Pangeran Muhammad bin Salman (kanan) menyambur Presiden Cina Xi Jinping dalam kunjungan di Istana Al Yamamah di Riyadh, Arab Saudi. | EPA-EFE/BANDAR ALJALOUD

Opini

Arab, Cina, dan Perubahan Geopolitik

Sambutan hangat para pemimpin Arab terhadap Xi merupakan indikasi demonstratif melawan hegemoni AS.

SMITH ALHADAR, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

Pada 7-9 Desember 2022, ada peristiwa politik tak biasa yang berlangsung di Riyadh, Arab Saudi. Tak kurang dari 20 pemimpin Arab berkumpul dengan pemimpin Cina untuk menghadiri tiga konferensi tingkat tinggi sekaligus. Yakni, KTT Cina-Saudi, KTT Cina-Arab Teluk, dan KTT Cina-Arab. 

Dalam konteks persaingan strategis AS-Cina, kehadiran Presiden Cina Xi Jinping di Riyadh untuk memperluas dan memperdalam hubungan Cina-Arab di segala bidang, dapat dilihat sebagai tindakan menantang AS.

Sambutan hangat para pemimpin Arab terhadap Xi merupakan tindakan demonstratif melawan hegemoni AS. Toh, mereka mengabaikan peringatan Washington, upaya Cina memperbesar pengaruhnya di Timur Tengah bakal tak baik bagi aturan internasional.

Mereka juga tak menggubris kegusaran AS terkait kerja sama, yang melibatkan perusahaan Huawei Technologies, Cina. 

 
Sambutan hangat para pemimpin Arab terhadap Xi merupakan tindakan demonstratif melawan hegemoni AS.
 
 

AS telah mengingatkan sekutunya mengenai risiko penyadapan dalam kerja sama dengan Huawei, yang berpartisipasi dalam pembangunan jaringan 5G di sebagian besar negara Arab Teluk. Yang mencolok adalah sikap pembangkangan Saudi terhadap AS.

Dalam rangka menahan laju kenaikan harga minyak dunia akibat perang Rusia-Ukraina, Presiden AS Joe Biden pada Juli silam mengunjungi Saudi. Dalam lawatan itu, Biden meminta Saudi memompa lebih banyak minyak ke pasar global untuk menurunkan harganya.

Dua bulan kemudian, secara mengejutkan OPEC+, yang mana Rusia salah satu anggotanya, memotong produksi hingga dua juta bph guna menaikkan harga minyak global. Biden langsung mengecam Saudi yang dituduh berpihak pada Rusia.

Memang dalam rangka melemahkan kemampuan perang Rusia, NATO berusaha mereduksi pendapatan Moskow dari hasil ekspor minyak dan gasnya yang dipakai untuk membiayai perang. Bagaimanapun, OPEC+ dan Liga Arab berpihak pada Riyadh. 

Sikap Arab terhadap Cina dan AS, tak bisa dilepaskan dari perubahan geopolitik global.
 
 

Sikap Arab terhadap Cina dan AS, tak bisa dilepaskan dari perubahan geopolitik global.

Sejak pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump (2017-2020), AS menggeser prioritas politik luar negerinya dari Timur Tengah ke Indo-Pasifik, guna membendung Cina yang makin agresif dan asertif di kawasan.

Cina mengeklaim, Pulau Diaoyu/Senkaku di selatan Jepang sebagai miliknya dan terus mengintimidasi Taiwan. Di Laut Cina Selatan (LCS), Cina membangun infrastruktur militer dengan mengabaikan klaim Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina atas sebagian Pulau Spratly dan Paracel sesuai hukum maritim internasional (UNCLOS).

Cina mengeklaim, 90 persen wilayah LCS berdasarkan sembilan garis putus-putus buatannya. Namun, Mahkamah Arbitrasi Internasional menolak klaim Cina itu. Tak pelak, kiprah Cina membangunkan AS dan sekutunya. 

Cina mengeklaim, 90 persen wilayah LCS berdasarkan sembilan garis putus-putus buatannya.
 
 

Maka itu, kita menyaksikan pembentukan Quad, aliansi militer AS, Jepang, Australia, dan India dan AUKUS, aliansi militer AS, Australia, dan Inggris.

Di luar itu, AS melakukan perang dagang melawan Cina, membatasi akses teknologi canggih AS bagi Cina, dan memobilisasi dunia internasional menekan Cina, terkait pelanggaran HAM berat atas etnis minoritas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, barat laut Cina.

Kendati sebagian negara Arab penting adalah sekutu AS, mereka melihat sejarah sedang berpihak pada Cina. Artinya, kemunculan Cina sebagai negara adidaya melampaui AS tidak terelakkan.

Karena itu, membangun hubungan erat dengan Negeri Tirai Bambu itu sangat strategis dalam jangka panjang, sekaligus untuk mengimbangi AS yang hegemonik. Sekarang Cina merupakan negara dengan besaran ekonomi terbesar kedua setelah AS dan terus mengejar AS. 

Tak kalah penting, sistem otoritarian Cina yang efisien menarik perhatian negara-negara berkembang yang repot berurusan dengan demokrasi.
 
 

Seriusnya AS memandang tantangan Cina karena kemajuan pesatnya berlangsung secara holistik, yang meliputi ekonomi, teknologi, militer, politik, budaya, dan ideologi.

Tak kalah penting, sistem otoritarian Cina yang efisien menarik perhatian negara-negara berkembang yang repot berurusan dengan demokrasi, yang sering menciptakan instabilitas negara. Dengan kata lain, klaim Barat hanya sistem demokrasi yang dapat menstabilkan dan menyejahterakan rakyat “terbantahkan.”

Hal yang juga menarik negara-negara Arab, Cina bersikap netral terhadap urusan dalam negeri negara lain. Berbeda dengan AS dan sekutu Barat yang mengaitkan bantuan dan pinjaman dengan penerapan demokrasi dan penegakan HAM, Cina mengabaikan semua itu.

Bahkan, melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), pembangunan infrastruktur global untuk menunjang pertumbuhan Cina, Beijing mengobral pinjaman hampir tanpa syarat. Peringatan AS bahwa BRI berpotensi menciptakan perangkap utang diabaikan banyak negara miskin. 

Hal yang juga menarik negara-negara Arab, Cina bersikap netral terhadap urusan dalam negeri negara lain.
 
 

Yang juga harus disebut, Cina merupakan importir terbesar energi Arab. Dalam KTT Saudi-Cina, Cina menandatangani 46 kesepakatan dan memorandum of understanding dengan nilai awal sebesar 30 miliar dolar AS.

Xi dan Raja Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menandatangani Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif. Kedua negara menekankan pentingnya melanjutkan langkah kerja sama di seluruh bidang, serta menggapai cakrawala baru dan menjanjikan.

Mereka memiliki keinginan dan visi sama untuk mengharmoniskan visi masa depan kedua negara: Visi Arab Saudi 2030 dan visi Cina dengan BRI.

Dalam KTT Cina-Arab Teluk, Xi Jinping mengungkapkan keinginannya memperdalam hubungannya dengan kawasan itu, karena memandangnya sangat strategis bagi masa depan energi Cina. Dengan 20 anggota Liga Arab, Cina menandatangani perjanjian kerja sama dalam kerangka BRI. 

Dalam KTT Cina-Arab Teluk, Xi Jinping mengungkapkan keinginannya memperdalam hubungannya dengan kawasan itu.
 
 

Kedua pihak telah melaksanakan lebih dari 200 proyek kerja sama berskala besar di bidang energi, infrastruktur, dan bidang lainnya. Proyek-proyek itu merupakan jalur penting bagi negara-negara Arab untuk mencapai tujuan pembangunan mereka.

Memang, pembangkangan Arab terhadap hegemoni AS tidak berarti mereka telah meninggalkan Washington. AS masih merupakan kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang belum dapat digantikan Cina.

Langkah yang mereka lakukan adalah ikhtiar menjawab perubahan geopolitik global, dan Cina sedang memainkan peran menentukan dalam proses pembentukan tatanan dunia baru.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

BPKH: Dana Haji Capai Rp 169 Triliun

BPKH menekankan, penyesuaian biaya haji tidak dapat dihindari.

SELENGKAPNYA

OJK Percepat Penurunan Kredit Macet Tekfin

Diharapkan terdapat peningkatan dari sisi lembaga pemeringkat kredit khusus tekfin.

SELENGKAPNYA