Mujadid
Perjalanan KH Ali Maksum Hingga Mengajar di Krapyak
KH Ali Maksum merupakan ulama legendaris yang mengabdikan ilmunya di Ponpes Krapyak, Yogyakarta.
Di antara banyak ulama Nusantara yang kharismatik adalah KH Ali Maksum. Figur yang ramah, egaliter, dan penuh empati ini lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada 2 Maret 1915. Ayahnya bernama KH Maksum Ahmad. Ibundanya adalah Nyai Hajjah Nuriyah, putri KH Zein. Nasab keluarga ini diketahui sampai pada sosok penyebar Islam di kota pesisir itu, Mbah Sambu alias Sayyid Abdurrohman Basayaiban. Keturunan ulama yang wafat pada akhir abad ke-17 itu telah merintis sejumlah pesantren penting di Pulau Jawa.
Pasangan Kiai Maksum dan istri dikaruniai 13 anak. Sayangnya, hanya lima orang di antaranya yang bertahan hidup hingga dewasa. Dikenal luas sebagai pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayat Lasem, KH Maksum juga bersahabat dengan ulama-ulama tradisionalis, semisal KH Hasyim Asy’arie, KH Wahab Chasbullah, dan KH Khalil Bangkalan. Belakangan, pada 1926 mereka merintis berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Ali kecil mengawali pendidikan Islam dari bapaknya sendiri di pesantren tersebut yang berdiri ketika usianya dua tahun. Tanda-tanda kecerdasan memang sudah tampak dari semangat belajarnya yang tinggi. Kiai Maksum menginginkan agar kelak putranya itu menjadi seorang alim, khususnya pada bidang fiqih. Dari al-Hidayat, anak 10 tahun itu kemudian menjadi santri Kiai Amir di Pekalongan, Jawa Tengah. Selanjutnya, dia hijrah ke Tremas, Pacitan, Jawa Timur.
Di sana, Ali berguru pada banyak alim ulama, terutama KH Dimyati Abdullah. Dia merupakan adik Syekh Mahfuzh at-Tarmasi, pakar ilmu hadits kelas dunia yang mengajar di Tanah Suci. Selagi kakaknya itu sibuk berkiprah di luar negeri, Kiai Dimyati bertanggung jawab pada kegiatan belajar-mengajar di Tremas. Tidak berlama-lama, para guru di sana mengakui ketekunan dan otak Ali yang cemerlang. Oleh karena itu, pemuda ini ditunjuk sebagai asisten pengajar yang bertugas menerangkan materi pelajaran kepada murid yang sebaya atau lebih rendah.
Tiga tahun pertama belajar di Tremas, hampir tidak pernah dia pulang ke kampung halaman karena begitu larut dalam menuntut ilmu-ilmu agama. Remaja ini terkenal amat menggemari aktivitas membaca. Pelbagai kitab didalaminya dengan tekun, mulai dari yang klasik—kitab kuning—hingga kontemporer. Mengutip pemaparan Mustolehudin dan Muawanah dalam artikelnya, “Pemikiran Pendidikan KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta” (2018), di antara buku-buku yang dibacanya adalah Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Alfiyah karya Ibnu Malik, Shahih Bukhari. Selain itu, ada pula Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, Majmu al-Fatawa al-Kubra karya Ibnu Taymiyyah, dan pelbagai karangan Ibnul Qayim.
Ali bersahabat dengan banyak kawan, termasuk Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati, dan Gus Muhammad putra Syekh Mahfuzh.
Ali bersahabat dengan banyak kawan, termasuk Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati, dan Gus Muhammad putra Syekh Mahfuzh. Mereka juga menjadi tempatnya bertukar pikiran untuk membahas macam-macam topik keilmuan. Oleh karena sering berdiskusi, dia menjadi tertarik pada cara pendidikan berjenjang alias madrasi. Kelak, metode itu dapat diterapkannya di Pesantren al-Hidayat.
Total delapan tahun lamanya dia menuntut ilmu di Tremas. Saat berusia 19 tahun, Ali kembali ke rumah. Dia ikut membantu ayahnya mengajar di Pesantren al-Hidayat. Di sela-sela kesibukannya, dia juga menyempatkan diri untuk menulis rupa-rupa karangan tentang dakwah dan pendidikan.
Nama baik Ali ternyata sampai di telinga ulama besar asal Krapyak, Yogyakarta. Dialah KH Munawir, yang memang sudah bersahabat lama dengan Kiai Maksum. Maka diaturlah pernikahan antara anak-anak mereka. Ali menikah dengan Hasyimah binti Kiai Munawir pada 1938. Beberapa hari setelah prosesi bahagia itu, Ali menerima tawaran seorang saudagar sukses bernama Haji Djunaid. Akhirnya, dia memeroleh kesempatan untuk beribadah haji sekaligus mukim di Makkah dengan dana awal dari pedagang asal Kauman, Yogyakarta, itu. Pasangan yang baru saja menikah ini rela berpisah jarak untuk sementara waktu.
Dua tahun lamanya Ali tinggal di Tanah Suci. Dua kali pula dia menunaikan haji. Di antara guru-gurunya selama bertungkus lumus menuntut ilmu di Masjidil Haram adalah Sayyid Alwi al-Maliki al-Hasani, Syekh Hamid Mannan, dan Syekh Umar Hamdan. Sekitar 1940, pria 25 tahun itu pulang ke Tanah Air dengan membawa segudang pengalaman dan kepandaian yang mumpuni.
Kiai Maksum sesungguhnya sudah lama berniat agar putranya itu ikut mengembangkan Pondok Pesantren al-Hidayat. Akan tetapi, pesantren yang diasuh keluarga besan ternyata lebih memerlukan dukungan.
Setibanya di Lasem, ada sedikit perbedaan pendapat. Kiai Maksum sesungguhnya sudah lama berniat agar putranya itu ikut mengembangkan Pondok Pesantren al-Hidayat. Akan tetapi, pesantren yang diasuh keluarga besan ternyata lebih memerlukan dukungan. Apalagi setelah KH Munawir berpulang ke rahmatullah pada 6 Juni 1942. Para anak dan menantu almarhum tiga kali mendatangi Lasem untuk meminta izin Kiai Maksum agar anaknya yang belum lama pulang dari menuntut ilmu di Tanah Suci berkiprah di sana. Akhirnya, ayahanda Kiai Ali itu mengizinkan anaknya untuk ikut berjuang bersama-sama dengan KH Raden Abdullah Affandi Munawwir dan KH Raden Abdul Qodir Munawwir membesarkan Pesantren Krapyak.
Kalau melihat peta, Krapyak terletak segaris dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta dari arah selatan. Lokasi pesantren ini berdekatan dengan Panggung Krapyak, yakni bangunan serupa benteng yang biasa dipakai raja-raja Mataram tempo dulu untuk tempat mengintai ketika berburu binatang. Memang, dahulunya daerah sekitar Krapyak tergolong liar dan sangat jauh dari kesan islami. Namun, sejak pesantren itu berdiri pada 1911, warga setempat mulai tertarik untuk ikut mengaji Alquran serta meninggalkan segala maksiat yang ada. Para kiai menjadi panutan. Seluruh elemen masyarakat menaruh hormat padanya.
Dia (KH Ali Maksum) terkenal sangat tegas dalam mendidik santri-santri.
Di Pesantren Krapyak, KH Ali Maksum dipercaya sebagai pengajar kitab kuning. Dia terkenal sangat tegas dalam mendidik santri-santri. Mereka yang ketahuan tidak serius dalam belajar akan dimarahinya, terutama pada saat sorogan, yakni ketika setiap santri tampil membaca kitab di hadapan kiai. Akan tetapi, luapan amarah itu tidak lain ungkapan rasa sayang seorang guru kepada murid. Pada dasarnya, Kiai Ali tidak ingin santri-santrinya menyerah sebelum berusaha semaksimal mungkin. Caranya mendidik membuatnya begitu dicintai.
Hingga akhirnya, sang kiai menjadi sosok yang legendaris di ponpes tersebut. Teladan yang diberikannya terus menginspirasi para santri, bahkan hingga saat ini.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Menuju Pendidikan yang Berkualitas
Negara yang berkualitas lahir dari pendidikan yang berkualitas dan SDM yang tinggi.
SELENGKAPNYAAlumnus Gontor, Jembatan Perdamaian di Mancanegara
KH Mohammad Tidjani Djauhari turut dalam tim rekonsiliasi di Myanmar dan Bosnia.
SELENGKAPNYAPara Pencuri Buku
Di negeri kita, penghargaan atas buku sebagai karya intelektual belum lazim.
SELENGKAPNYA