
Tema Utama
Sang Arsitek Kebanggaan Utsmani
Arsitek utama Kekhalifahan Utsmani ini memulai kiprahnya di militer Janissary.
Sejarah gemilang Turki Utsmaniyah ditandai pendirian banyak bangunan masyhur. Miman Sinan adalah perancang di baliknya. Karya-karyanya terus menginspirasi.
Rihlah Karier Mimar Sinan
Kejayaan Turki Utsmaniyah mewujud dalam banyak legasi. Di antaranya adalah berbagai bangunan monumental yang bertebaran di kota-kota, semisal Istanbul (Konstantinopel), Edirne, Bursa, dan lain-lain. Mayoritasnya merupakan masjid yang berfungsi baik hingga saat ini, sebagai tempat ibadah maupun destinasi wisata islami.
Dalam sejarahnya, Kekhalifahan Utsmaniyah memiliki para arsitek yang visioner. Yang terkemuka di antaranya adalah Mimar Sinan. Tokoh kelahiran Agirnas, Anatolia tengah, itu merupakan kepala juru rancang bangunan (mimar) Turki pada abad ke-16 M.
Di sepanjang kariernya, ia bertanggung jawab atas pembangunan lebih dari 300 struktur utama. Beberapa di antaranya adalah Masjid Raya Sulaimaniyah, Masjid Raya Selimiyah, Jembatan Mehmed Pasa Sokolovic, dan Hagia Sophia Hurrem Sultan. Sang mimar pun mencetak banyak anak didik. Mereka di kemudian hari menjadi figur-figur penting dalam dunia arsitektur.

Profil mengenai Mimar Sinan umumnya mengandalkan biografi yang ditulis Sai Mustafa Celebi, yakni Tezkiretul-Bunyan atau Tezkiretul-Ebniye. Penyair itu pun merupakan sahabatnya sejak masih kanak-kanak. Menurut catatan Mustafa Celebi, arsitek kebanggaan Utsmaniyah ini lahir pada 1489 M.
Sayang, catatan itu tidak menegaskan latar kultural keluarga Sinan. Menurut penelitian Profesor Reha Gunay, tokoh tersebut lahir dengan nama Joseph. Dari kedua orang tuanya, ia mewarisi darah Armenia dan Yunani.
Ayahnya merupakan seorang tukang batu (mason). Karena itu, sejak kecil Sinan telah mengakrabi dunia konstruksi. Bahkan, saat berusia remaja dirinya membantu bapaknya sebagai tukang kayu di berbagai proyek warga.
Saat berusia 20 tahun, Sinan berencana mengikuti Devsirme. Program itu adalah semacam perekrutan calon-calon tentara dari kalangan pemuda non-Muslim di tanah taklukan, khususnya Semenanjung Balkan.
Mereka yang lolos seleksi akan berhak menjalani jenjang pendidikan militer. Pada akhirnya, tiap alumni Devsirme yang potensial menjadi anggota baru pelbagai korps angkatan bersenjata, termasuk Yaniceri atau Janissary.
Seperti umumnya anak-anak muda Balkan ketika itu, Sinan pun mengimpikan mobilitas sosial.
Seperti umumnya anak-anak muda Balkan ketika itu, Sinan pun mengimpikan mobilitas sosial. Dengan menjadi Janissary, harapannya, tingkat penghidupan diri dan keluarganya bakal terangkat. Lebih dari itu, potensi yang dimilikinya pun dapat terealisasi secara maksimal dan memberikan dampak seluas-luasnya.
Karena itu, ia turut serta dalam proses Devsirme. Dengan jerih payah, Sinan pun dapat menunjukkan keandalannya, khususnya dalam pembuatan konstruksi-konstruksi. Dalam usia semuda itu, dirinya mampu merancang dan membangun jalan, jembatan, atau barak-barak tentara.
Saat berumur 24 tahun, Sinan diterima sebagai anggota Janissary. Sejatinya, seorang korps “Angkatan Baru”—demikian arti harfiahnya—memiliki tugas penting, yakni menjaga keselamatan sultan.
Bagaimanapun, arsitek Muslim tersebut cenderung menerima tugas-tugas dalam bidang pembangunan, khususnya yang menyasar infrastruktur militer. Ia pun dikirim ke berbagai daerah, seturut dengan misi-misi penaklukan yang dijalankan Utsmaniyah kala itu.

Alumnus Madrasah Ibrahim Pasha itu pernah bergabung dalam pasukan yang dikerahkan Sultan Selim I ke Rhodesia. Pada 1520, terjadi peralihan kekuasaan dari Selim ke putranya, Sulaiman al-Qanuni. Sejak saat itu, pengerahan bala tentara Utsmaniyah kian sering terjadi.
Pada era Sultan Sulaiman, Sinan sempat berangkat ke Balkan guna turut serta dalam Perang Mohac. Pertempuran yang pecah pada Agustus 1526 itu memperhadapkan antara pasukan Muslimin dan Kerajaan Hungaria. Walau unggul secara persenjataan dan taktik, Utsmaniyah pun menghadapi kendala, yakni medan yang sukar dikuasai.
Daerah yang diduduki pasukan Turki di Mohac adalah tanah berawa. Untuk mencapai garis pertahanan musuh, mereka “terhalang” oleh bentangan Sungai Prut. Aliran airnya cukup deras sehingga adanya jembatan menjadi sebuah kebutuhan yang niscaya.
Untuk mengurus proyek pembangunan jembatan itu, Sultan sempat mengirimkan arsitek negara yang bernama Lutfi Pasha. Namun, konstruksi yang dibuat sang arsitek terbukti beberapa kali tidak kuat menahan beban. Akhirnya, Sinan ditunjuk sang khalifah untuk mengambil alih tugas tersebut.
Berangkatlah lelaki berdarah Armenia itu ke lokasi. Sesampainya di sana, Sinan mula-mula mengobservasi kondisi lapangan. Kemudian, ia merancang konstruksi yang sesuai dengan mobilitas pasukan Utsmaniyah dan sekaligus kontur tanah setempat. Dalam waktu dua pekan, hasil kerjanya tahan uji sehingga langsung difungsikan.
Sinan merancang konstruksi yang sesuai dengan mobilitas pasukan Utsmaniyah dan sekaligus kontur tanah setempat.
Sesudah kesuksesan misi di Sungai Prut, reputasinya kian bersinar. Sinan menjadi kian dekat dengan Sultan Sulaiman. Usai kemenangan Utsmaniyah di Mohac, sang khalifah memimpin langsung ribuan prajuritnya untuk berderap ke Wina, Austria.
Pengepungan Wina berlangsung pada 1529 M. Selama beberapa pekan, pasukan Muslimin mendirikan tenda-tenda di luar benteng kota tersebut. Dalam misi militer ini, Sinan pun membuktikan dirinya sebagai pembangun konstruksi kamp yang piawai.
Wina tetap bertahan di tengah gempuran Utsmaniyah. Sesudah itu, Sulaiman mengerahkan pasukannya ke arah selatan negeri. Di perbatasan Persia, Bani Safavid mulai menebar gangguan. Pada 1535 M, Sulaiman pun menggerakkan pasukannya ke sana. Sinan ikut dalam rombongan ekspedisi militer ini.
Sesampainya di sana, lagi-lagi bala tentara Utsmaniyah menghadapi tantangan kontur medan. Kali ini, mereka mesti menyeberangi Danau Van untuk mencapai basis pertahanan lawan. Sinan pun turut serta dalam tim yang membangun kapal-kapal perang dan artileri. Ia bertugas sebagai perancang alat-alat pertempuran itu.
Memasuki tahun 1539 M, Lutfi Pasha diangkat menjadi perdana menteri. Sinan lalu ditarik ke Konstantinopel untuk menduduki jabatan kepala Kantor Arsitek dan Desain Negara. Pada masa-masa di ibu kota itu, dirinya mulai memiliki sejumlah murid.
Di antara mereka adalah Sedefkar Mehmed Agha dan Hayrudin. Yang pertama itu di kemudian hari terkenal sebagai pembangun Masjid Sultan Ahmad. Adapun yang kedua masyhur karena merancang Jembatan Mostar (Stari Most) di Bosnia dan belakangan menjadi mimar penerus sang guru.
Kepada murid-muridnya, Mimar Sinan mengajarkan pentingnya presisi dan kepekaan estetis dalam berkarya.
Kepada murid-muridnya, Mimar Sinan mengajarkan pentingnya presisi dan kepekaan estetis dalam berkarya. Selain itu, seorang arsitek yang baik tidak akan berhenti belajar, di manapun dan kapan pun. Bahkan, dari puing-puing pun ilham dapat muncul.
“Saya melihat monumen sisa-sisa bangunan kuno. Dari setiap reruntuhan yang saya pelajari, saya menyerap banyak ilham,” kata Sinan menuturkan pengalamannya saat bertugas di Kairo, sebagaimana terekam dalam catatan Mustafa Cei Celebi.
Pengalaman selama hampir 50 tahun sebagai insinyur tentara membuat Sinan cenderung menggunakan pendekatan empiris, alih-alih teoretis, dalam berkarya. Berbagai sumber menyebutkan, sang mimar telah merancang tidak kurang dari 374 bangunan di seluruh wilayah Turki Utsmaniyah.
Angka itu mencakup 92 masjid raya, 52 masjid kecil, 55 madrasah, tujuh sekolah tahfiz, 20 kompleks permakaman (turbe), 17 dapur umum, dan tiga unit rumah sakit. Di samping itu, ia pun menyelesaikan sebanyak enam sistem irigasi, 10 jembaran, 48 pemandian umum, dan 36 bangunan istana kesultanan.
Menurut para sejarawan, sekurang-kurangnya ada tiga karya agung (masterpieces) Mimar Sinan yang menandakan perkembangan kariernya. Dua yang pertama berada di Istanbul, yakni Masjid Pangeran (Sehzade Camii) dan Masjid Raya Sulaimaniyah. Adapun yang terakhir ialah Masjid Selimiyah di Edirne—pusat pemerintahan Utsmaniyah sebelum penaklukan Konstantinopel oleh Mehmed II al-Fatih.
Keahliannya tidak hanya teruji dalam pembangunan masjid-masjid. Sinan pun menghasilkan desain unik untuk proyek-proyek pembangunan turbe. Misalnya, Turbe Sehzade Mehmed. Bangunan itu terkenal dengan dekorasi eksterior dan irisan kubahnya. Kemudian, Makam Rustem Pasha yang mengedepankan gaya arsitektur klasik.
Ada pula Makam Sultan Sulaiman yang berdenah segi delapan dengan kubah mendatar di atasnya. Bahkan, untuk kompleks kuburannya sendiri pun ia telah merancangnya. Makam Sinan terletak di sebelah timur laut area Masjid Raya Sulaimaniyah. Dilihat dari ketinggian, bentuknya menyerupai sebuah kompas raksasa.

Sebelum Sinan, gaya arsitektur bangunan-bangunan negara Utsmaniyah sangat pragmatis. Tiap konstruksi adalah pengulangan dari tipe sama yang lebih dahulu dibangun. Dengan perkataan lain, tiap arsitek negara cenderung “hanya” menerapkan template yang ada.
Sinan mengubah tradisi tersebut. Ia sangat ahli dalam memadukan aspek-aspek seni dan fungsionalisme. Contohnya ketika merancang jembatan. Yang terbesar adalah Jembatan Buyukcekmece yang panjangnya mencapai 635 meter. Konstruksi yang bernama lain Kanuni Sultan Sulaiman itu berada di Kota Istanbul, pada sisi Eropa.
Konon, saat proyek pengerjaan jembatan ini, air Danau Buyukcekmece dipompa keluar. Para pekerja pun mengumpulkan batu-batu hingga 40 ribu meter kubik sebagai bahan bangunan di lokasi.
Sinan ditugaskan untuk mengubah sirkulasi irigasi Konstantinopel hingga menjadi lebih efisien.
Sinan pun ditugaskan untuk mengubah sirkulasi irigasi Konstantinopel hingga menjadi lebih efisien. Untuk itu, ia membangun saluran air yang melengkung di beberapa titik dalam kota. Lengkungan Maglova di atas Sungai Alibey adalah salah satu contoh. Panjangnya mencapai 257 meter dengan tinggi 35 meter.
Sinan membawa inovasi bagi sesama perancang. Kebanyakan arsitek pada masa itu melihat pembangunan lebih sebagai perakitan bagian-bagian kompleks bangunan. Alhasil, mereka cenderung luput untuk “melihat” keseluruhan. Dampaknya, desain yang mereka buat sering kali boros penggunaan material dan jumlah tenaga kerja.
Sinan secara bertahap mengubah semua itu. Tidak mengherankan bila zaman yang di dalamnya ia berkiprah disebut sebagai Era Mimar Sinan. Sang inovator wafat dalam usia 99 tahun di Konstantinopel.
Arsitek Mimar Sinan dan Karya pada Tiap Era Utsmani
Mimar Sinan mengalami empat masa kepemimpinan khalifah Daulah Utsmaniyah.
SELENGKAPNYARefleksi Prof Haedar Nashir: Republika 22 Tahun Lalu
Republika berani bertajdid dan berijtihad, sekaligus berjihad jurnalisme ke era baru dunia digital.
SELENGKAPNYAMenjemput Sedekah
Bersegeralah dengan sedekah karena musibah tidak dapat melangkahi sedekah
SELENGKAPNYA