
Ekonomi
OJK Percepat Penurunan Kredit Macet Tekfin
Diharapkan terdapat peningkatan dari sisi lembaga pemeringkat kredit khusus tekfin.
YOGYAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya mempercepat penurunan tingkat wanprestasi pengembalian pinjaman (TWP) di industri tekfin pendanaan. Saat ini OJK tengah memantau 22 perusahaan peer-to-peer (P2P) lending yang memiliki TWP atau kredit macet di atas lima persen.
"Kita berharap semakin cepat proses penurunan TWP. Sekarang tingkat keberhasilan bayar (TKB) 90 masih relatif bagus di level 97,1 atau TWP masih terjaga di bawah 3 persen," kata Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology OJK Tris Yulianta di Yogyakarta, Senin (12/12).
View this post on Instagram
Tris menjelaskan, OJK rutin melakukan evaluasi terhadap TWP tekfin setiap bulan. Bagi tekfin dengan TWP di atas 5 persen, OJK melakukan pemantauan khusus dengan pengecekan lebih cepat, yaitu dua pekan. Dalam proses pemantauan, OJK akan memanggil dan meminta klarifikasi tekfin terkait penyebab meningkatnya TWP.
Para tekfin tersebut juga diminta untuk membuat rencana aksi penurunan TWP. Jika gagal membuat rencana aksi dalam waktu tiga bulan, OJK akan memberikan beberapa sanksi secara bertahap, mulai dari teguran tertulis hingga penghentian sementara kegiatan penyaluran untuk memperbaiki TWP.
"Langkah terakhir, kalau tidak berhasil, OJK akan mencabut izin kegiatan usahanya," ujar Tris.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan, kredit macet merupakan bagian dari siklus kegiatan pendanaan. Menurut dia, tren TWP yang meningkat tersebut tidak lepas dari tumbuhnya pinjaman di sektor P2P yang mencapai 50 persen (yoy) per September 2022.
Langkah terakhir, kalau tidak berhasil, OJK akan mencabut izin kegiatan usahanya.
"Pertumbuhan yang begitu cepat ini diiringi dengan tumbuhnya risiko kredit macet," ujar Sunu.
Selain itu, peningkatan TWP juga terjadi karena industri saat ini masih dalam masa pemulihan dari pandemi Covid-19. Meski demikian, Sunu menilai, TWP yang kini berada di level 2,9 persen per Oktober 2022 masih dalam batas aman karena masih di bawah 3 persen.
Sunu mengimbau pelaku industri agar terus memperkuat manajemen risiko. Untuk mengantisipasi kredit macet, menurut Sunu, asosiasi saat ini sudah memiliki fintech data center (FDC).
"Dengan FDC ini kita tahu apakah calon peminjam sudah memiliki pinjaman di tempat lain, macet atau tidak. Itu menjadi filter yang sangat efektif bagi kita menghindari kredit macet," kata Sunu.
Ke depan, Sunu berharap adanya peningkatan dari sisi lembaga pemeringkat kredit khusus tekfin. Dengan pertumbuhan pinjaman yang cepat, infrastruktur di industri P2P harus diperbaiki.
View this post on Instagram
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Budi Gandasoebrata menyampaikan, TWP tekfin wajar karena industri P2P masih dalam tahap pertumbuhan. Salah satu inisiatif yang sudah dilakukan antara OJK, asosiasi, dan industry, yaitu meningkatkan outstanding pinjaman.
"Untuk mengantisipasinya kita berusaha meningkatkan porsi pinjaman produktif dengan harapan tingkat kesehatan di industri akan semakin membaik. Selain itu, asosiasi juga berupaya saling terintegrasi untuk meminimalisasi satu borrower meminjam di banyak platform," ujar Budi.
Potensi Tekfin
OJK menyebut tekfin dan ekonomi digital berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pertumbuhan tekfin dan ekonomi digital berpotensi meningkatkan PDB Indonesia hingga Rp 24 ribu triliun pada 2030 mendatang.
Untuk mengembangkan potensi tersebut, OJK akan terus melakukan penyempurnaan kebijakan yang akomodatif dalam memitigasi risiko terkait dunia digital. "Selain itu, inovasi digital harus tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan memiliki kerangka manajemen risiko yang andal," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara.
Dengan FDC ini kita tahu apakah calon peminjam sudah memiliki pinjaman di tempat lain, macet atau tidak.
Menurut Mirza, kebijakan tersebut untuk memastikan level persaingan yang setara dan meminimalisasi regulatory arbitrage di sektor jasa keuangan. Hal itu dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen dan pengembangan ekosistem ekonomi digital yang inklusif dan berdaya tahan.
Kebijakan ini juga sesuai dengan hasil Konferensi Tingkat Tinggi G-20 lalu. Dalam pertemuan tersebut, pemimpin negara G-20 sepakat bahwa transformasi digital merupakan salah satu agenda penting yang harus terus ditindaklanjuti implementasinya.
Kebijakan yang akomodatif, layanan keuangan yang terjangkau oleh masyarakat, dan konektivitas digital menjadi elemen penting untuk mendukung transformasi digital yang inklusif dan menciptakan ekosistem keuangan digital yang berdaya tahan.
Perempuan Majukan Ekonomi Keluarga
Pada masa krisis ekonomi 1998, banyak kepala keluarga yang diberhentikan dari pekerjaannya.
SELENGKAPNYAWasathiyah Kuatkan Keindonesiaan
Dengan wasathiyah, bangsa ini tak memberi ruang kepada ekstremisme.
SELENGKAPNYAMemimpin dengan Akhlak
Ini bukti bahwa Nabi hadir sebagai contoh bagaimana berakhlak mulia.
SELENGKAPNYA