Inovasi
Sulitnya Bank di Asia Membangun Platform Digital
Banyak perbankan berada pada kondisi silo.
Transformasi digital dapat dikatakan secara sederhana sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mentransformasi atau mendigitalisasi sebuah proses dan interoperabilitas dari sebuah sistem. Proses ini pun terjadi di hampir semua jenis industri, baik perbankan maupun sistem industri secara spesifik.
Proses digitalisasi ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya hubungan dengan pelanggan atau nasabah secara efektif, juga terdiferensiasi oleh masing-masing nasabah tersebut Riddhi Dutta selaku regional vice president Asia, Backbase, mengungkapkan transformasi digital di sini juga menekankan pada adanya pengalaman yang lebih baik untuk bisa dirasakan oleh para pelanggan atau para nasabah.
Selain itu, digitalisasi juga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas yang lebih baik dari sisi karyawan perbankan tersebut. Perjalanan nasabah dimulai dari keinginan dia membuka akun atau membuka rekening di sebuah bank.
Proses digitalisasi bisa juga berangkat dari permasalahan awal yang mereka rasakan hingga apa yang mereka ingin capai di kemudian hari. Perjalanan tersebut, disampaikan Dutta, mencakup dari sisi retail banking, wealth, dan SME banking.
Menurut Dutta, pertanyaan besarnya adalah apakah layanan perbankan tersebut dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan para nasabah dari awal hingga akhir secara mulus dan tanpa masalah yang berarti? “Yang sudah-sudah oleh para bank atau para perbankan yang melakukan transformasi digital di sini adalah mereka terlalu berfokus atau mereka terlalu berat melakukan usaha di sisi perbaikan atau core system tersebut," ujarnya dalam acara media briefing Backbase yang digelar secara virtual, Selasa (22/8/2023).
Alih-alih, lanjut Dutta, mereka seharusnya lebih mengutamakan bagaimana layanan perbankan tersebut bisa mendukung engagement banking atau melakukan layanan yang lebih bisa membuka engagement dengan para nasabahnya. Ia kemudian menyebutkan tiga alasan yang Backbase percaya mengapa bank di Asia tidak berhasil membangun platform sendiri.
View this post on Instagram
Pertama, banyak perbankan berada pada kondisi silo atau mereka bekerja masing-masing, baik dari internal maupun eksternal mereka sendiri. Contohnya dari sisi branch, call center, web app, hingga mobile app dalam keadaan silo.
Jadi, berbagai sisi itu tidak terkoneksi satu sama lain. “Ini memungkinkan kesulitan bagi perbankan tersebut melakukan penyatuan atau menjadi lebih engage dari sisi satu dengan sisi yang lain, untuk bisa lebih terkoneksi dengan baik,” ujar Dutta.
Kedua, kekeliruan biaya hangus atau the sunk cost fallacy, di mana banyak bank sekarang hanya melihat investasi yang ada kemudian mereka mencoba untuk membangun investasi tersebut. “Dan mencoba mengatakan ini yang bisa dibuat oleh sistem kantor bank saya, biar saya mencari tahu bagaimana bisa saya menjangkau kemampuan ini ke pengalaman pelanggan. Itu tidak berfungsi lagi,” kata Dutta melanjutkan.
Sekarang, bagi Dutta, pelanggan harus berada di tengah. Jadi bank juga harus memikirkan tentang banking tomorrow, di mana bank mengendalikan semuanya outside-in.
Dia menjelaskan, banking tomorrow dilihat sebagai sistem lebih baik di mana kita bisa melihat bahwa penting untuk memikirkan bagaimana para nasabah dan para karyawan bank ini memiliki ekspektasi dari sisi layanan. Dari situ bank bisa bekerja mundur.
“Dalam artian dari situ kita bisa memahami kebutuhan mereka seperti apa, lalu nantinya kita akan bisa working backwards untuk membentuk lebih baik seperti apa core yang harusnya diciptakan, dan seperti apa sistem yang lebih baik untuk bisa disampaikan dan untuk bisa dimanfaatkan yang memiliki sentris kepada pelanggan,” ujarnya.
Ketiga, bank hari ini mencoba untuk membangun semuanya sendiri. Menurut Dutta, daripada fokus pada produk dan servis bank, mereka sedang mencoba menjadi perusahaan teknologi.
Dia menyatakan Backbase tidak mengatakan bahwa itu buruk, tetapi masalahnya ketika bank mencoba untuk membangun semua hal ini, mereka memiliki visi yang besar, yakni tekfin yang inovatif, pengalaman omnichannel, digital everything, dan fitur pembeda.
Dutta menyampaikan, bank mungkin tidak menyadari dan mungkin menyadari saat mereka memulai membangun. Mereka, menurut dia, juga menyadari bahwa ada banyak hal yang mereka tidak lihat pada hari pertama.
Contohnya, interaksi pihak ketiga, proses pengiriman, utang teknis, infrastruktur, dan lain sebagainya. “Apakah ini sesuatu yang harus difokuskan oleh bank atau mereka harus fokus ke sesuatu yang lain yang akan berbeda? Dan ini mungkin adalah masalah terbesar yang dihadapi bank hari ini,” kata Dutta.
Pertanyaan besarnya adalah apakah layanan perbankan tersebut dapat memenuhi kebutuhan nasabah.RIDDHI DUTTA, Regional Vice President Asia, Backbase.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Beda Kejahatan Siber Perbankan di Indonesia dan Luar Negeri
Kasus yang terjadi di Indonesia adalah 99,9 persen karena social engineering.
SELENGKAPNYABank Indonesia Kenakan Biaya Layanan QRIS
Biaya layanan QRIS sebesar 0,3 persen bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP).
SELENGKAPNYAMengukur Kinerja Green Banking Berdasarkan Maqashid Syariah
Green banking dalam perspektif Islam memiliki tujuan kemaslahatan bagi umat manusia
SELENGKAPNYA