksabaran pada Darmanto yang diam sejenak.

“Batu itu merupakan peninggalan kakek buyutnya Pak Gani, yang menurut cerita muncul begitu saja di samping rumah sang kakek buyut. Saat bapaknya Pak Gani balita, batu itu pindah lagi secara aneh ke tengah lahan kosong yang sekarang diwarisi oleh Pak Gani.”

Darmanto berhenti bicara. Ia menelan ludah. Sepertinya ia pun hendak memberi kesempatan tim untuk menanggapi. Tak ada. Maka ia melanjutkan ceritanya.

“Nah, karena kemunculan dan perpindahannya yang gaib tersebut, maka batu itu dikeramatkan oleh turunannya hingga sampai Pak Gani,” ujarnya. “Pak Gani meyakini di batu itulah bersemayam arwah nenek moyangnya. Debu batu itu juga bisa menjadi penolak bala dan bisa menyembuhkan penyakit keluarga beliau. Hal ini sebenarnya diketahui oleh warga desa. Generasi dulu memercayainya pula. Tapi semakin ke sini, semakin sedikit yang meyakininya.

Bahkan kebanyakan warga sudah meremehkan keramatnya batu itu. Pak Gani tak mempermasalahkannya. Toh, yang kena tulah mereka juga, begitu pendirian Pak Gani. Tapi, sejak seminggu lalu  beliau  mulai sangat khawatir pada sikap orang-orang, setelah beliau bermimpi didatangi kakek buyutnya yang memperingatkan bahwa ada bencana yang bakal menimpa desa ini yang diakibatkan oleh pelecehan orang pada batu itu. Namun Pak Gani segan memberitahukan warga yang ia pastikan tak akan percaya. Justeru akan mengolok-oloknya pula. Hanya pada dua tiga orang dekatnya saja ia bercerita…”

Mendadak Arini dan Doni tertawa terbahak-bahak, memotong cerita Darmanto. Keduanya saling tatap, lalu tertawa kembali.

“Kren, kren!” seru Arini dengan nada mengejek. “Kedatangan kakek buyut Pak Gani, membawa pesan itu, tepat dengan keberadaan kita di sini. Kren! Kiranya sang kakek itu mengetahui rencana kita untuk memindahkan batu peninggalannya. Lalu ia hendak memperingatkan kita, sebagai orang yang akan melecehkan batunya!”

Para kru pertunjukan lainnya tiba-tiba tertawa pula. Mereka sepakat merasa lucu pada cerita kegaiban batu Pak Gani, pada kedatangan dan peringatan kakek buyutnya dalam mimpi lelaki itu.

“Jago benar Pak Gani mengarang cerita, menakut-nakuti kita,” celetuk Doni setelah menghabiskan sisa tawanya. “Aku jadi semakin penasaran, apa sih sebenarnya alasan lelaki itu hingga begitu sulit memberi ijin memindahkan batu yang tak berguna itu.”

Aku menatap Elya. Ia juga menatapku. Tapi isinya bukan sinyal asmara. Melainkan  isyarat keraguan akan memercayai atau tidak cerita yang disampaikan Darmanto. Keraguan pula untuk mengakui atau menyalahkan isi pikiran Arini dan Doni yang tergambar dari kata-kata sarkastisnya.

“Assalamualaikum!”

Kami yang berkumpul semuanya terkejut oleh salam yang tiba-tiba terdengar dari luar base camp. Itu suara Pak Gani!

Sebelum salamnya terjawab, lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu. Sejenak ia berdiri di sana dengan tatatan tajam merayapi kami, sebelum terhenti padaku. Dadaku berdebar.

Ia melangkah masuk dengan tatatan tak lepas padaku.

“Waalaikumsalam, Pak Gani. Mari duduk,” sambutku seraya bangkit dan menunjukkan tempat duduk di dekatku. Suaraku sedikit bergetar.

Tapi Pak Gani menggeleng. Ia berhenti dan tegak dalam jarak dua meter dariku. Kulihat teman-teman tim menunggu apa yang akan terjadi dengan penasaran, dengan tegang. Arini dan Doni serta kru pertunjukan saja yang saling pandang lalu sama-sama tersenyum mengejek.

“Maaf, Nak Ferdi,” ucapnya dengan suara berat dan nada datar. “Aku pastikan tadi kau menemui Pak Kades. Lalu ia meneleponku. Kau pasti ada di depannya saat itu. Tak apa-apa, aku mengerti bahwa kau harus melaporkan apapun yang berhubungan dengan permasalahan kegiatanmu pada kepala desa.”

Lelaki berbaju kaus oblong dan bertopi lontar itu merogoh saku celana dan mengeluarkan kantongan plastik bening berisi tumpukan uang kertas seratus ribuan.

“Tapi seperti yang sudah berulang kali kukatakan, aku tidak akan memenuhi harapan kalian, tidak akan mengijinkan kalian memindahkan batu itu dari tengah lahanku! Itu sudah keputusanku!” serunya. “Tak usah kalian tahu alasanku. Termasuk Pak Kades, tak mau pula kuberitahu penyebab aku memutuskan seperti itu. Yang penting, seharusnya kalian berpikir saja untuk menghormati keputusanku sebagai pemilik lahan yang lahannya hanya disewa, bukan dibeli. Dan karena kalian, terutama Pak Kades bersikeras, hendak memaksaku, tidak menghormati keputusanku, maka aku memilih mengembalikan uang sewa. Dari sini aku akan langsung ke rumah kepala desa, untuk menyerahkannya!”

“Apa tidak bisa ditunda dulu, Pak?” tanyaku hati-hati. Sebenarnya aku jerih menentang Pak Gani yang nampak memerah mukanya karena memendam emosi. Tapi sebagai pemimpin teman-teman, aku harus memperjuangkan keberhasilan rencana kegiatan pertunjukan kami. Dan keberhasilan tersebut sangat bergantung pada ketersediaan lokasi yang layak, pada kesediaan Pak Gani sebagai pemiliknya!

Aku memang melihat alternatif lokasi, yaitu lahan di dekat lahan Pak Gani. Tapi aku masih ingin mempertahankan lokasi awal, yang mungkin saja tetap bisa kami gunakan, setelah ada jalan tengah mengenai batu itu. Aku belum menyerah untuk dengan apa pun caranya membuat Pak Gani bersedia memberi ijin memindahkan batu itu!

“Maaf, Pak.” Tiba-tiba Elya maju dan bicara. “Saat ini kami semua sedang membahas masalah batu itu, Pak. Kami sedang berusaha mencari jalan keluar. Kami sangat berharap untuk tetap bisa menggunakan lahan Bapak. Dan satu hal yang harus Bapak ketahui, kami semua menghargai prinsip konservasi, bukan terbatas pada konservasi sumber daya air saja. Melainkan termasuk pada konservasi atas adat budaya dan keyakinan tradisional pula, seperti keyakinan Bapak terkait nilai keramat dan supernaturalnya batu itu. Kami sangat menghormati itu, Pak. Karenanya, jika saja rapat kami terus berlangsung, tak tertutup kemungkinan teman-teman kru pertunjukan akan membuat rancangan lain tentang jalannya pertunjukan yang tak harus mengganggu batu itu…”

“Tidak ada kemungkinan rancangan lain! Rancangan tetap seperti semula, dengan menghilangkan batu itu dari lokasi pertunjukan!”

Meledak petir di telingaku demi mendengar suara meninggi yang tiba-tiba dari Arini. Sungguh, tak kuduga anak itu akan melakukannya! Mulut Elya juga menganga sedikit karena terkejut.

“Kalau begitu silahkan cari lokasi lain!” sentak Pak Gani tak kalah meninggi. Tatapannya melembing ke arah Arini yang juga menajam pandangnya pada lelaki itu. 

Keduanya seperti hendak beradu ketegasan.

Doni menarik lengan Arini, melerainya dari pertentangan frontal dengan Pak Gani. Tapi gadis itu tak menurut. Ia mencoba menampik tangan temannya, dan terus melawan sorot mata lawannya.

Aku maju, mencoba meraih tangan Pak Gani dengan maksud mengajaknya ke sudut lain ruangan tempat pertemuan. Namun lelaki paruh baya itu membalikkan badan dan pergi. Tak peduli panggilanku berulang kali.

Perhatianku beralih pada Arini. Kubiarkan raut wajahku mengikuti gejolak api dalam dadaku. Agar ia mengetahuinya. Mengetahui bahwa aku marah. Marah sekali. Dan aku telah benci padanya.

Pertemuan bubar. Teman-teman merasa situasi sedang tidak memungkinkan untuk melanjutkan pembicaraan. Istirahat dan menenangkan diri adalah opsi yang lebih baik. Aku dan Elya ditinggalkan berdua saja dalam ruangan itu.

Tak tahu apa yang harus dibicarakan, kami saling diam. Diam, hingga tak terasa telah setengah jam lebih seperti itu. Sampai Darmanto muncul dan memberi kabar, “Ada telepon dari Pak Rusman. Beliau bilang barusan ditemui Pak Gani yang mengembalikan uang sewa lahannya. Pak Rusman tidak terima. Mereka bertengkar. Pak Rusman menempeleng Pak Gani.”

Elya terkejut mendengarnya. Tapi aku tidak. Terlebih aku sedang membangun ulang ingatan pada usahaku merubah pendirian Pak Rusman dan Arini.

Terngiang suaraku, “Atau begini saja, Pak! Saya melihat ada lahan lain di dekat lahan Pak Gani. Kosong dan hampir sama luasnya. Pasti cocok pula sebagai arena pertunjukan. Bagaimana kalau kita beralih ke sana saja!”

Terngiang pula sanggahan Pak Rusman, “Tidak! Tetap di lahan Pak Gani, dan ia sebagai warga desa harus mengorbankan batu itu demi lancarnya kegiatan desa! Bisa saja aku mengalihkannya ke lahan yang Mas maksud. Tapi aku mau Pak Gani menuruti kemauan kami pemerintah desa!”

Lalu bayangan saat aku bicara dengan Arini dan Doni, mencoba mengajak mereka berpikir untuk mengabaikan saja keberadaan batu itu. Artinya, pertunjukan bisa berjalan tanpa terganggu, atau mungkin dengan pikiran kreatif mereka, justeru batu itu bisa diberdayakan untuk menjadi elemen artistik.

Tapi mereka mempertahankan konsep mereka. Tak mau mendengar pandanganku. Intinya mereka hanya menilai bahwa batu itu pengganggu, penghalang dan harusnya tak ada di sana. 

“Kita tidak sedang berhadapan dengan satu batu, Elya…,” ucapku. Aku rasakan ada keputusasaan yang merayapi dadaku saat itu. 

“Maksudmu?”

“Ya, ada batu-batu lain di hadapan kita, yang membuat masalah batu di lahan itu tak akan pernah bisa selesai.”

Gadis itu menatapku, dengan sorot mata prihatin. 

Tiba-tiba aku ingin beringsut, mendekatkan tubuh pada tubuhnya. Sekalian menggenggam jemarinya.

Sumbawa Timur, 25 Mei 2024

 

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Suara NTB, Lombok Pos, Sastra Media, Suara Merdeka, Republika, Kompas dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Rumah Laba-laba untuk Syukriya

Cerpen Rinal Sahputra

SELENGKAPNYA

Wanita dalam Tong Setan

Cerpen Abi Utomo

SELENGKAPNYA

Seorang Perempuan dan Bunga-bunga Liar di Pekarangan

Puisi Abdullah Muzi Marpaung

SELENGKAPNYA