Inovasi
Menghentikan Evolusi Medsos Menjadi E-Commerce, Mungkinkah?
Booming-nya TikTok, membuatnya berevolusi menjadi tempat orang berdagang.
Dinamika yang dibawa media sosial seakan tiada akhir. Mulai dari bergesernya nilai-nilai sosial hingga munculnya peluang-peluang ekonomi baru.
Booming-nya Tiktok sebagai media sosial paling populer saat ini membuat aplikasi media sosial yang satu ini berevolusi menjadi tempat orang berdagang. Ada begitu banyak barang yang bisa dibeli di platform yang satu ini.
Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki pun menolak platform media sosial asal Cina, Tiktok, dalam menjalankan bisnis media sosial dan lokapasar secara bersamaan di Indonesia. Tak hanya di Indonesia, penolakan terhadap bisnis media sosial dan lokapasar juga dilakukan oleh negara Amerika Serikat dan India.
Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M Tesar Sandikapura menjelaskan bagaimana teknologi digital mengubah perekonomian Indonesia. Pertama, seluler memungkinkan skenario bisnis baru. Besar kemungkinan, mulai dari anak sekolah dasar (SD) hingga ibu-ibu, kata Tesar, pasti memiliki handphone.
Kedua, komputasi awan (cloud computing) mendorong ketangkasan bisnis. Teknologi cloud computing berhubungan dengan media platform. “Sekarang sudah enggak seperti dulu ya kalau kita mau buat aplikasi itu sulit, karena misalnya kita sendiri. Misalkan maintenance-nya ribet. Kita sekarang sudah ada teknologi cloud computing,” ujar Tesar di acara talkshow “Dampak Social Commerce Pada UMKM di Indonesia di Jakarta, Jumat (15/9/2023).
Ketiga, big data membantu perusahaan berinovasi. Tesar menyebutkan, big data ini biasanya menempel di platfrom yang ada. Misalnya, ketika memakai Instagram, ada big data dari Instagram supaya targetnya tepat. “Kalau misalnya Tiktok pun begitu. Jadi, kenapa penjual-penjual itu kok laku? Karena ada big data atau algoritma di belakang si platform tersebut,” katanya.
Keempat, social channels mengubah proses bisnis inti. Sekarang orang yang berjualan, mereka akan berusaha mempromosikan barangnya melalui media sosial atau social channels.
Dalam paparannya, Tesar juga menyebutkan, marketing saat ini sudah sampai tingkat socio-commerce yang intinya memobilisasi massa dan mengorkestrasinya dalam sebuah strategi marketing. Ini terjadi karena tingkat partisipasi publik yang sudah matang dalam hal sharing, shaping, dan funding melalui media sosial. “Yang menarik itu adalah si platform sosialnya, efek jualan itu karena ada kumpulan massa tadi,” ujar Tesar.
Contohnya, generasi sekarang senang melihat kontennya dahulu di media sosial. Ketika kontennya menarik, mereka akan membelinya. Melihat hal ini, Tesar berpendapat socio-commerce merupakan sebuah inovasi dan ketika ditutup, ini melawan sesuatu yang seharusnya terjadi. “Menurut saya sih istilahnya melawan alam gitu bisa dibilang,” katanya.
Maka dari itu, dia menyarankan, pemerintah untuk meregulasi aturan yang memiliki prinsip melindungi semua pihak. Sebelum melakukan regulasi, kata Tesar, pemerintah bisa memanggil semua kelompok yang terkait, baik itu dari sisi pengusaha platfrom maupun praktisi.
Jadi, dia melanjutkan, dari pihak pemerintah dan konsumen tidak dirugikan serta negara harus tetap bisa berdaulat. “Tetap ada regulasi yang harus pas, win-win solution atas semua stakeholder yang terlibat,” ujar Tesar.
Satukan Persepsi
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, pengamat ekonomi digital Ignatius Untung Surapati menggambarkan perbandingan logika wacana pelarangan Tiktok shop dengan mal yang memiliki tempat untuk berbelanja dan hiburan untuk pengunjung. Dia mengatakan, orang membuka media sosial untuk mencari hiburan, melihat temannya di media sosial, dan lain sebagainya.
Adapun kreator konten video di Tiktok yang memiliki video bagus maka video tersebut langsung di-scroll oleh orang lain. Ignatius bercerita, ada satu akun yang kerap membuat konten cerita lucu di Tiktok. Karena suka, Ignatius memberikan like untuk konten tersebut. Lama-kelamaan kreator konten tersebut mulai mengiklankan produk di videonya.
Caranya dengan menyisipkan iklan produk di tengah-tengah videonya. “Kalau zaman di media offline itu yang namanya advertorial, begitu di media online namanya native ads. Jadi, sebenarnya sama ujung-ujungnya dari sana kok, cuma formatnya yang diadopsi berdasarkan teknologi yang sudah terbaru,” kata Ignatius.
Sementara itu, di Indonesia, sedikit sekali orang yang pergi ke mal dengan tujuan membeli barang. Mungkin, kata Ignatius, dari lima orang hanya satu orang yang pergi ke mal untuk mencari barang.
Sisanya mereka pergi ke mal dengan tujuan jalan-jalan. Keluar dari sana, orang akan membawa sesuatu, entah itu membeli handphone, membeli baju, mengganti casing handphone, dan lain sebagainya.
“Logikanya sama, jadi orang itu bisa beli barang bahwa ketika tidak direncana selama dia nyaman. Jadi, logic-nya harus dilihat, kalau mal yang tujuannya adalah kalau mal itu dianggap sebagai tempat belanja, coret, enggak boleh ada tempat mainan, ada Timezone, ada bioskop, enggak boleh. Ini tempat hiburan, enggak boleh digabung sama orang jualan, kan harusnya begitu, kalau kita mengacu ke bahwa media sosial enggak boleh digabung sama tempat jualan,” kata Ignatius.
“Logic-nya di mana? Offline saja boleh kok, kenapa ini enggak boleh?” ujarnya menambahkan. Kemudian yang harus dipahami, Ignatius mengungkapkan, bentuk media sosial bermacam-macam.
Menurut Ignatius, media sosial Facebook dan Instagram adalah media sosial yang didorong berdasarkan pertemanan, sedangkan Youtube dan Tiktok didorong berdasarkan konten. “Jadi, Tiktok dan Youtube itu adalah kalau bisa dibilang media sosial yang formatnya di mana hub-nya adalah konten bukan personal. Sehingga berbeda dengan Instagram dan Facebook yang hub utamanya adalah saya mau tahu tentang teman saya tuh ngapain saja makanya behaviour-nya pun berbeda,” kata Ignatius.
Efek jualan itu karena ada kumpulan massa.M TESAR SANDIKAPURA, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC).
UMKM Kena Dampak
Di sisi lain, Pemilik Kiminori Kids, Andre Oktavianus mengatakan bisnis baju anak miliknya sudah mulai merambah ke dunia daring sejak 2017. Kemudian pertengahan September 2022, Andre mulai masuk ke Tiktok Shop.
Saat ini promosi Kiminori Kids melalui format video dan penjualan langsung (live sale). Format video di media sosial Andre menyampaikan, itu sekadar konten untuk trending, sementara itu di Tiktok untuk trending dan langsung berjualan. “Jadi, banyak orang itu sebenarnya kalau sudah belanja di Tiktok bukan sengaja mau belanja. Banyak yang mungkin lagi scroll Tiktok, ketemu konten yang dia merasa ini lucu nih, terus belanja. Kita banyak ketemu kostumer seperti itu,” kata Andre.
Dia pun menyebutkan banyak bertemu reseller atau affiliate yang seperti itu. Saat ini Kiminori Kids memiliki lebih dari 1.000 affiliate. Ada 250 hingga 280 affiliate aktif yang melakukan live dan ada 90 hingga 120 affiliate yang mem-posting konten video Kiminori Kids. Affiliate Kiminori Kids kebanyakan perempuan kisaran usia 20 hingga 40 tahun menengah.
Mengenai wacana pelarangan Tiktok Shop, Andre mengungkapkan pendapat pribadinya sebagai UMKM atau penjual. “Pendapat saya pribadi sebagai UMKM atau penjual, kalau sampai Tiktok Shop tutup untuk UMKM itu sebenarnya saya sendiri saya masih bisa makan gitu istilah kasarnya. Tapi berdampak besar itu sebenarnya ke reseller-reseller saya, ke affliate-affiliate saya. Dampaknya itu bakal terasa sekali,” ujar Andre.
Awal bulan ini, Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menolak platform media sosial asal Cina Tiktok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia. Dalam keterangan resminya, Selasa (5/9/2023), Teten mengatakan, India dan Amerika Serikat (AS) berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan, sementara di Indonesia Tiktok dapat menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan.
Teten menambahkan, Tiktok boleh saja berjualan tapi tidak bisa disatukan dengan media sosial. Itu arena dari riset dan survei diketahui orang belanja daring dipengaruhi perbincangan di media sosial. “Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli,” kata dia, dilansir dari Republika.
Selain perlunya mengatur tentang pemisahan bisnis media sosial dan e-commerce, Teten juga mengatakan jika pemerintah perlu mengatur tentang cross border commerce agar UMKM dalam negeri bersaing di pasar digital Indonesia. Dilanjutkan, ritel dari luar negeri tidak boleh lagi menjual produknya langsung ke konsumen.
Mereka, kata Teten, harus masuk lewat mekanisme impor biasa terlebih dahulu, setelah itu baru boleh menjual barangnya dia pasar digital. Dia menjelaskan, kalau mereka langsung menjual produknya ke konsumen, UMKM Indonesia pasti tidak bisa bersaing karena UMKM Indonesia harus mengurus izin edar, SNI, sertifikat halal, dan lain sebagainya.
Pemerintah pun melarang platform digital untuk menjual produk sendiri atau produk yang berasal dari afiliasinya. Dengan begitu, pemilik platform digital tidak akan mempermainkan algoritma yang dimilikinya untuk menghadirkan praktik bisnis yang adil.
Teten juga menegaskan, pemerintah harus melarang aktivitas impor untuk produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Pemerintah juga perlu mengatur tentang harga barang yang bisa diimpor ke Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mengatasi Rasa Dihantui Filter Tua Ala Tiktok
Mencoba filter ini dapat mengaktifkan rasa takut untuk tumbuh lebih tua.
SELENGKAPNYAMenkominfo Baru Segera Tindak Tiktok Shop?
Medsos merambah e-commerce akan menjadi salah satu prioritas yang akan diselesaikan.
SELENGKAPNYA