Gaya Hidup
Olahraga, Jurus Jitu Cegah Burnout pada Anak Sekolah
Mirip dengan burnout terkait pekerjaan, burnout sekolah ditandai dengan kelelahan saat berada di sekolah.
Saat memikirkan musim kembali ke sekolah, para orang tua mungkin membayangkan anak-anak akan lama duduk di depan meja, pensil diasah, siap fokus pada matematika dan membaca. Namun, bagaimana kunci agar anak-anak berprestasi di sekolah, tapi tetap bisa mengajak mereka keluar rumah dan berolahraga?
Olahraga memang bermanfaat bagi kesehatan fisik anak-anak. Namun, kini bukti baru menunjukkan bahwa olahraga juga berdampak positif pada prestasi akademis mereka dan mencegah burnout saat di sekolah.
Para peneliti di University of Eastern Finland meneliti data yang dikumpulkan lebih dari 34 ribu remaja dalam kelompok studi Promosi Kesehatan Sekolah tahun 2015, yang mencakup hampir setengah dari seluruh siswa kelas delapan dan sembilan di sekolah komprehensif Finlandia. Temuan mereka yang dipublikasikan pada 24 Juli 2023 di European Journal of Public Health menunjukkan, efek dari aktivitas fisik akan berbeda-beda menurut jenis aktivitasnya.
Para peneliti mengamati dua jenis aktivitas fisik yang umum yakni transportasi sekolah yang aktif seperti berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah, dan aktivitas fisik di waktu senggang yang sedang hingga berat seperti berpartisipasi dalam olahraga. Kedua jenis olahraga tersebut menunjukkan manfaat positif.
“Dalam penelitian kami, transportasi sekolah yang aktif dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi persepsi kinerja akademik yang tinggi dan kompetensi keterampilan akademik yang dilaporkan sendiri. Selain itu, berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah dikaitkan dengan kenikmatan sekolah yang lebih tinggi,” ujar peneliti doktoral di Universitas Finlandia dan salah satu penulis studi tersebut, Juuso Jussila, melansir Huffpost, Rabu (1/11/2023).
Aktivitas fisik pada waktu senggang, yaitu olahraga memiliki dampak yang lebih besar terhadap kesejahteraan siswa. Selain kinerja sekolah yang lebih kuat, yang lebih terlihat dalam matematika, remaja yang melakukan aktivitas fisik pada waktu senggang selama empat hingga enam jam sepekan memiliki peluang hampir 50 persen lebih rendah untuk mengalami burnout sekolah dibandingkan dengan teman-teman mereka yang tidak aktif secara fisik.
Meskipun aktivitas fisik dalam jumlah kecil mempunyai dampak positif, lebih banyak olahraga akan lebih memberi manfaat yang lebih besar. Siswa yang menggunakan transportasi sekolah aktif selama 10 hingga 30 menit setiap hari menunjukkan peluang 30 persen lebih tinggi untuk persepsi kinerja akademik yang tinggi dan kompetensi membaca yang tinggi.
Sebagai perbandingan, siswa yang paling aktif secara fisik dalam penelitian ini menunjukkan peluang 86 persen lebih tinggi untuk mendapatkan kinerja akademik yang tinggi. Hasil lain yang diteliti dalam penelitian ini adalah burnout sekolah.
Mirip dengan burnout terkait pekerjaan pada orang dewasa, burnout sekolah ditandai dengan kelelahan saat berada di sekolah, sinisme terhadap makna sekolah, dan rasa tidak mampu di sekolah. Gejalanya, antara lain, perasaan kewalahan dengan banyaknya tugas sekolah atau kehilangan minat terhadap tugas sekolah.
Psikolog yang berbasis di New York, Jennifer Hartstein mengatakan, burnout adalah fenomena nyata bagi siswa. “Hal ini terjadi ketika siswa menghadapi banyak rasa frustrasi dan stres, dengan sedikit waktu atau kemampuan untuk beristirahat atau memulihkan tenaga,” kata dia.
Banyak siswa yang bangun pagi dan mengurus sekolah, aktivitas, pekerjaan, dan tanggung jawab keluarga sehari penuh. Bahkan, pada akhir pekan, mereka tidak punya banyak waktu untuk sekadar bermain sehingga membuat mereka merasa kewalahan dan akhirnya burnout.
Meskipun orang tua harus menyadari hubungan antara aktivitas fisik dan kesehatan mental, Hartstein memperingatkan agar tidak memaksa anak-anak untuk berolahraga atau meninggikan jenis gerakan tertentu dibandingkan jenis gerakan lainnya. "Memaksa anak-anak untuk melakukan sesuatu hanya akan membuat anak-anak enggan melakukan apa pun karena dendam,” kata dia.
Orang dewasa juga perlu berpikiran terbuka dan kreatif dalam menyarankan kegiatan untuk anak-anaknya. “Bicaralah dengan anak tentang apa yang mungkin menarik bagi mereka dan dorong mereka untuk mencobanya. Mereka tidak harus menjadi atlet. Mereka bisa berjalan, hula hoop, lompat tali,” kata Hartstein.
Ia juga menyarakan, agar orang tua dapat menemukan cara untuk membuat gerakan menjadi menyenangkan. "Mulailah sejak dini serta dorong agar gerakan tersebut sering dilakukan," ujarnya.
Orang tua, Hartstein melanjutkan, juga bisa meyakinkan bahwa aktivitas fisik apa pun yang dilakukan anak, baik bersepeda 10 menit ke sekolah, sepak bola, atau tari modern, akan memberikan dampak positif pada kesehatan anak.
Berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah dikaitkan dengan kenikmatan sekolah yang lebih tinggi.JUSSO JUSSILA, Peneliti doktoral di Universitas Finlandia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mengenal 'Juvenile Osteoporosis' yang Rentan Menyerang Anak
Osteoporosis mungkin tidak bisa disembuhkan, namun bisa kita cegah dan kurangi risikonya jika dilakukan sejak dini.
SELENGKAPNYAMemilih Tabir Surya Tepat untuk Bayi dan Anak-anak
Sunscreen aman diberikan pada bayi usia di atas enam bulan, dengan catatan.
SELENGKAPNYAMembangun Mental Anak Dimulai dari Rumah
Hargai sekecil apapun usaha yang anak lakukan.
SELENGKAPNYA