Nasional
Waspada, Indonesia Berpotensi Alami Kekeringan Meteorologis
Daerah dengan potensi curah hujan sangat rendah perlu mendapatkan perhatian khusus.
JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami kekeringan meteorologis pada musim kemarau. Kondisi ini membutuhkan kesiagaan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
"Laporan kepada Presiden perihal kondisi iklim dan kesiapsiagaan kekeringan 2024 sudah kami sampaikan agar mendapat atensi khusus pemerintah sehingga risiko dan dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi dan diminimalisir sekecil mungkin," ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis, Rabu (29/5/2024).
Dwikorita menyampaikan bahwa mayoritas wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) sepanjang 21-30 hari atau lebih panjang. Selain itu, berdasarkan analisis curah hujan dan sifat hujan yang dilakukan BMKG, menunjukkan bahwa kondisi kering sudah mulai memasuki wilayah Indonesia, khususnya di bagian Selatan Khatulistiwa.
"Sebagian wilayah Indonesia sebanyak 19 persen dari Zona Musim sudah masuk Musim Kemarau, dan diprediksi sebagian besar wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara segera menyusul memasuki musim kemarau dalam tiga dasarian ke depan. Kondisi kekeringan ini saat musim kemarau akan mendominasi wilayah Indonesia sampai akhir bulan September," kata dia.
Dwikorita menambahkan, sebanyak 19 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. Wilayah tersebut di antaranya, Aceh, Sumatra Utara, Riau, pesisir utara dan selatan Pulau Jawa, Bali bagian Selatan, NTB dan Sebagian NTT. Kondisi kekeringan selama kemarau tersebut diprediksi akan mendominasi hingga September
Dwikorita mengatakan, curah hujan sangat rendah pada Agustus 2024 berpotensi terjadi di Lampung , Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pada September 2024 masih berpeluang terjadi di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur.
"Pada Oktober 2024 kondisi serupa di sebagian Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Timur. Dimulai dari Juni hingga Oktober. Ini perlu disiap-siagakan, perlu mitigasi khusus dampak kekeringan," kata Dwikorita.
Dwikorita mengatakan, telah munculnya beberapa titik panas awal pada daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, perlu diwaspadai risiko menengah dan tinggi yang akan terjadi di daerah tersebut.
"Kami merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk mengisi waduk-waduk di daerah yang berpotensi mengalami kondisi kering saat musim kemarau. Lalu, membasahi dan menaikkan muka air tanah pada daerah yang rawan mengalami karhutla ataupun pada lahan gambut," kata dia.
Selain itu, Dwikorita menyarankan agar selalu memastikan koneksitas jaringan irigasi dari waduk ke kawasan yang terdampak kekeringan benar-benar memadai, agar upaya modifikasi cuaca dapat terlaksana dengan efektif dan efisien dalam memitigasi potensi bencana kekeringan.
"Daerah yang masih mengalami hujan atau transisi dari musim hujan ke musim kemarau, perlu segera mengoptimalkan secara lebih masif upaya untuk memanen air hujan, melalui tandon-tandon/tampungan-tampungan air, embung-embung, kolam-kolam retensi, sumur-sumur resapan, dan sebagainya seiring dengan upaya mitigasi dampak kejadian ekstrem hidrometeorologi basah yang sedang dilakukan," jelas Dwikorita.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menyampaikan hingga dasarian II Mei 2024, pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik menunjukkan indeks ENSO sebesar +0.21 atau dalam kondisi netral. Kondisi indeks ENSO sudah berada pada level netral selama dua dasarian, dan diprediksi akan terus netral sampai periode Juni-Juli 2024.
Kemudian pada periode Juli-Agustus-September 2024, ENSO Netral diprediksi akan beralih menuju fase La Nina lemah yang akan bertahan hingga akhir tahun 2024. Fenomena La Nina lemah ini diprediksi tidak berdampak pada musim kemarau yang akan segera hadir. Sedangkan di Samudera Hindia, pemantauan suhu muka laut menunjukkan kondisi IOD Netral namun ada kecenderungan beralih ke fase IOD Positif.
Melihat fakta tersebut, kata dia, maka daerah dengan potensi curah hujan bulanan sangat rendah dengan kategori kurang dari 50 mm per bulan perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi dan antisipasi dampak kekeringan. Adapun daerah tersebut meliputi sebagian besar Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali dan Nusa Tenggara, sebagian Pulau Sulawesi, dan sebagian Maluku dan Papua.
Adapun dari hasil monitoring hotspot yang dilakukan dengan satelit, menunjukkan telah munculnya beberapa hotspot awal pada daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sehingga diperlukan perhatian khusus untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di sepanjang musim kemarau.
"Memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek terkini, masih terdapat jendela waktu yang sangat singkat yang bisa dimanfaatkan secara optimal sebelum memasuki periode pertengahan musim kemarau," ujar dia.
BMKG juga berharap informasi peringatan dini kesiap-siagaan musim kemarau tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif oleh pemerintah pusat dan daerah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.