Seorang Perempuan dan Bunga-bunga Liar di Pekarangan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Seorang Perempuan dan Bunga-bunga Liar di Pekarangan

Puisi Abdullah Muzi Marpaung

Oleh ABDULLAH MUZI MARPAUNG

Bapak

 

Sehelai kemeja Bapak telah menjadi kangen yang menyiksa.

 

Apakah kita masih akan berjumpa, pada suatu ketika yang jauh lebih berharga

ketimbang yang dahulu kita lewati?

Apakah nanti aku akan memelukmu, kubiarkan tangis yang tertahan

oleh berlapis-lapis urusan – yang lalu mengerak oleh waktu – pecah di dadamu 

menjadi air mata dalam bentuknya yang paling murni?

 

Sehelai kemeja Bapak telah menguap menjadi angin yang dingin dan kering.

Ia mendesir dalam kesendirian yang asing: 

tak ada yang lebih sunyi ketimbang sore yang tak disadari.

 

Akan kubangun istana di surga buat Bapak.

Istana abadi dari bahan baku yang fana di sini.

 

Tetapi, hidup telah menjadi serangkaian tetapi 

(yang tak perlu terlalu diberatkan, sebab sungguh dapat dimaklumi)

Dunia adalah hamparan bagi bermacam evolusi

Setiap alasan yang kasar dan telanjang 

akan terus diasah oleh waktu sehingga 

tercapai kehalusan yang (pura-pura) dikagumi. 

 

Sehelai kemeja Bapak telah menjelma bilah bambu.

Aku tak lagi kuasa untuk seolah-olah tak terluka. 

 

2023

***

 

Seorang Perempuan dan Bunga-bunga Liar di Pekarangan

 

telah tiba masa rerumputan liar itu kembali menguasai pekarangan

dan meski separuh geram, tetap kaukumpulkan bunga-bunganya

yang bertangkai dan berkelopak hijau, bermahkota putih dengan putik kekuningan

lalu kauhimpun keindahan yang tak beraturan itu pada vas buatan mahasiswa

yang akhirnya gagal menjadi sarjana lantaran tertembak mati oleh revolusi

 

telah musim ke berapa ini?

 

lirih suaramu bagaikan angin yang berembus di permukaan masa lalu

yang kemudian meregang menjadi renjana yang muspra dan

kehilangan yang tak jua dapat diterangkan apalagi diredakan

 

mengapa selalu begini cara rerumputan liar itu mencakar ingatan?

 

sehamparan sejarah mengambang di udara dengan

gaya yang memprovokasi perasaan dan pikiran

kau lalu teringat pada suatu obrolan dengan senior yang kau anggap bijaksana

tentang keadilan, kebebasan, kepentingan yang lebih besar

dan hal-hal lain yang akhirnya tak sanggup kau simpulkan 

selain sebagai geram yang datang dan pergi, tetapi selalu mengunjungimu

dan membuatmu memaksakan diri mencari-cari sedikit kebahagiaan

saat kau kumpulkan bunga-bunga liar itu pada vas buatan mahasiswa:

anakmu.

 

2023

***

 

Jogja pada Sebuah Kelab Malam

 

Aku tengah berada di antara aroma sekam terbakar

dan daun kayu manis yang terluka

ketika seorang gadis menyapa:

Boleh aku duduk di sebelahmu?

 

Ia tersenyum.

Artifisial, tapi menarik.

Aku mengangguk.

 

Pukul sepuluh malam.

Penyanyi di kelab malam itu masih terus bernyanyi.

Sudah serak suaranya sekarang. 

Aku melirik kepada persoalan-persoalanku.

Gadis itu melirikku, seperti ingin bicara, 

tetapi sadar dalam kebisingan suaranya tak akan terdengar.

 

Ia adalah jenis perempuan yang kuduga 

punya keberanian tak terduga.

Ia adalah jenis perempuan yang mungkin aku cintai 

jika hari ini adalah masa lalu.

 

Ditunjukkannya secarik kertas.

Boleh saya bercerita?

Aku mengangguk. 

Ia tersenyum.

Artifisial, tapi menarik.

 

Ia mendekat. Parfumnya aroma melati, seperti yang menentramkanku, di Jogja dulu.

Panjang ia bercerita. Berlembar kertas dihabiskannya. Ia seperti telah mempersiapkan suatu perjumpaan yang seperti ini. Kuringkas saja ceritanya:

 

Aku adalah ulat yang gagal menjadi kupu-kupu

Maukah kau mengelupas kepompongku?

 

Engkau tahu adat lelaki,

selalu ingin terlihat bijaksana dalam situasi begini

selalu ingin jadi pahlawan, tetapi bukan pahlawan yang mati berkorban

melainkan pahlawan yang mabuk kemenangan.

 

Aku kini menatapnya. Sekali itu, aku ingin terlihat dewasa.

Matanya teduh artifisial. Seperti danau buatan di kompleks perumahan mahal.

Dalam hati aku bertanya, kepompongnya di sebelah mana?

 

Kepada gadis itu ingin aku berkata

bahwa gagal menjadi kupu-kupu adalah persoalan

yang dialami banyak perempuan.

Bahwa di pekaranganku banyak kepompong berserakan

bahwa aku telah banyak menyaksikan kupu-kupu berjatuhan.

Bukan karena tak sanggup terbang

melainkan karena tak sanggup menari

di bawah sinar matahari.

Mungkin karena banyak perempuan 

tak tuntas memahami gelapnya kepompong.

 

Tetapi aku ternyata diam saja dan

kembali terperangkap di antara aroma sekam terbakar

dan daun kayu manis yang terluka

yang berasal dari kebun-kebun di masa lalu

masa lalu yang kuklaim sebagai masa lalu kita.

 

Aku mencari-carimu pada diri perempuan itu.

Aku meraba hingga ke dalam pikiran, detak jantung, dan aliran darahnya.

Aku seperti melihat bagian ulatmu bermetamorfosis menjadi kupu-kupu di sana.

Kupu-kupu itu menari-nari di bawah sinar matahari

lalu menghilang di Jogja yang tenteram.

 

Ya, kadang-kadang bagiku Jogja adalah sebuah persoalan. 

Aroma sekam terbakar dan daun kayu manis yang terluka adalah persoalan.

Kepompong yang berserakan di pekarangan adalah sebuah persoalan.

Keindahan pada kupu-kupumu adalah sebuah persoalan.

 

Aku melirik pada jarum jam: pukul sembilan malam.

Penyanyi di kelab malam itu menyanyikan lagu-lagu yang asing.

Tak satu pun berasal dari memoriku.

Aku melirik kepada persoalan-persoalanku dan mulai ragu.

Haruskah aku menunggu pukul sepuluh malam

ketika seorang gadis menyapa:

Boleh aku duduk di sebelahmu?

 

2023

***

 

Bintan

 

Kadang-kadang aku membaca puisi lama

yang ditulis oleh jalan lengang itu untuk kita

mungkin masih kau ingat guguran bunga sakura

yang berserakan di atas sepi yang menganga

lalu kau berucap kepada luka-luka kita,

April telah tiba.

 

Kadang-kadang kubaca lagi naskah ilmiah, sejarah, dan kisah

tentang orang-orang Belanda yang mencari timah, tetapi menemukan bauksit

tentang orang-orang Belitung yang menjadi mandor tambang

mereka adalah kakek dari kawan-kawan sepermainan kita

tentang 10 ribu metrik ton bauksit diekspor dari Sungai Kolak pada 1935

tentang orang-orang Jepang yang menguasai tambang hampir tanpa perlawanan

tentang pokok Sakura yang mereka tanam di tepi suatu tikungan jalan.

 

Kadang-kadang kuputar kembali percakapan bapak-bapak kita

di kedai kopi dekat pasar sembari menikmati secangkir kopi:

Pok yang ringan atau kao yang pekat

dan sepiring roti bakar di awal bulan.

Di sana, ada saja yang berbagi cerita tentang intrik di tambang

atau berbagi cita-cita kecil yang tak penting bagi sebagian orang:

Akan kukirim anak-anakku ke Jawa

tak ada pendidikan di sini.

 

Kadang-kadang kubiarkan kenangan itu merajalela

kapal-kapal Jepang tak lagi buang sauh di pelabuhan

lori-lori tak lagi lalu lalang

sirine tanda masuk dan pulang kerja tak lagi berkumandang

lubang-lubang galian tambang kini berbalik menelan rencana-rencana kita

bunga-bunga sakura warna merah muda merajuk di atas jalan lengang itu.

 

Saatnya pergi, sudah tak ada bauksit lagi.

 

Kadang-kadang kubuka lagi album-album lama

potret hitam putih kita selalu ada di sana

tak ada satu pun lipatan waktu yang sanggup memburamkannya

masih kuingat saat kau mengejar kupu-kupu lalu tersandung batu:

Batu sialan, makimu kepada batu merah itu.

Hei, itu bauksit! seruku.

 

Kadang-kadang kubiarkan rindu mendikteku

tetapi hidup tak jauh beda dengan lubang bekas galian tambang

ia menenggelamkan kita ke dalam yang bukan kadang-kadang.

 

2023


Abdullah Muzi Marpaung lahir dan besar di Pulau Bintan. Kini ia adalah seorang dosen Teknologi Pangan di Swiss German University. Ia telah menyukai sastra dan mulai menulis puisi sejak remaja. Sejak 2015 ia mulai aktif menulis cerita pendek. Ia sudah   menghasilkan   dua   buku kumpulan cerita pendek berjudul “Lelaki yang Tak Pernah Bertemu Hujan” dan “Ruas Jalan yang Selalu Kusapu Untukmu”, serta dua buku kumpulan puisi berjudul “Catatan Hari Kemarin" dan “Kusapa Engkau”.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Bingkai dan Bangkai

Sajak-sajak Muhammad Subhan

SELENGKAPNYA

Pembulak 

Cerpen Rusmin Sopian 

SELENGKAPNYA

Ibu Tanah

Cerpen Safry Dosom

SELENGKAPNYA