Wanita di Tong Setan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Wanita dalam Tong Setan

Cerpen Abi Utomo

Oleh ABI UTOMO

Sulis adalah wanita petarung malam yang tangguh. Dengan perawakan yang tomboi, Sulis mengemban dua tanggungjawab dalam keluarga. Keluarga yang pas pasan membuat ia harus memperjuangkan keluarganya. Wanita penunggang RX-King tersebut memiliki dua anak yang harus ia hidupi. Tidak seperti istri yang lainnya, Sulis harus bekerja keras, bahkan ia harus bertaruh nyawa untuk membeli waktu lebih lama.

Seakan tak ada pilihan lain, Sulis memilih pekerjaan malam sebagai joki Tong Setan daripada pekerjaan umum lainnya. Pekerjaan ini diambil karena pagi ia gunakan untuk mengurus rumah dan anak-anaknya yang masih bersekolah dasar. Meskipun seperti itu, Sulis tak pernah sedikit pun mengeluh atau terpancar kesedihan di raut wajahnya. Semua ia jalani dengan tanpa beban meskipun terkadang ia merasa kewalahan melakukan peran tersebut. 

Sulis tak dapat lari dari kehidupannya yang menyesakkan. Ia seperti terpenjara dalam bilik ruang tanpa bisa melakukan apapun. Menghirup udara segar dan dapat bergerak bebas adalah cita-citanya untuk menambah pundi-pundi uang keluarganya. Bukan hanya Sulis, Sulis adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tersekap dalam penjara kehidupan mereka masing-masing, terlebih kelompok Sulis dalam satu rombongan tobong pasar malam. Pasar malam kini tak seramai dulu. Pengunjung kian surut dari tahun ke tahun. Orang-orang lebih memilih pergi ke wahana rekreasi seperti Jatim Park, Dufan, dan sejenisnya. Bahkan wahana-wahana semacam Jatim Park dan Dufan kini juga mengalami penurunan pengunjung. Mereka hanya mendapat pemasukan besar ketika hanya masa liburan saja.

Orang-orang kini mulai banyak berselancar memainkan permainan di gawai ketimbang pergi ke luar berpanas-panas dan berpeluh-peluh keringat. Mereka lebih nyaman di dalam ruangan ditambah dengan AC yang menyala setiap saat. Padahal, berinteraksi, bersosial, dan bertemu banyak orang dapat menghilangkan kejenuhan bahkan tak jarang pula hingga mendapatkan relasi.  Saat ini pasar malam dianggap kuno bagi sebagian masyarakat. disamping wahana permainan yang kurang menarik, wahana pasar malam tidak memiliki standar keamanan sendiri bagi penikmat dan pelakunya, pun demikian dengan pertunjukan Tong Setan. 

Suara meraung-raung dari kejauhan tanda pertunjukan Tong Setan akan segera dimulai. Tampak Sulis menunggangi kuda besinya dan segera memacu perlintasan yang mirip dengan tong tersebut. Pertunjukan Tong Setan merupakan pertunjukan yang selalu menarik perhatian para pengunjung, tak khayal begitu banyak orang yang melihat pertunjukan Tong Setan dengan membawa uang sebagai saweran untuk pengendara Tong Setan.

Ikon Tong Setan tak pernah surut menarik perhatian ketika pasar malam pertama dibuka. Pertunjukan berbahaya tersebut seperti menjadi pertunjukan wajib ketika pasar malam digelar. Tak lengkap rasanya apabila pertunjukan Tong Setan tak unjuk kebolehan di pagelaran pasar malam yang gemerlap. Dengan berdiri mengitari lintasan seperti tong, masyarakat berteriak dan bersorak-sorai menyodorkan lembaran uang kepada pengendara. Tak sedikit dari mereka melempar koin sebagai tanda pertunjukan  Tong Setan sangat atraktif dan menarik. 

Sulis penunggang kuda besi Tong Setan. Kehidupannya kian sempit karena harus menghidupi keluarga. Parno sang suami pun tak mau bekerja. Setiap hari kerjaannya hanya bisa mabuk dan main perempuan. Meskipun Sulis memiliki perawakan tomboi, ketundukannya kepada suami melebihi ketundukannya kepada ibunya. Sulis tak mau sedikitpun melawan suaminya. Sulis hanya mampu memberi sedikit teguran untuk tidak melakukan hal-hal yang membawa keluarganya dalam kehancuran.

Pendapatan Sulis dari pertunjukan Tong Setan pun kerap diambil oleh Parno untuk kebutuhannya sendiri. Parno tak pernah sedikitpun memikirkan masa depan anak-anaknya yang masih membutuhkan biaya keperluan sekolah. Terlebih Hamzah anak pertamanya yang setelah ini segara masuk SMP. Jangankan melanjutkan sekolah, gizi anak-anak Parno tak pernah tercukupi sama sekali. Tubuh mereka semakin lama semakin kurus tak terurus. 

Parno lelaki tinggi tegap yang tak pernah ingin bertanggungjawab kepada keluarga. Setiap hari ia berangkat malam hingga pulang pagi dalam keadaan mabuk. Sementara di siang hari hingga sore pekerjaannya hanya tidur menunggu petang datang. Selain hanya mencari kenyamanan pribadi, Parno selalu kasar kepada Sulis, terlebih ketika sarapan belum tersaji di meja makan. Tak jarang Sulis mendapat tamparan dan tendangan dari Parno.

Bagai bom waktu yang meledak begitu keras, tiba-tiba Sulis untuk pertama kalinya marah sampai melawan suaminya setelah 12 tahun lamanya menikah. Parno marah besar. Di meja makan tak ada satu pun makanan yang disajikan oleh Sulis. Kursi-kursi ruang tamu ditendang dan dilempar oleh Parno hingga keadaan rumah begitu kacau. Parno menghampiri Sulis yang belum selesai memasak dan menamparnya dengan keras.

“Mengapa makanannya belum siap?” Sergah Parno.

Sulis tersungkur di lantai sambil menangis tersedu-sedu memegangi pipinya yang memerah. Sulis membalas dengan teriakan hingga tetangga sekitar pun mendengar, namun tidak ada seorang pun datang menolong mengingat Parno sosok yang terkenal dengan kekasarannya. Parno tak segan-segan bertindak menggunakan kekerasan apabila ada yang menentangnya. 

“Kau tak lihat, kalau aku sedang memasak. Jangan pernah menuntutku, sebab kau sendiri tak menjalankan tugasmu sebagai suami” 

Memegang pipi Sulis “Apa kau bilang? Kamu kunikahi saja sudah untung ketimbang harus mengemis di jalan”

Tangisan Sulis semakin memilu setelah Parno pergi sambil membawa dompetnya.

Peristiwa pagi yang sangat menyayat batin Sulis. Siang hari, sepulang anaknya sekolah, Sulis membawa mereka membawa ke tobong hiburan pasar malam. Dengan terpaksa dia membawa kedua anaknya bersinggah sementara di tobongan. Untungnya, tobongan tersebut tidak terlampau jauh dari desanya. Aktivitas tobong atau nobong biasanya dilakukan dengan cara berpindah-pindah dari lapangan ke lapangan, desa ke desa, bahkan kota ke kota.

Lebih dari 20 keluarga menetap di lokasi tobongan dengan mendirikan tenda-tenda di sekitar wahana permainan. Mereka biasa menetap satu bulan lamanya sebelum mereka berpindah ke tempat yang lainnya. Anak-anak Sulis begitu cepat beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat bekerja sang ibu. Seperti bukan tempat yang asing bagi mereka karena saat hamil muda, Sulis pun bekerja keras di pasar malam, pun demikian ketika Sulis menggendong mereka masih kecil. 

Dengan tragis anak-anak Sulis harus putus sekolah. Mereka belum tamat SD. Mereka masih terlalu lugu dan polos merasakan getir peristiwa keluarganya. Tidak seperti anak-anak yang lain, anak-anak sulis harus mengakhiri cita-citanya lebih awal. karena adaptasi yang cepat, anak-anak Sulis pun mengikuti jejak ibunya. Di usia sangat dini, anak-anak Sulis kini belajar mengendarai kuda besi. Anak-anak Sulis yang berusia 11 dan 12 tahun tersebut harus bertarung untuk melangsungkan harapannya.

Mereka tak sempat mempertanyakan pentingnya cita-cita, mereka hanya tahu kalau mereka harus membantu ibunya. Mereka juga tak memiliki banyak teman untuk bermain atau bahkan kesempatan belajar. Mereka hanya bisa bermain di area tobongan yang berarti hanya orang-orang terbatas di dalamnya. 

Sulis adalah satu-satunya perempuan pengendara kuda besi di pertunjukan Tong Setan. Pekerjaan yang ia tekuni lebih dari 12 tahun kini akan dilanjutkan oleh kedua anaknya. Memang tidak ada yang memaksa anak-anak Sulis untuk melanjutkan pekerjaan ibunya, namun lingkungan memaksa mereka harus melakukannya. Terlebih lingkungan tempat bekerja Sulis sangat kurang sehat untuk perkembangan anak-anak karena banyak orang berbagai jenis di tobongan mulai dari seorang penjudi hingga pemabuk ulung. Cepat atau lambat anak-anak Sulis yang lugu tentu akan terinfeksi perbuatan yang merusak kehidupan mereka.

Bukan hanya anak-anak, orang dewasa seperti Sulis pun mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari beberapa temannya. Untung beribu untung, sikap tomboi Sulis mampu melindunginya. Sulis tak segan bersikap kasar terhadap orang lain yang hendak melecehkannya. Meskipun parasnya sangat cantik, Sulis menyimpan keganasan yang tidak dimiliki perempuan lain.

Dari tuntutan keluarga, Sulis rela mengendarai kuda besi dalam pertunjukan Tong Setan. Dengan menggunakan celana jeans robek di bagian lutut, sebelum memacu motornya, Sulis berdoa untuk keselamatannya. Sementara para penonton sudah menunggu di atas tong yang berukuran besar tersebut menantikan Sulis beraksi. Tak berselang lama, Sulis memacu motornya dengan kencang. Knalpot berteriak kencang menembus keramaian pasar malam. Para penonton sangat senang menyawer Sulis dengan lembaran uang.

Tanpa Sulis sia-siakan, ia mengambil satu persatu uang yang dilambaikan padanya. Dengan menggunakan tangan kiri, Sulis mengambil uang-uang tersebut sembari memacu motornya tanpa mengurangi kecepatan. Seperti berjalan di langit-langit, dengan gagah Sulis tanpa sedikitpun memiliki rasa takut terjadi kecelakaan. Sesaat, anak Sulis pertama Hamzah keluar dari pintu Tong Setan dengan memacu kuda besinya. Sontak aksi Hamzah membuat para penonton bersorak karena melihat seorang anak kecil yang mahir memacu motor.

Tidak dapat dipungkiri, hadirnya Hamzah menambah pemasukan keuangan keluarga Sulis karena mendapatkan banyak saweran. Akan tetapi, semakin lama Sulis semakin khawatir dengan anaknya. Sulis sangat tidak menginginkan Hamzah untuk meneruskan pekerjaan yang sama dengan dirinya. 

Penikmat pertunjukan Tong Setan tak sebanyak dulu lagi, bahkan masyarakat modern tak lagi melirik pasar malam sebagai hiburan yang menarik. Bagi masyarakat desa, hiburan masyarakat seperti pasar malam mungkin masih banyak peminatnya. Namun, desa-desa yang sudah mulai tersentuh modernisasi tak lagi menaruh minat terhadap hiburan semacam itu. Pergeseran tersebut membuat Sulis khawatir akan nasibnya, terlebih kepada Hamzah.

Sulis sangat bergantung pada hiburan Tong Setan. Sulis memiliki firasat buruk terhadap masa depannya. Satu minggu Sulis tak nyenyak tidur. Ia bermimpi akan terjadi sesuatu pada dirinya ketika sedang melakukan pertunjukan. Hal tersebut juga dirasakan oleh Hamzah. Ia merasa ibunya akhir-akhir ini begitu dekat dan sangat perhatian kepadanya.

Abi Utomo  lahir di Jombang. 22 Mei 1997, tepatnya di sebuah desa sederhana Dusun Kemodo Utara Rt 003 Rw 002 , Desa Dukuhmojo. Aktif  berkesenian di Kelompok Alief Mojoagung  sebuah kelompok teater di Jombang. Abi juga aktif menulis puisi, cerpen, dan ulasan teater. Buku terbarunya adalah kumpulan puisi “Puisi itu Menolak Mati”.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Bingkai dan Bangkai

Sajak-sajak Muhammad Subhan

SELENGKAPNYA

Pembulak 

Cerpen Rusmin Sopian 

SELENGKAPNYA

Ibu Tanah

Cerpen Safry Dosom

SELENGKAPNYA