Ekonomi
Percepatan Transisi Energi Butuh Dana Besar
Indonesia memiliki modal sumber daya EBT yang sangat besar.
JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan percepatan transisi energi menuju energi bersih di Indonesia membutuhkan dana yang besar. Oleh karena itu, upaya transisi energi tersebut memerlukan dukungan dari investor untuk menanamkan modalnya dan mengoptimalkan energi bersih di Tanah Air.
"Dalam mewujudkan peta jalan transisi energi di Indonesia, membutuhkan investasi yang sangat besar. Meskipun kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) terus meningkat, tapi masih membutuhkan biaya besar untuk mempercepatnya dalam memenuhi target pembangunan nasional," ujar kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi.
Eniya mengatakan, Indonesia telah membuat kebijakan untuk menciptakan ekosistem yang baik dalam investasi energi bersih, yaitu dengan membebaskan persyaratan lokal konten untuk proyek-proyek EBT, yang didanai melalui pinjaman atau hibah luar negeri, yang mana hal tersebut merupakan salah satu hambatan pengembangan EBT di Indonesia.
Selain itu, ia menguraikan Indonesia memiliki modal sumber daya EBT yang sangat besar dan terdiri atas berbagai macam sumber. "Sumber daya EBT melimpah dan tersebar dengan potensi mencapai 3.680 GW, yang bisa dioptimalkan untuk memasok kebutuhan energi nasional di masa depan," tuturnya.
Sementara, tambah Eniya, dalam peta jalan transisi energi, Indonesia sudah menetapkan pembangunan pembangkit listrik setelah 2030 hanya berasal dari sumber EBT.
Diproyeksikan pada 2060, kapasitas terpasang pembangkit EBT akan mencapai 350 GW dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan meningkat secara signifikan mulai 2030.
"Indonesia juga akan mengimplementasikan super grid yang terintegrasi untuk memberikan akses energi kepada seluruh masyarakat. Super grid akan mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi terbarukan dan menjaga kestabilan sistem kelistrikan," kata dia.
Kemudian, Eniya menambahkan Indonesia juga sudah fokus melakukan inovasi dalam pengembangan energi bersih, di antaranya ialah pemanfaatan hidrogen, dengan telah menetapkan strategi hidrogen nasional, yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai produsen dan pusat hidrogen ramah lingkungan dalam memenuhi permintaan global.
"Inovasi lain adalah fase komersialisasi bahan bakar penerbangan menggunakan bioavtur J2.4 berbasis biodiesel, juga mengembangkan PLTS terapung dengan kapasitas yang besar, seperti di Cirata (Jawa Barat) dengan kapasitas 193 MW, yang merupakan PLTS terapung terbesar ketiga di dunia," katanya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengungkapkan, perjalanan Indonesia mencapai target NZE membutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Butuh dana investasi yang sangat besar. Lebih dari 1 triliun dolar AS sampai 2060. Kebutuhan dana makin besar saat pembangkit listrik tenaga batu bara dihentikan lebih cepat dan digantikan dengan listrik EBT," ujarnya
Dalam kesempatan terpisah, Staf Khusus Bidang Peningkatan Pengusaha Nasional Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Pradana Indraputra mengatakan bahwa transfer teknologi penting untuk mendukung transisi energi yang murah atau lebih terjangkau bagi negara berkembang.
“Transfer teknologi sangat penting untuk menjadikan energi bersih terjangkau secara ekonomi,” ujar Pradana dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Pernyataan tersebut terkait dengan greenflation atau ketidakseimbangan antara jumlah penawaran dan permintaan yang menyebabkan biaya transisi energi bersih menjadi tidak terjangkau secara ekonomi.
Mengutip World Bank dan Our World in Data, Pradana memaparkan bahwa delapan negara dengan ekonomi terbesar, yang mencakup 30 persen populasi dunia, telah menyumbang 54 persen dari total emisi gas rumah kaca dari tahun 1998 hingga 2022.
Sementara itu, kata dia melanjutkan, 70 persen populasi dunia lainnya, yang sebagian besar adalah negara berkembang, harus menanggung beban yang sama yang disebabkan oleh delapan negara tersebut.
Terkait dengan hal itu, Pradana menegaskan bahwa dalam kolaborasi antarnegara, memperlakukan semua negara dengan cara yang sama adalah sesuatu yang tidak tepat, karena setiap negara mempunyai kapasitas, kemampuan, dan sumber daya keuangan yang berbeda.
"Kita harus memperlakukan setiap negara sesuai dengan kebutuhan dan kekuatannya, memastikan keadilan dan kesetaraan,” kata dia.
Menurut dia, negara-negara maju yang secara historis berkontribusi lebih besar terhadap emisi harus mendukung negara-negara berkembang dan membantu negara-negara berkembang dalam mencapai kemajuan dengan kecepatan yang sama. “Ini adalah landasan fundamental dari kerja sama antarnegara," kata Pradana.
Menurut Pradana, pemerintah Indonesia juga harus berevolusi dari sekadar regulator, menjadi fasilitator dan matchmaker.
Ia menjelaskan bahwa Kementerian Investasi di Indonesia berwenang memberikan insentif fiskal, seperti tax holiday dan tunjangan. “Transisi energi bersih merupakan salah satu kategori yang memenuhi syarat untuk menerima insentif ini. Kami dapat menawarkan pembebasan pajak kepada perusahaan hingga 20 tahun. Kami juga berencana untuk memperluas insentif ini ke semua praktik berkelanjutan, tidak hanya energi bersih,” kata dia pula.
Pendekatan holistik tersebutlah yang ia yakini sebagai kebijakan industri dan keuangan yang ramah lingkungan. “Indonesia siap bekerja sama dengan negara lain dalam upaya ini," kata Pradana.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.