Kabar Utama
Hakim MA Tersangka Lagi
Total ada dua hakim agung dan tiga panitera pengganti di MA yang terjerat kasus dugaan suap.
JAKARTA – Rangkaian hakim di Mahkamah Agung (MA) yang terjerat perkara dugaan korupsi belum berhenti. Kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan hakim yustisial atau panitera pengganti, Edy Wibowo (EW), karena diduga menerima suap mencapai Rp 3,7 miliar dalam penanganan perkara di MA.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, kasus ini berawal dari gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Negeri (PN) Makasar yang diajukan oleh PT Mulya Husada Jaya terhadap Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar (SKM). Majelis hakim kemudian memutus bahwa Yayasan Rumah Sakit SKM dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Atas putusan tersebut, pihak Yayasan Rumah Sakit SKM lantas mengajukan upaya hukum kasasi ke MA. “Salah satu isi permohonannya agar putusan di tingkat pertama ditolak dan memutus Yayasan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit,” kata Firli di gedung KPK, Senin (19/12).
Firli melanjutkan, agar proses kasasi ini dikabulkan, diduga Ketua Yayasan Rumah Sakit SKM, Wahyudi Hardi, melakukan pendekatan dan komunikasi intens dengan PNS pada MA, yakni Muhajir Habibie (MH) dan Albasri (AB) sekitar Agustus 2022. Wahyudi meminta Muhajir dan Albasri untuk membantu dan memonitor serta mengawal proses kasasi tersebut yang diduga disertai adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang.
“Sebagai tanda jadi kesepakatan, diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp 3,7 miliar kepada EW yang menjabat hakim yustisial sekaligus panitera pengganti MA yang diterima melalui MH dan AB sebagai perwakilan sekaligus orang kepercayaannya,” kata Firli.
Dia menambahkan, serah terima uang itu diduga dilakukan selama proses kasasi masih berlangsung di MA. Pemberian uang ini diduga untuk mempengaruhi isi putusan. Detelah uang diberikan, maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan, yakni isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM dinyatakan tidak pailit.
Kasus yang menjerat Edy Wibowo merupakan pengembangan dari penangkapan Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati pada September 2022 lalu. Sudrajad diduga menerima uang suap sebesar 202 ribu dolar Singapura atau setara Rp 2,2 miliar untuk memenangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Semarang. Gugatan ini diajukan oleh dua Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto.
Selain Sudrajad, KPK juga menetapkan sembilan tersangka lainnya dalam kasus ini. Lima diantaranya merupakan pejabat dan staf di MA, yakni Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP); dua orang PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH); serta dua PNS MA, yaitu Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).
Kemudian, empat tersangka lainnya, yakni dua pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES); serta dua pihak swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Tak sampai disitu, KPK terus melakukan pengembangan penyidikan yang melibatkan pejabat di MA. Setelah menahan Sudrajad, KPK juga menetapkan Hakim Agung, Gazalba Saleh sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA pada awal Desember 2022.
Gazalba diduga melakukan pengondisian terhadap putusan kasasi Budiman Gandi Suparman selaku pengurus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana yang berkaitan dengan konflik di internal koperasi tersenut. Saat itu, Gazalba menjadi salah satu anggota majelis hakim yang ditunjuk untuk memutus perkara terdakwa Budiman. Dalam putusannya, Budiman dihukum pidana selama lima tahun.
Putusan ini didasari dengan adanya kesepakatan pemberian uang sebesar Rp 2,2 miliar atau 202 ribu dolar Singapura. Diduga pemberian itu dilakukan pengacara koperasi Intidana, Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) dengan menggunakan uang yang berasal dari Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Heryanto Tanaka.
YP dan ES menyerahkan uang pengurusan perkara di MA tersebut secara tunai sejumlah sekitar 202 ribu dolar Singapura melalui PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria. KPK masih mendalami soal pembagian uang tersebut.
Selain Gazalba, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya. Mereka adalah Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti pada Kamar Pidana MA RI dan asisten Gazalba, Prasetio Nugroho (PN); dan staf Gazalba, Redhy Novarisza (RN). Dengan demikian, jumlah tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA sebanyak 14 orang.
Komisi Yudisial (KY) angkat bicara mengenai bertambahnya hakim yang terjerat perkara korupsi. KY mendukung upaya KPK dalam mengusut tuntas kasus tersebut. KY menganggap penangkapan hakim ini bisa melengkapi pengungkapan kasus hingga terang benderang.
"Penetapan tersangka terhadap hakim yustisial di MA ini semakin melengkapi rangkaian pengungkapan dugaan tindak pidana korupsi terkait pengurusan perkara di MA. Untuk itu, Komisi Yudisial mendukung proses penegakan hukum yang sedang dilakukan KPK," kata Juru Bicara KY Miko Ginting kepada Republika, Senin (19/12).
Dalam koridor kewenangan KY, Miko menyebut penetapan tersangka ini menambah subjek pemeriksaan etik oleh KY. "Dengan demikian hingga hari ini total sudah lima orang yang menjadi subjek pemeriksaan etik oleh KY," ujar Miko.
Terkait dengan penangkapan hakim yustisial ini, Miko menyampaikan saat ini KY menyerahkan kepada proses penegakan hukum yang sedang berjalan di KPK. Pada waktunya nanti, ia menjamin KY bakal memeriksa hakim yustisial tersebut. "Hal ini guna melengkapi pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh KY sebelumnya terhadap beberapa pihak, mulai dari tersangka pemberi hingga perantara suap," ucap Miko.
Buka diri
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai, MA perlu membuka diri dalam melakukan pengawasan kinerja anggotanya dengan melibatkan pihak eksternal. Khususnya, dari Komisi Yudisial (KY).
"Kita melihat selama ini MA terlihat ada resistensi terhadap pengawasan dari KY. Misalnya dengan mengatakan bahwa pengawasan itu tidak bisa masuk kepada substansi perkara," kata Zaenur saat dihubungi Republika, Senin (19/12).
"Padahal kita tahu, kejanggalan-kejanggalan judicial corruptions, mafia peradilan itu bisa dilihat salah satunya dari putusan yang itu mengandung kejanggalan-kejanggalan. Tetapi kalau itu ditolak, dianggap bahwa itu akan mempengaruhi independensi hakim, ya menurut saya selama itu tetap ditolak, maka pihak pengawas eksternal itu akan selalu mengalami hambatan," ujar dia.
Selain melibatkan KY, menurut Zaenur, DPR dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku pembentuk undang-undang juga perlu segera mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim. Dia menilai, hal ini sangat penting dilakukan karena dalam RUU itu mengatur mengenai rekrutmen, pembinaan, pengawasan, kesejahteraan, kedudukan hakim di dalam ketatanegaraan, dan status hakim secara lengkap. "Sehingga itu akan semakin bisa memperjelas jaminan bagi hakim di Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, sambung dia, di pihak internal MA sendiri pun harus melakukan pembinaan dan pengawasan. Dia mengumpamakan, dua hal ini layaknya sisi pada satu keping mata uang. "Harus selalu diingatkan dari pimpinan masing-masing satuan kerja di MA untuk mengingatkan anggotanya tidak melakukan korupsi," ungkap dia.
Zaenur menyampaikan, setiap pimpinan harus melakukan pengawasan. Bahkan, menurutnya, jika ada hakim maupun nonhakim di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga MA yang terbukti melakukan rasuah, maka pimpinan dari masing-masing satuan kerja tersebut perlu ikut bertanggung jawab.
Dia menjelaskan, bentuk pertanggungjawaban pimpinan itu bisa berupa pencopotan atau mundur dari jabatannya. Hal ini juga sebagai bentuk penegakan atas peraturan dan kode etik. Meski demikian, pada tingkat MA, jabatan ketua tidak dapat dicopot, tetapi mengundurkan diri. Sebab, kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dan mandiri.
"Kan tidak mungkin kita mencopot Ketua MA. Tapi yang bisa dilakukan adalah pertanggungjawaban dari instutusi tertinggi MA itu untuk mengakui kesalahan, meminta maaf dan menyiapkan program program perbaikan kedepan," jelas dia.
Selain itu, sambung dia, kesejahteraan hakim dan nonhakim juga menjadi salah satu poin penting yang diperhatikan. Terutama posisi nonhakim, yakni panitera, panitera pengganti, juru sita, dan pegawai lainnya.
Zaenur mengungkapkan, kesejahteraan nonhakim harus diperhatikan lantaran mereka merupakan 'pintu masuk' yang berhubungan langsung dengan pihak berperkara. "Karena justru dari para pegawai itu lah awal mulanya para pihak itu berkomunikasi. Mafia perkara itu selalu melibatkan pegawai pegawai di tingkat rendah. Justru mereka lah menjadi loket pertama dari mafia peradilan yang melakukan pengaturan perkara," ungkapnya.
"Sehingga kesejahteraan dari para pegawai MA nonhakim juga harus diperhatikan. Tapi untuk hakim agung, saya lihat mereka sudah sangat sejahtera. Sehingga bukan lagi isu kesejahteraan yg menjadi sebab," kata dia menjelaskan.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengaku tidak memiliki resep atau solusi untuk mencegah kejadian serupa di Mahkamah Agung terulang kembali. "Sebenarnya kalau aku ditanya tuh sudah ndak punya resep (solusi) lagi. Karena sudah diduga terlanjur merebaknya dugaan korupsi dan penyimpangan-penyimpangan lain di MA," kata Boyamin saat dihubungi Republika.
Meski demikian, Boyamin menyebut, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh MA untuk mengantisipasi anggotanya terlibat dugaan suap. Salah satunya, yakni melakukan regenerasi terhadap hakim maupun nonhakim melalui proses rekrutmen secara transparan.
"Setidaknya kalau mau potong satu generasi dan kemudian diganti dengan yang baik, dengan seleksi yang benar, tidak transaksional di pansel (panitia seleksi), tidak transaksional di DPR," kata dia.
Selain itu, menurut dia, keterlibatan KY dalam mengawasi kinerja hakim MA juga perlu diperkuat. Termasuk saat proses rekrutmen hakim agung. "Beberapa hal yang sungguh bisa dicermati ini hal-hal yang diduga penyimpangan, maka ya nanti rekrutmen harus benar. KY kita harus perkuat dan kalau perlu sepenuhnya KY yang melakukan rekrutmen hakim agung, enggak perlu melibatkan DPR lagi. Karena diduga di DPR itu kemudian terjadi transaksional. Jadi saya kira itu resepnya ya," ujar Boyamin.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kecelakaan di Proyek Kereta Cepat Diinvestigasi
Gubernur Jabar berharap operasional kereta api cepat Jakarta-Bandung tak molor lagi.
SELENGKAPNYAAhli: Kasus Brigadir J Pembunuhan Berencana
Jaksa menghadirkan kriminolog UI dalam sidang lanjutan Ferdy Sambo.
SELENGKAPNYAMenata Legalitas Sektor Pertambangan
Banyaknya instansi yang berwenang mengawasi beragam aspek membuka peluang perilaku koruptif.
SELENGKAPNYA