Kitab
Membedah Konsep Rezeki nan Indah
Melalui karyanya ini, Syekh Muhammad Mutawwalli Syarawi menjabarkan perihal hakikat rezeki
Sang pemegang kendali dan pembagi rezeki bagi umat manusia hanyalah Allah SWT. Sang Khalik telah menentukan rezeki setiap anak Adam yang hidup di muka bumi ini. Ada yang mendapat limpahan rezeki, tetapi banyak pula yang pundi-pundi rezekinya terbatas.
Kendati setiap orang selalu berharap dan berdoa agar senantiasa mendapat rezeki yang melimpah. Namun, tak ada yang bisa mengetahui kepastian mengenai rezeki. Soal kapan, di mana, dan jumlah rezeki yang akan diperoleh berada di luar batas kemampuan akal dan rasio manusia.
Upaya manusia untuk mengais rezeki pun sangat beragam. Ada orang yang bisa meraup jutaan atau bahkan miliaran rupiah dalam sekali tanda tangan.
Namun, banyak pula orang yang bekerja berat hanya mendapat belasan hingga puluhan ribu. Malah, tak sedikit orang yang pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.
Di balik setiap rahasia pasti terkandung hikmah. Syekh Muhammad Mutawwalli Sya'rawi, seorang tokoh yang piawai menafsirkan Alquran, dengan analisisnya yang tajam mencoba menuliskan hasil pemikiran dan renungannya terhadap satu dimensi utama manusia, yakni mencari rezeki.
Sang syekh menjabarkan hal ihwal rezeki yang kerap ditanyakan banyak pihak. Menteri Urusan Wakaf dan Al-Azhar Republik Arab Mesir periode 1976-1978 itu menulis kitab berjudul Tilka Hiya al-Arzaq. Sebuah risalah sederhana yang berusaha menguak hikmah di balik sejumlah fenomena menarik soal pencarian rezeki.
Tokoh kelahiran Daqadus, sebuah desa di Provinsi Daqahlia, Mesir, ini memulai kitabnya dengan deretan pertanyaan yang mungkin kerap dilontarkan tiap orang: mengapa manusia ditakdirkan memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda? Bukankah jika berkehendak, Allah pasti jadikan mereka dengan kapasitas dan kualitas diri yang sama?
Dengan adanya perbedaan, umat manusia bisa saling melengkapi satu sama lain.
Menurut Syekh Sya'rawi, di balik perbedaan tersebut ada manfaat dan hikmahnya. Allah SWT hendak menunjukkan dengan adanya perbedaan, umat manusia bisa saling melengkapi satu sama lain, sebagaimana malam yang membutuhkan siang, ujarnya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Lail (92) ayat 1-4: "Demi malam, apabila menutupi. Demi siang apabila terang-benderang. Demi penciptaan laki-laki dan perempuan. Sungguh usahamu memang beraneka macam."
Menurut Syekh Sya'rawi, ayat itu menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan, lemah, dan kuat, mempunyai tugas dan peranan masing-masing. Adapun ayat keempat surah al-Lail, kata Syekh Sya'rawi, menunjukkan betapa usaha setiap manusia dalam menjemput rezeki amat beraneka ragam.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika kemampuan tersebut sama rata, tak akan ada lagi orang yang mau berprofesi sebagai pembantu, guru, tukang kebun, petani, ataupun nelayan. Syekh Sya'rawi menegaskan, dengan perbedaan itulah manusia saling melengkapi dan menguatkan.
Bersifat luas
Dalam perspektif Islam, menurut Syekh Sya'rawi, rezeki tak selalu identik dengan harta kekayaan. Rezeki Allah sangat luas. Prinsip ini kerap luput dari pemahaman umat. Mereka mengira Allah hanya memberi rezeki berupa uang, emas, perak, atau jenis kekayaan lainnya. Padahal, kata dia, hakikat rezeki itu amat luas.
Segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia dinamakan rezeki. Ilmu, akhlak, rupa yang cantik dan tampan, atau pangkat, semuanya itu dikategorikan sebagai rezeki yang diberikan oleh Allah, papar alumnus Universitas Al-Azhar itu.
Menurut dia, rezeki bisa dibagi ke dalam dua kutub besar: rezeki halal dan haram. Perbedaan antara keduanya sangat jelas. Rezeki haram manfaatnya tidak bertahan lama, akan habis dalam waktu sekejap. Sedangkan, rezeki yang halal, sekalipun manfaatnya sedikit di mata sebagian orang, tetapi sejatinya harta itu terus bertambah keberkahannya.
Syekh Sya'rawi mengajak umat Islam untuk merenungkan makna ayat ke-71 dari surah an-Nahl.
Syekh Sya'rawi mengajak umat Islam untuk merenungkan makna ayat ke-71 dari surah an-Nahl. Arti ayat itu: "Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki, sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?"
Menurut figur yang pernah dinobatkan sebagai anggota komite tetap untuk konferensi keajaiban ilmu dalam Alquran dan Sunah Nabawi Organisasi Konferensi Islam itu, perbedaan tersebut dimaksudkan agar rezeki dapat mengalir ke individu dengan cara yang berbeda-beda.
Jika terjadi perbedaan rezeki, Allah akan memberikan haknya dalam bentuk yang lain. Hal ini karena, sekali lagi, rezeki bukan hanya uang semata, tetapi rezeki adalah segala sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia.
Karena itu, bentuk rezeki yang diberikan Allah tidak terbatas. "Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS al-Baqarah [2]: 212).
Dalam ketentuan dan hitungan matematis, besaran output akan ditentukan oleh besaran input. Tetapi, itu tidak berlaku dalam konteks rezeki yang Allah berikan; Allah tidak memberikan batas. Bahkan, tak jarang Allah memberi rezeki di luar batas usaha yang telah ditempuh oleh seorang hamba—apa yang diperoleh bisa lebih banyak dari yang dikira dan telah diusahakan.
Sebagian Muslim lalu bersikap sinis dan terheran dengan rezeki lebih yang diterima oleh orang kafir. Tetapi, mengapa kaum Muslim itu tidak mencoba menghitung betapa besarnya nilai kebajikan yang Allah berikan kepada mereka?
Belum lagi rezeki berupa rasa nyaman yang dirasakan oleh hati. Terlebih jika mereka mengetahui bahwa hari pembalasan pasti akan tiba. Allah akan memberi balasan sesuai dengan keyakinan dan amal yang telah diperbuat selama di dunia (QS an-Nahl [16]: 96-97).
Pentingnya qanaah
Menurut Syekh, di sinilah umat Islam perlu bersikap qanaah, menerima bagian yang telah diterima. Hidup akan tambah bermakna dengan sikap qanaah terhadap rezeki yang halal. Hendaknya menjaga etika jika melihat orang lain diberi rezeki lebih. Tidak ada yang tahu apa hikmah di balik pemberian yang berlimpah itu.
Tetapi, kata dia, perlu diperhatikan bahwa rezeki adalah ujian. Rezeki yang dianugerahkan tak boleh digunakan sebagai sarana untuk saling menyanjung atau menghina satu sama lain.
Kemuliaan bukan terdapat pada bertambahnya rezeki. Kemuliaan itu terletak pada sejauh mana ia mampu memanfaatkan sebaik-baiknya dalam pendayagunaan rezeki itu, ujar Syekh Sya'rawi. Minimnya rezeki yang diperoleh bukan berarti seseorang rendah dan hina.
Maka, tenanglah wahai mereka kaum miskin dhuafa. Allah tak akan menelantarkan hamba-Nya tanpa rezeki sedikit pun. Dan, bersikaplah hati-hati bagi mereka yang berkecukupan dan lebih rezekinya. Apa yang mereka peroleh adalah ajang ujian untuk mereka, tuturnya mengingatkan.
Simaklah surah al-Fajr (89): 14-15. "Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Dia akan berkata, 'Tuhanku telah memuliakanku.' Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata, 'Tuhanku menghinakanku'."
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Teladan Khusyuknya Shalat
Tokoh dari generasi tabiin ini tetap bisa shalat dengan khusyuk walau keadaan mencekam.
SELENGKAPNYATitik Balik Kehidupan Sang Musisi
Yusuf Islam alias Cat Stevens menemukan hidayah Illahi sesudah membaca terjemahan Alquran.
SELENGKAPNYASDN Ngrojo, Kulon Progo Ditutup
Saat ditutup sekolah ini hanya memiliki 9 orang siswa dan 6 orang guru.
SELENGKAPNYA