Richard McKinney, seorang mualaf Amerika, membagikan kisahnya dalam menemukan hidayah Illahi. | DOK YOUTUBE Ball State University Libraries

Oase

Jalan Hidayah Sang Eks Marinir Amerika

Mualaf asal AS ini sempat berencana mengebom masjid, tetapi hatinya luluh karena suatu hal.

Kebencian membutakan mata hati. Hal itulah yang sempat dirasakan seorang mualaf asal Amerika Serikat (AS), Richard McKinney. Mantan marinir tersebut pernah menyimpan antipati terhadap Islam. Bahkan, lelaki yang akrab disapa Mike itu sampai merencanakan pengeboman di sebuah masjid.

“Banyak yang tidak percaya dengan perilaku saya di masa lalu. Dahulu, saya memiliki begitu banyak kebencian (terhadap Islam),” kata dia, seperti dikutip Republika dari laman All American Muslim beberapa waktu lalu.

Penyebab sikapnya itu adalah syak wasangka. Ketika itu, Mike mengira bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan terorisme. Mungkin, banyak warga AS yang memercayai stereotipe demikian karena pengaruh berita-berita yang menyudutkan Muslimin, terutama pasca-peristiwa 9/11. Akan tetapi, lelaki asal negara bagian Indiana itu bukanlah “pengamat” dari kejauhan.

 
Ketika itu, Mike mengira bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan terorisme.
 
 

Saat masih aktif di militer, ia pernah dikirim ke negara-negara Timur Tengah, termasuk Suriah. Di medan perang, ia menyaksikan orang-orang Muslim berperang. Tidak sedikit dari mereka yang menyuarakan kebencian terhadap Barat.

Rasa nasionalismenya pun menebal. Dengan cepat, Mike ketika itu mengambil kesimpulan bahwa kaum Muslimin adalah liyan (the other). Mereka dipandangnya berbahaya bagi ketertiban dan kedamaian dunia Barat, khususnya Amerika.

Selama 25 tahun, Mike bertugas di dunia militer. Begitu kembali ke ranah sipil pada 2006, ia merasa negerinya perlu diselamatkan dari para pendatang yang liyan itu. Dalam pandangannya saat itu, orang-orang Muslim bukanlah kelompok yang mau melebur dalam identitas Amerika. Tidak ada cara selain mengenyahkan mereka.

Pensiunan tentara itu amat terganggu saat mendengar informasi, komunitas Muslim Indiana hendak mendirikan sebuah masjid. Tempat ibadah itu direncanakan berdiri di Muncie, sebuah kota kecil yang dahulu dikenal dengan nama Buckongahelas Town. Mike berpikir, orang-orang Islam mulai berani menjajah kampung halamannya.

 
Pensiunan tentara itu amat terganggu saat mendengar informasi, komunitas Muslim Indiana hendak mendirikan sebuah masjid.
 
 

Indiana merupakan salah satu wilayah AS dengan populasi Muslim yang cukup signifikan. Tercatat, ada lebih dari enam juta orang pemeluk Islam di negara bagian tersebut. Keberadaan masjid menjadi suatu kebutuhan bagi mereka.

Beberapa bulan kemudian, Pusat Keislaman Muncie pun dibuka untuk umum. Sebagai pendukung Islamofobia, Mike saat itu merasa murka. Ia menuding pemerintah kota setempat sudah tidak berdaya dalam menghadapi lobi-lobi Muslim.

Selama beberapa tahun, Mike ikut serta dalam pelbagai aksi demonstrasi yang menentang pendirian Islamic center di Muncie. Kampanye dilakukannya tidak hanya di jalanan, tetapi juga melalui platform-platform media sosial.

Bagaimanapun, ujaran kebencian yang disampaikannya “hanya” berwujud pada kata-kata atau unjuk rasa di jalan. Masih belum terlintas di benaknya untuk melakukan kekerasan fisik.

Momen kesadaran

Di suatu hari Jumat pada 2009, Richard “Mike” McKinney tidak lagi mampu menahan diri. Ia memboyong beberapa bahan peledak (improvised explosive device, IED) dari rumahnya.

Dengan mengendarai mobil, lelaki bertubuh tegap itu langsung menuju Islamic Center of Muncie. Tujuannya adalah mengebom masjid tersebut dan sekaligus “menghabisi” seluruh Muslim di sana.

Murka sebesar itu ternyata dipicu persoalan sepele. Satu hari sebelumnya, Mike melihat putri kesayangannya, Emily, pulang dari sekolah. Segalanya tampak biasa-biasa saja, hingga ketika anak perempuannya itu menuturkan kisah yang cukup menarik.

Emily bercerita, dirinya suatu hari diajak untuk datang ke rumah seorang kawannya. Sesampainya di sana, tampaklah ibu temannya itu mengenakan niqab.

“Jadi mereka adalah orang Muslim?” tanya Mike dengan nada tinggi.

“Entahlah, tapi mereka ramah dan baik padaku,” jawab Emily singkat.

Berkali-kali, Mike memperingatkan anak perempuannya itu untuk tidak lagi dekat dengan kawannya tersebut. Tentu saja, Emily heran. Bagaimana menghakimi seseorang dari busana yang mereka pakai? Kalaupun mereka beragama Islam, lantas apa masalahnya?

 
Bagaimana menghakimi seseorang dari busana yang mereka pakai? Kalaupun mereka beragama Islam, lantas apa masalahnya?
 
 

Hingga malam hari, Mike tidak bisa tidur. Ia merasa cemas kalau putrinya akan dipengaruhi orang-orang “asing” itu. Mimpi buruk terbesarnya adalah, suatu hari Emily akan menjadi Muslim.

Itulah yang mendorongnya untuk mempersiapkan “bom rumahan”, untuk kemudian diledakkan di tengah jamaah Islamic Center Muncie. Persiapan dilakukannya dengan rapi. Mantan marinir ini seolah-olah hendak berangkat ke medan pertempuran.

Tibalah ia di masjid tersebut. Siang itu, tempat ibadah Muslimin ini tampak cukup ramai. Beberapa jamaah masih berada di sana, sesudah menunaikan shalat Jumat. Beberapa orang melihat Mike turun dari mobil dengan memakai jas tebal dan ikat kepala.

Untuk sesaat, di pikiran Mike terlintas kata-kata putrinya, “Setiap orang tidak dilahirkan dengan prasangka, rasisme, atau kebencian.” Karena itu, ia sempat mengurungkan niatnya untuk langsung melempari masjid ini dengan “bom” buatan.

Tidak ingin kedatangannya sia-sia, Mike memilih untuk memasuki bangunan Islamic center ini. Mulanya, ia merasa aneh. Pemandangan setempat tampak biasa saja. Tidak ada di sana, umpamanya, spanduk-spanduk semboyan “anti-Amerika” atau “dukungan pada Alqaidah”—seperti yang selama ini dibayangkannya.

Di dalam masjid itu, ia berdiri saja. Dirinya sedikit gugup karena merasa sebagai satu-satunya non-Muslim di sana. Beberapa lama kemudian, seorang jamaah menghampirinya dan berkata, “Apakah ada yang bisa saya bantu?”

 
Di dalam masjid itu, ia berdiri saja. Dirinya sedikit gugup karena merasa sebagai satu-satunya non-Muslim di sana.
 
 

Tidak tahu harus menjawab apa, Mike pun menyahut, “Saya ke sini karena ingin tahu tentang Islam.”

Inilah yang mengawali momen kesadarannya. Oleh jamaah tersebut, Mike dipersilakan untuk duduk dan menunggu. Beberapa saat kemudian, lelaki itu datang dengan seorang dai yang biasa mengimami shalat jamaah di masjid tersebut.

Terjadilah dialog di antara keduanya. Imam itu mempersilakan Mike untuk menyampaikan pertanyaan atau tanggapannya mengenai Islam. Semula, mantan tentara ini mengaitkan agama tersebut dengan paham-paham terorisme dan ekstremisme. Sang imam mendengarkannya, tanpa sekalipun menyela.

Tiba giliran berbicara, dai tersebut mulai menjelaskan tentang fondasi ajaran Islam, yakni Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dipaparkannya pula mengenai rukun iman, rukun Islam, serta pengertian ihsan. Ia antara lain menyampaikan salah satu pesan Nabi SAW, yakni tidaklah beliau diutus oleh Allah kecuali untuk menyempurnakan akhlak.

 
Segalanya menjadi jelas bagi saya. Sesudah itu, saya pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Keinginan saya kuat untuk menjadi Muslim.
 
 

Seorang individu atau kelompok mungkin saja melakukan kekerasan ekstrem dan teror sembari mengatasnamakan agama. Namun, tindakan pelaku kekerasan itu justru bertentangan dengan ajaran agama. Yang terjadi adalah, mereka kurang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Islam.

Mike terlibat dialog yang intens selama beberapa jam di sana. Pada akhirnya, ia mengakui keterbatasan pengetahuannya mengenai Islam. Bahkan, lelaki itu mulai tertarik pada ajaran agama tauhid.

“Segalanya menjadi jelas bagi saya. Sesudah itu, saya pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Keinginan saya kuat untuk menjadi Muslim,” kata Mike mengenang salah satu momen terpenting dalam hidupnya.

photo
Richard McKinney kini aktif dalam pelbagai kegiatan dakwah Islam di Indiana, AS. - (DOK INSTAGRAM)

Turut berdakwah

Sejak memeluk Islam, Mike memilih nama baru, yakni Omar Sayeed Ibn Mac. Sebab, dirinya ingin meniru jejak Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi SAW. Lagipula, kisahnya dalam menemukan hidayah mungkin tidak jauh berbeda dengan yang dialami al-Faruq. Semula membenci, tetapi kemudian hatinya lapang dalam menerima cahaya kebenaran.

Mike alias Omar Sayeed masuk Islam dengan komitmen yang penuh. Ia sungguh-sungguh menyadari salah satu ayat Alquran yang menegaskan tujuan kehidupan manusia: beribadah hanya kepada Allah. Dan, ibadah itu dimaknai tidak sekadar ritual, melainkan praksis sehari-hari.

Dengan dukungan komunitas Muslim Indiana, ia pun banyak menyerap ilmu-ilmu agama. Satu hal yang amat disyukurinya, Mike kini sudah bisa membaca Alquran. Sebelumnya, lelaki paruh baya itu hanya dapat menikmati lantunan ayat-ayat suci yang dibacakan imam.

Menurut dia, Alquran adalah obat mujarab untuk jiwa manusia. Hingga kini, ia rutin mengaji setiap pagi dan menjelang isya. Rutinitas itu mungkin tidak terbayangkan akan dilakukannya dahulu, ketika masih mengampanyekan Islamofobia.

 
Alquran adalah obat mujarab untuk jiwa manusia. Hingga kini, ia rutin mengaji setiap pagi dan menjelang isya.
 
 

Di tengah masyarakat Muncie, Mike kini lebih dikenal sebagai seorang pendakwah. Ia aktif dalam pelbagai syiar Islam, termasuk yang menyasar unsur-unsur lintas agama—semisal acara “open mosque.” Baginya, dialog dan keterbukaan adalah kunci untuk menghilangkan segala syak wasangka dan stigma yang dikait-kaitkan dengan Islam.

Mike sempat menjadi ketua Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA) Ball State. Kemudian, pada tahun 2014 dirinya terpilih sebagai presiden Islamic Center of Muncie. Ya, lembaga yang dahulu hendak diserangnya dengan “bom”, kini justru dinakhodai oleh dirinya.

Baru-baru ini, Mike ikut dalam proyek film dokumenter yang berjudul “Stranger at the Gate". Dalam film garapan Joshua Seftel itu, ia menuturkan bagaimana proses yang dilaluinya hingga menjadi seorang Muslim. Di luar itu, mualaf ini juga aktif mengisi pelbagai siniar (podcast).

Kepada anak-anak muda, Mike berpesan bahwa Amerika adalah bangsa yang majemuk dan menghargai perbedaan. Karena itu, Islamofobia tidak sepantasnya terjadi di negara ini. Terhadap komunitas Muslim pun, ia mengajak mereka untuk terus berbuat dan merekatkan simpul-simpul sosial.

“Masa lalu saya banyak diisi oleh prasangka-prasangka terhadap siapapun yang dianggap berbeda, termasuk Muslimin. Itu terjadi karena saya kurang mengenal mereka dan kurang mengetahui ajaran Islam,” ujarnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

MUI: Perkuat Keharmonisan Bangsa

Forum itu diharapkan meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah.

SELENGKAPNYA

Dorong Sertifikasi Nazir

Sertifikasi nazir dapat meningkatkan profesionalisme pengelolaan wakaf.

SELENGKAPNYA

Jangan Bercerai, Bunda

Posisi wanita sebagai ibu merupakan benteng pertahanan terakhir.

SELENGKAPNYA