Refleksi
Rihlah Makkiyah
Nusantara juga memiliki warisan periwayatan perjalanan orang naik haji.
Oleh AZYUMARDI AZRA
Perjalanan menunaikan ibadah haji sering disebut dalam literatur sebagai rihlah mubarakah, perjalanan yang penuh berkah. Karena, ibadah haji itu sendiri berpusat di Makkah al-Mukarramah, maka perjalanan ke sana sering juga disebut sebagai rihlah Makkiyah, perjalanan [ke] Makkah.
Dan kalau perjalanan itu, juga mencakup Madinah, Jeddah, dan tempat-tempat bersejarah lainnya di kawasan tersebut, maka disebut rihlah Hijaziyyah, perjalanan (di) Tanah Hijaz.
Perjalanan ke Makkah, khususnya untuk menunaikan ibadah haji (pilgrimage), lebih daripada sekadar 'perjalanan fisik'; tetapi juga perjalanan spiritual. Meminjam kerangka Victor Turner dalam bukunya The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (1969), sejak masa persiapan melakukan pilgrimage, para jamaah (pilgrims) mengalami peningkatan rasa kejamaahan (komunitas) untuk selanjutnya mencapai tingkat liminality yaitu transisi kerohanian lebih tinggi begitu menyelesaikan seluruh rangkaian ritual --dalam hal ini ibadah haji-- dan berhak menyandang gelar 'haji' atau 'hajjah'.
Perjalanan ke Makkah, khususnya untuk menunaikan ibadah haji (pilgrimage), lebih daripada sekadar 'perjalanan fisik'.
Secara teoritis, para haji dan hajjah ini secara spiritual telah mencapai salah satu tahapan, yang di dalam istilah tasawuf maqam yang tinggi, yang dapat berkelanjutan pada masa-masa pascaibadah haji.
Tetapi, sering kita lihat, terdapat di antara mereka yang telah menunaikan ibadah haji, hanya memperoleh peningkatan status sosial daripada ketinggian spiritual yang aktual, khususnya berupa kesalehan sosial --tidak sekadar 'kesalehan personal'. Menjadi 'pak haji' atau 'ibu hajjah' sejak dulu sampai sekarang tetap masih menjadi 'gengsi sosial-keagamaan'.
Karena, itulah sejak zaman 'tempo doeloe' telah muncul berbagai kritik tentang kurang aktualnya dampak ibadah haji kepada sebagian jamaah setelah mereka kembali ke Tanah Air. Bahkan, ada suara-suara yang menganggap naik haji --dan bahkan juga umrah Ramadhan yang semakin marak-- pada masa superjet sekarang ini cenderung menjadi mode dan fashion, atau bagian dari gaya hidup Muslim kontemporer. Mungkin anggapan ini berlebihan; tetapi sedikitnya bisa jadi renungan.
Pernyataan-pernyataan seperti ini, bernada meremehkan dampak keagamaan ibadah haji bagi kaum Muslimin, termasuk yang berasal dari Indonesia.
Lagi pula, kritik seperti itu bukanlah baru. Beberapa karya akademis, misalnya, Jan Schmidt, Through the Legation of Window 1976-1926: Four Essays on Dutch, Dutch-Indian and Ottoman History (1992), menyatakan bahwa bagi banyak jamaah haji dari Nusantara di atas segalanya lebih merupakan 'sebuah mekanisme untuk turisme'. Senada dengan itu Amin Rihani, seorang Amerika asal Syria, seperti dikutip FE Peters dalam The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and Holy Places (1994) menyatakan bahwa "para pembimbing dan agen perjalanan haji lebih membimbing turis daripada jamaah haji".
Pernyataan-pernyataan seperti ini, bernada meremehkan dampak keagamaan ibadah haji bagi kaum Muslimin, termasuk yang berasal dari Indonesia. Tidak perlu diragukan lagi, ibadah haji, seperti dicatat sarjana lain seperti C Snouck Hurgronje dalam Mekka in the Latter Part of the 19th Century (1931), dan terakhir MF Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Wind (2003), ibadah haji dan jamaah haji yang kembali ke Indonesia telah menjadi faktor sangat penting bagi 'kebangkitan Islam' di kawasan ini.
Banyak para haji dan hajjah ini bukan hanya semakin religius, tetapi bahkan kian aktif dalam berbagai lembaga Islam; mereka mendirikan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, dan bahkan menggerakkan para pengikut tarekat untuk melakukan jihad melawan kekuasaan kolonial Belanda.
Karena itulah, ibadah haji dari tahun ke tahun semakin mapan menjadi ibadah belaka.
Lebih jauh lagi, Laffan dalam penelitiannya yang menggunakan banyak sumber-sumber Arab menyimpulkan, bahwa rihlah Hijaziyyah yang dilakukan para jamaah haji ini sejak akhir abad ke-19 memiliki peranan penting bagi tumbuhnya rasa kebangsaan (sense of nationhood) di Indonesia. Kesimpulan ini merevisi berbagai teori tentang asal-muasal sense of nationhood yang mapan selama ini, yang mengaitkannya dengan kebangkitan nasionalisme di Cina atau nasionalisme Turki Muda pada awal abad ke-20.
Dampak ibadah haji pada dunia politik seperti itu, mungkin tidak lagi relevan pada masa kini. Karena itulah, ibadah haji dari tahun ke tahun semakin mapan menjadi ibadah belaka. Kecenderungan ini tak berarti tidak baik. Tetapi realitas itu, seyogianya membuat ibadah haji lebih bermakna sebagai ibadah, karena tidak ada lagi tarikan-tarikan dan agenda-agenda politik seperti di masa silam.
Di sinilah sebenarnya terletak ujian bagi para jamaah haji yang kembali ke Tanah Air; apakah mereka mampu melimpahkan makna dan hikmah ibadah haji yang telah mereka kerjakan ke dalam kehidupan aktual. Kalau tidak, apa yang sudah diamati sementara sarjana tadi betul-betul kenyataan, bahwa pergi haji lebih merupakan perjalanan turisme.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 20 Januari 2005. Prof Azyumardi (1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.