Rumah pengasingan Bung Hatta | Muhammad Hafil/Republika

Nusantara

Menelusuri Jejak Bung Hatta di Banda Neira

Kisah Bung Hatta di tanah Banda dimulai pada 11 Februari 1936.

AMBON -- Banda Neira, sekumpulan pulau seluas 55,3 kilometer persegi yang terletak di tengah gugusan pulau-pulau lain di Provinsi Maluku menyimpan sejuta catatan sejarah Bangsa Indonesia yang tidak banyak diketahui khalayak. Di balik eksotis dan tenangnya Banda Neira, ada banyak peristiwa yang pernah terjadi di Bumi Pala itu.

Sejarah mencatat, Proklamator Bangsa Indonesia Mohammad Hatta menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh namanya di Banda Neira. Ia menjadi satu dari banyak alasan Banda Neira kini kerap dikunjungi wisatawan.

Kisah Bung Hatta di Tanah Banda dimulai pada 11 Februari 1936. Bung Hatta bersama Sutan Sjahrir tiba di Pulau Banda Neira, diasingkan sebagai tahanan politik oleh kolonial Belanda.

Pada masa itu, alasan Belanda sengaja mengasingkan dua tokoh bangsa di pulau eksotis itu untuk melunakkan sikap keduanya agar bisa merapat kepada barisan pemerintahan VOC. Pada awal kedatangan Bung Hatta dan Bung Sjahrir di Tanah Banda, menempati rumah Iwa Koesoemasoemantri yang berada di belakang kantor pemerintahan VOC atau yang dikenal dengan istana mini di Banda Naira.

Menempati rumah itu selama sepekan, Hatta dan Sjahrir terus memikirkan tentang perlawanan politik dengan VOC untuk memerdekakan Indonesia. Merasa tak nyaman tinggal dekat dengan kantor kolonial VOC, mereka memutuskan untuk pindah ke rumah kosong dari seorang tuan tanah dengan harga sewa seharga F12,50 setara Rp 70 ribu sebulan.

"Sekarang rumah Iwa Koesoemasoemantri sudah jadi rumah warga, namun status cagar budayanya tetap dijaga dengan baik," kata salah satu pemandu wisata Banda Neira, Andri Putra.

Bung Hatta dan Sjahrir sempat tinggal beberapa bulan di satu rumah yang sama hingga akhirnya Sjahrir memutuskan untuk pisah dan tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Hatta yang sekarang dikenal sebagai Rumah Pengasingan Bung Sjahrir.

Penuh memorabilia
Rumah pengasingan Bung Hatta berada di Desa Dwiwarna, Banda Neira, berdiri di atas lahan seluas 660 meter persegi dengan luas bangunan 441 meter persegi. Pada rumah pengasingan Bung Hatta terdapat tiga bangunan utama yang setiap sudutnya menyimpan memorabilia sang tokoh proklamator.

Rumah utama dari tempat pengasingan ini memiliki selasar depan seluas 29,25 meter persegi, dan selasar belakang 42,25 meter persegi, satu ruang tamu seluas 36 meter persegi, ruang makan seluas 17,6 meter persegi, dan tiga ruang tidur, masing-masing 22,5 meter persegi, 19,8 meter persegi, dan 19,8 meter persegi.

Memasuki ruang tamu, aura historis akan dirasakan setiap pengunjung yang datang. Tampak rapi dua meja berikut sofa dan kursi yang masih terjaga keasliannya sejak Bung Hatta menempati rumah tersebut. Pada dinding ruang tamu terpajang belasan foto Bung Hatta saat sebelum kemerdekaan Indonesia.

Pada sudut kanan ruang tamu sebuah etalase tua yang terbuat dari kayu menyimpan benda peninggalan Bung hatta, yakni kemeja, songkok atau peci, keris, hingga benda ikonik yang melekat dengannya, yaitu kacamata Bung Hatta.

Masuk ke ruangan sebelah kanan, sebuah meja kerja dengan mesin ketik kuno milik Bung Hatta menjadi bukti perjuanganya lewat tulisan dan surat-surat yang dibuatnya pada mesin tersebut. Di pengasingan, Hatta mengsi waktunya dengan berkebun dan menulis di koran Sin Tit Po yang dipimpin oleh Liem Koen Hian, dengan honorarium F75 dalam bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar Nasional yang dipimpin Sam Ratulangi) dan juga ia menulis di koran Pemandangan dengan honorarium F50 sebulan per satu atau dua tulisan.

Sementara itu, suasana hening terasa ketika memasuki kamar tidur sang proklamator di rumah itu. Sebuah dipan kayu tua sederhana, dengan kasur berikut selambu putih pernah menjadi tempat perenungan, sekaligus tempat beristirahat Hatta di Banda Neira.

Sekolah sore
Berada satu kompleks dengan rumah pengasingan Bung Hatta, tepat 6 meter di belakang rumah tersebut, Bung Hatta mendirikan sekolah untuk anak-anak Banda Neira. Hal ini menjadi bukti komitmen kuat Bung Hatta dalam mencerdaskan anak bangsa, bahkan saat ia menjadi tahanan politik di timur Indonesia.

Tujuh pasang bangku dan meja sekolah yang usianya lebih tua dari Indonesia menjadi saksi bisu perjuangan Bung Hatta dalam mendidik anak-anak di Banda Neira. Dalam sekolah sore ini, Bung Hatta dan Bung Sjahrir mengajari anak-anak Banda pelajaran aritmetika hingga bahasa Inggris. Syahrir mengajar anak-anak kecil, sedangkan Hatta mengajar anak yang lebih besar.

Bahkan, Bung Hatta turun langsung bersama anak-anak Banda mengecat sejumlah perahu-perahu nelayan di Banda Neira dengan warna merah dan putih untuk menanamkan nilai nasionalisme kepada anak-anak Banda Neira kala itu.

Masyarakat setempat menceritakan bahwa pada suatu hari, Bung Hatta pernah kedapatan mengecat perahu dengan warna merah putih tanpa warna biru satu titik pun oleh seorang Belanda yang merupakan pejabat di daerah itu. Namun, Bung Hatta berdalih dengan mengatakan, "Tuan kan tahu sendiri, laut sudah berwarna biru." Pernyataan diplomatis Bung Hatta tersebut hingga kini menjadi cerita yang melegenda di pulau itu.

Menariknya lagi, sebuah papan tulis berukuran 1,5 x 1 meter persegi masih menyimpan tulisan asli Bung Hatta, dengan goresan kapur yang hingga kini masih dijaga oleh warga setempat. Tulisan itu berbunyi "Sedjarah perdjoengan Indonesia setelah Soempah Pemoeda di Batavia pada tahoen 1928".

Perjalanan Bung Hatta dan Sjahrir di pengasingan nan elok itu berakhir pada 1942. ketika sebuah pesawat amfibi Catalina datang untuk menjemput mereka berdua. Ketika proses pengangkutan, ternyata pesawat kelebihan beban, terpaksa akhirnya Bung Hatta merelakan dua peti buku ditinggal dan dititipkan kepada Des Alwi (salah satu tokoh nasional) di Banda Neira.

Meski berada di Banda Neira hanya selama enam tahun, warga setempat menganggap Hatta sebagai anak Banda Neira. Sosok Hatta yang gigih dalam mencerdaskan anak Banda pada masa pengasingannya menjadi teladan bagi anak-anak Banda yang hingga kini terus berkembang secara dinamis, mengikuti perkembangan zaman, meski pulau itu berada jauh dari pusat pemerintahan Provinsi Maluku.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat