Dunia Islam
Peradaban Islam Mengenalkan Kertas kepada Eropa
Orang-orang Eropa mulai mengenal kertas sebagai alas tulis berkat peradaban Islam.
Ziauddin Sardar dalam artikelnya, “Paper, Printing and Compact Disks: The Making and Unmaking of Islamic Culture” memaparkan, kesudahan Perang Talas pada 751 M membuka lembar baru dalam sejarah Islam. Sebab, tak sedikit orang China yang menjadi tawanan perang ternyata ahli dalam membuat kertas.
Sebelumnya, orang-orang Arab telah mengenal beberapa wujud alas tulisan atau naskah, semisal papirus atau kulit hewan yang telah disamak. Bangsa tempatan di Asia Tengah juga sudah memiliki kerajinan membuat naskah. Akan tetapi, penemuan bangsa China menghadirkan inovasi yang sama sekali baru. Kertas buatan mereka lebih halus dan tahan lama bila dibandingkan yang lain-lain.
Segera setelah Perang Talas usai, penguasa Muslim memfasilitasi para tawanan yang ahli teknik membuat kertas itu. Dari mereka, orang Islam belajar membuat kertas dengan hasil yang lebih baik.
Dari Samarkand, kerajinan membuat kertas tak bisa langsung diubah menjadi industri. Sebab, tidak banyak bahan pembuatan kertas yang dapat diperoleh di daerah tersebut. Misalnya, kayu murbai (mulberry) atau cendana (sandalwood). Untuk mengatasinya, para pengrajin Muslim memilih bahan-bahan pengganti, seperti kain linen atau katun. Dengan begitu, produksi kertas secara besar-besaran menjadi lebih memungkinkan terjadi.
Pada masa pemerintahan Sultan Harun al-Rasyid, untuk pertama kalinya Baghdad memiliki pabrik kertas. Beberapa waktu kemudian, pabrik-pabrik kertas bermunculan di berbagai kota Islam, semisal Damaskus, Tiberias, Tripoli, Kairo, Fez, dan Sisilia. Sejak saat itu, para penguasa Muslim tak lagi menggunakan perkamen untuk mencatat administrasi negara. Mereka telah memanfaatkan kertas buatan pabrik-pabrik sebagai alas tulis utama.
Memasuki abad ke-11 M, penggunaan kertas tampak begitu umum di seantero dunia Islam. Seorang pengelana Persia pada tahun 1040 menulis pengalamannya saat sedang berjalan-jalan di pasar Kairo, Mesir. Dengan nada kagum dan sekaligus heran, ia menyaksikan, “Para penjual sayur, buah dan bumbu dapur di sana (Kairo) membungkus dagangannya dengan kertas.”
Sampai di Eropa
Butuh waktu ratusan tahun lamanya sebelum teknologi pembuatan kertas merambah Eropa. Pada 1276, untuk pertama kalinya Barat—yakni wilayah Benua Biru yang dikuasai rezim non-Muslim—memiliki sebuah pabrik kertas. Pabrik itu didirikan di Fabriano, Italia. Berikutnya, pada 1390 pabrik kertas juga dibangun di Nuremberg, Jerman. Namun, geliat penggunaan kertas di negeri-negeri Kristen masa itu berlangsung agak lambat bila dibandingkan dengan dunia Islam. Sampai-sampai, pada masa itu suatu adagium cukup terkenal: “Papirus Mesir bagi orang-orang Barat (Eropa) adalah seperti kertas Samarkand bagi orang-orang Timur (Asia).”
Munculnya industri kertas di negeri-negeri Muslim secara otomatis mendorong kemajuan literasi masyarakat setempat. Tolok ukurnya, jumlah perpustakaan yang tumbuh subur di seantero kerajaan-kerajaan Islam.
Keadaan itu bahkan sudah terdeteksi 200 tahun sebelum pabrik kertas pertama di Fabriano atau pula Nuremberg. Ambil contoh, Bait al-Hikmah di Baghdad pada masa Sultan Harun al-Rasyid. Tak kurang dari satu juta buku—bukan perkamen atau papirus—ada di sana. Pada 891, seorang pengelana mencatat ada lebih dari 100 perpustakaan umum di Kota Seribu Satu Malam saja. Kota kecil semacam Najaf malahan punya rumah baca dengan koleksi 40 ribu buku.
Pada abad ke-10, Sultan al-Hakim dari Kordoba, Andalusia, punya koleksi pribadi sebanyak 400 ribu buku. Astronom Muslim asal Persia, Nashruddin alTusi (lahir 1201) punya 400 ribu buku. Sultan al-Aziz dari Dinasti Fatimiyyah punya 1,6 juta buku. Sebanyak 18 ribu di antaranya membahas tentang matematika dan filsafat.
Bandingkanlah angka-angka itu dengan kepemilikan buku Karel yang Agung (Charlemagne), yang wilayah kekuasaannya saat itu meliputi seluruh Prancis dan sebagian Italia. Roger Garaudy dalam buku Promesses de l'Islam mengatakan, tokoh bangsa Frankis itu “hanya” memiliki 900 buku. Dan, seluruh Eropa (Kristen) waktu itu menggelarinya sebagai “Penguasa yang pandai.” Bila demikian, apalagi para raja Muslim yang memiliki jauh lebih banyak buku? Bukankah mereka secara faktual lebih pandai daripada sang "Penguasa yang pandai"?
Hedi Ben Aicha dalam artikelnya yang terbit di The Journal of Library History, menggambarkan besarnya pengaruh literasi Islam di Benua Eropa pada abad pertengahan. Spanyol dan Sisilia (Italia Selatan kini) berturut-turut menjadi mercusuar peradaban berkat keberpihakan para penguasa Muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kosmopolitanisme.
Rezim Islam memberlakukan kebijakan yang penuh toleransi terhadap setiap kalangan non-Muslim. Alhasil, di Benua Biru cukup banyak intelektual Kristen yang tumbuh menjadi pencinta kebudayaan Arab. Alvaro, seorang penganut Kristen pada abad kesembilan, mengeluhkan banyaknya orang Kristen di Andalusia yang lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai orang Arab, alih-alih Eropa.
“Banyak rekanku sesama penganut agama (Kristen) yang membaca puisi dan cerita-cerita dari Arab, mempelajari agamanya (Nabi) Muhammad dan pemikir-pemikir (Muslim). Semua itu bukan untuk mengkritisi (Islam), melainkan mempelajari bagaimana mereka dapat mengekspresikan diri dengan lebih elegan lagi seturut dengan kebudayaan Arab. Maka, di mana lagi kita sekarang mendapati seseorang membaca teks-teks berbahasa Latin tentang kitab suci (Kristen)?” tulis Alvaro.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Sejarah Kertas: Dari China Hingga Era Islam
Berkat Islam, pembuatan kertas yang bermula di China menjadi kian populer dan bahkan mendunia.
SELENGKAPNYAMenilik Sejarah Kertas
Kertas merupakan salah satu sumbangsih peradaban China bagi dunia.
SELENGKAPNYAPKB Ultimatum Gerindra
Sampai saat ini PKB masih menyatakan bersama Gerindra dalam KKIR.
SELENGKAPNYA