Medika
Tiga Dekade Lebih, Anak Indonesia Dikelilingi Asap Rokok
Prevalensi perokok pasif di dalam rumah di Indonesia mencapai 78,4 persen.
Meski Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) selama 34 tahun, Lentera Anak menilai anak-anak di Indonesia masih belum sepenuhnya terbebas dari belenggu asap rokok. KHA diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 1989.
Hari bersejarah ini diperingati sebagai Hari Anak Sedunia pada setiap 20 November. Indonesia telah meratifikasi KHA pada 26 Januari 1990 yang disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.
Dalam kurun waktu 34 tahun meratifikasi KHA, Chairperson Lentera Anak, Lisda Sundari mengatakan, Indonesia sudah berhasil memasukkan isu perlindungan anak dalam berbagai peraturan dan undang-undang. Beragam peraturan dan undang-undang tersebut hadir sebagai upaya dasar untuk memenuhi hak anak dan perlindungan anak.
View this post on Instagram
Sebagai contoh, Indonesia telah menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, kembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi melalui Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Indonesia juga telah menerbitkan UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan yang menetapkan usia perkawinan adalah 19 tahun.
Namun, di sisi lain, Lisda menilai anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya dapat menikmati lingkungan yang sehat dan terbebas dari asap rokok dan paparan iklan rokok. Selain itu, anak-anak di Indonesia juga belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan dari kemudahan akses terhadap rokok.
Tak sedikit pula anak-anak di Indonesia yang sejak awal kehidupannya sudah terdampak oleh asap rokok di rumah. Mengacu pada penelitian dari Universitas Indonesia dan Imperial College London Inggris, prevalensi perokok pasif di dalam rumah di Indonesia mencapai 78,4 persen.
Angka tersebut relatif jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di Asia. Sebagai perbandingan, prevalensi perokok pasif di dalam rumah di Cina adalah 48,3 persen, di Bangladesh 46,7 persen, dan di Thailand 46,8 persen.
Selain di rumah, asap rokok juga kerap mengepung anak-anak di berbagai ruang publik. Berdasarkan data GYTS-WHO 2019, sekitar 67 persen anak-anak terpapar asap rokok di tempat umum dan 59 persen terpapar di sekolah.
Sejak di Kandungan
Bahkan, bahaya rokok juga bisa mengintai anak-anak sejak mereka masih di dalam kandungan. Ibu hamil yang terpapar asap rokok dan merokok selama kehamilan cenderung berisiko lebih tinggi terhadap komplikasi seperti keguguran dan kelahiran prematur.
Riwayat paparan asap rokok atau merokok selama kehamilan juga merupakan faktor risiko bagi sindrom kematian bayi mendadak. Tak hanya itu, riwayat paparan asap rokok ini juga dapat memicu penyakit pernapasan, infeksi telinga, hingga risiko kematian mendadak pada anak-anak dan remaja.
Menurut Lisda, berbagai situasi ini jelas bertentangan dengan sejumlah pasal dalam KHA. Sebagian dari pasal tersebut adalah pasal 24 tentang hak kesehatan tertinggi dan Pasal 6 KHA tentang hak atas kehidupan. Beberapa pasal lainnya adalah pasal 17 tentang perlindungan dari informasi yang membahayakan kesejahteraan dan pasal 3 tentang kepentingan terbaik bagi anak.
Lisda juga mengingatkan bahwa pasal 36 KHA mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala kegiatan yang mengambil keuntungan dari mereka atau dapat membahayakan kesejahteraan dan perkembangan mereka. Namun, sayangnya, fakta menunjukkan bahwa anak Indonesia masih belum terlindungi sepenuhnya dari paparan asap rokok dan pemasaran industri tembakau.
"Informasi dan materi iklan rokok membahayakan kesejahteraan anak dan melanggar hak kesehatan karena dokumen industri rokok sudah mengakui bahwa iklan, promosi, serta sponsor rokok dalam berbagai acara musik, film, dan olahraga memang ditujukan untuk menarik perhatian dan memengaruhi kaum muda merokok, tanpa mereka sadari," tambah Lisda, seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Republika, pada Senin (20/11/23).
Mengacu pada data GYTS-WHO 2019, sebanyak 65,2 persen anak-anak di Indonesia terpapar iklan rokok di televisi. Selain itu, sebanyak 65,2 persen terpapar di tempat penjualan, 60,9 persen terpapar di media luar ruang, dan 36,2 persen terpapar di media sosial dan internet.
"Dari data tersebut jelas menunjukkan pentingnya melakukan pelarangan menyeluruh terhadap iklan, promosi, dan sponsor rokok untuk melindungi anak dari target pemasaran industri rokok," ujar Lisda.
Lisda juga menuntut adanya perlindungan anak dari akses yang mudah untuk mendapatkan rokok. Menurut Lisda, pemerintah perlu membuat kebijakan agar harga tembakau tidak terjangkau oleh anak.
Lisda juga mengimbau agar pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melarang penjualan rokok batangan. "Termasuk juga mengatur secara ketat produk tembakau baru, seperti rokok elektronik yang merupakan bahaya tambahan bagi anak-anak," kata Lisda.
Beragam tindakan ini penting untuk dilakukan mengingat tren perokok anak di berbagai kelompok usia terus mengalami peningkatan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Bahkan, Bappenas memprediksi bahwa prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun akan meningkat sampai 16 persen pada 2030.
Hal itu sangat bertolak belakang dengan tren penggunaan tembakau di dunia yang justru mengalami penurunan. Dalam dua dekade terakhir, penggunaan tembakau di dunia menurun dari 1.397 miliar pada 2000 menjadi 1.337 miliar pada 2018.
Selain itu, telah diproyeksikan bahwa sebanyak 60 persen negara di dunia telah mengalami penurunan konsumsi produk tembakau sejak 2010. Penurunan itu bisa terjadi karena pemimpin di masing-masing negara tersebut melakukan aksi untuk melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan tembakau.
Per 2023, misalnya, Pemerintah Selandia Baru telah mengimplementasikan kebijakan melarang penjual produk tembakau kepada penduduk yang lahir pada 1 Januari 2009 atau setelahnya. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah generasi mendatang merokok dan menjadikan Selandia Baru sebagai negara bebas tembakau pada 2025.
"Namun, di Indonesia, kami belum melihat adanya komitmen kuat pemerintah untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari dampak buruk penggunaan tembakau. Padahal, tingginya prevalensi merokok adalah masalah serius, mengingat rokok bersifat adiktif dan faktor risiko penyakit tidak menular, selain akan menjadi beban ekonomi dan mengancam kualitas SDM," ujar Lisda.
Menurut dia, sebagai negara yang terikat konvensi PBB tentang Hak Anak, Indonesia wajib memberikan prioritas untuk kepentingan anak dalam semua tindakan yang berdampak pada anak. Hal ini mencakup kewajiban mengatur industri tembakau dengan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di seluruh media, larangan penjualan rokok batangan, hingga pencantuman peringatan kesehatan dengan ukuran besar.
Pemerintah perlu membuat kebijakan agar harga tembakau tidak terjangkau oleh anak.LISDA SUNDARI, Chairperson Lentera Anak.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Rahasia Membesarkan Anak Sukses dari Orang Tua Nordik
Konsep Friluftsliv ini sudah diterapkan selama 164 tahun.
SELENGKAPNYAOlahraga, Jurus Jitu Cegah Burnout pada Anak Sekolah
Mirip dengan burnout terkait pekerjaan, burnout sekolah ditandai dengan kelelahan saat berada di sekolah.
SELENGKAPNYAMemilih Tabir Surya Tepat untuk Bayi dan Anak-anak
Sunscreen aman diberikan pada bayi usia di atas enam bulan, dengan catatan.
SELENGKAPNYA