Arsitektur
Pesona Museum Seni Islam Qatar
Pembangunan museum di Doha, Qatar, ini melibatkan para ahli yang pernah menggarap Louvre Paris.
Qatar memiliki banyak destinasi unggulan yang menarik kunjungan para pelancong dari mancanegara. Dalam konteks pariwisata halal, salah satu negara makmur di kawasan Teluk Arab itu tidak hanya membangun puluhan masjid yang megah dan indah.
Tuan rumah Piala Dunia 2022 tersebut juga menyuguhkan khazanah peradaban Islam melalui pelbagai museum. Di antaranya adalah Museum Seni Islam atau Museum of Islamic Art (MIA). Kompleks wisata edukatif ini mulai dibangun pada tahun 2006 lalu. Lokasinya menempati lahan seluas 45 ribu meter persegi, persis di ujung semenanjung-buatan (corniche) Doha.
Pengerjaan museum yang menghadap Teluk Doha itu dilakukan dua perusahaan sekaligus, uakni Baytur Construction (Turki) dan Wilmotte Associates (Prancis). Yang pertama itu menggarap pembangunan MIA sesuai dengan desain yang dikehendaki pemerintah setempat. Adapun yang kedua mengerjakan denah dan tata ruang galeri.
Pada 22 November 2008, MIA selesai dibangun. Peresmiannya dilakukan amir Qatar saat itu, Syekh Hamad bin Khalifa al-Thani. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 8 Desember museum tersebut dibuka untuk umum.
MIA adalah museum pertama di dunia Arab yang menyajikan berbagai koleksi seni Islam dari rentang masa 14 abad. Berbagai artefak, manuskrip, dan karya-karya seni di dalamnya berasal dari kurun waktu antara abad ketujuh dan ke-19 Masehi. Para penikmat dan peneliti sejarah Islam hendaknya menyambangi tempat ini, terutama ketika singgah di Qatar.
Pembangunan MIA dilakukan dengan penuh perencanaan dan riset yang mendalam. Perancangnya merupakan seorang arsitek senior kelahiran Tiongkok, yakni Ieoh Ming Pei. Ketika mengerjakan desain museum ini, dirinya telah berusia 91 tahun.
Sebelum memulai rancangannya, IM Pei terlebebih dahulu melakukan studi banding ke negeri-negeri Muslim, semisal Arab Saudi, Mesir, Malaysia, dan lain-lain. Ia juga sempat mengunjungi berbagai legasi arsitektur Islam yang berdiri sejak era klasik di Spanyol. Riset itu dilakoninya hingga enam bulan lamanya.
Sang arsitek hendak mempelajari sejarah dan gaya arsitektur Islam dari mancanegara, baik melalui studi tekstual maupun observasi langsung. Menurut Pei, kolam air pancur di kompleks Masjid Ibnu Tulun, Kairo, Mesir, menjadi inspirasi utamanya dalam mendesain MIA. Tempat ibadah itu adalah salah satu masjid tertua di seluruh Benua Afrika. Dibangun pada abad kesembilan, konstruksinya tidak banyak berubah sejak dahulu hingga saat ini.
Walaupun terilhami desain bangunan-bangunan dari masa keemasan Islam, MIA tidak mengabaikan unsur-unsur modern. Corak kekinian tetap dapat dijumpai pada berbagai bagian museum tersebut. Begitu pula dengan teknologi bernuansa futuristik yang diterapkan di dalamnya.
Keindahan MIA sudah memancar pada sisi eksteriornya. Di sekitar bangunan utama, terdapat area taman seluas 290 meter persegi. Bila dilihat dari atas, bentuknya menyerupai bulan sabit. Pohon-pohon palem berderet di sisi kanan dan kiri jalan yang membelah taman itu.
Saat merancang MIA, Pei bekerja sama dengan Wilmotte, yang pernah menggarap desain Grand Louvre Paris, Prancis. Perusahaan itu lantas mengumpulkan tim desain yang terdiri atas Plowden and Smith, Isometrix, dan SC Conseil. Masing-masing menggarap tata cahaya dan suara audio serta visual museum tersebut.
Bangunan utama MIA terdiri atas lima lantai. Sisi sebelah utara dilapisi oleh fasad kaca yang dinaungi kubah besar dan menara. Pei memanfaatkan batu kapur yang berwarna krem untuk melapisi fasad luar. Hasilnya, tampak tampilan yang berbeda-beda, mengikuti pergantian waktu dalam sehari.
Sisi interior MIA banyak dihiasi ornamen-ornamen seni Islam. Lampu gantung yang berbahan logam tergantung di atas langit-langit, dekat tangga utama yang mengarah ke lobi. Menurut Pei, jejak inspirasi dari Masjid Ibnu Tulun dapat diamati pada museum ini melalui elemen-elemen bangunan utama. Namun, unsur-unsur itu dibingkai dalam tata arsitektur post-modern yang menonjolkan kesan ketidakberaturan yang unik.
MIA memiliki sejumlah galeri dengan koleksi yang terbilang lengkap dan variatif. Objek-objek yang dipamerkan di dalamnya meliputi karya-karya keislaman dari tiga benua: Asia, Eropa, dan Afrika. Yang tertua di antaranya berasal dari abad ketujuh Masehi. Tentunya, pihak pengelola museum juga menyajikan artefak-artefak seni kontemporer.
Di antara karya-karya yang tersimpan di sana ialah berbagai kerajinan logam, perhiasan, ukiran kayu, tekstil, dan kaca. Ada pula yang berupa manuskrip, tekstil, dan keramik. Pengumpulan semua koleksi ini bermula sejak akhir periode 1980-an. Pemerintah Qatar mendapatkannya dari berbagai sumber legal yang bertebaran di banyak negara, semisal Mesir, Turki, Iran, Irak, India, dan negeri-negeri region Asia Tengah.
Tidak sekadar rekreasi, museum ini pun menawarkan wisata edukatif. MIA menyediakan ruang-ruang pelatihan yang dapat diikuti para akademisi dan pelajar. Ada pula perpustakaan yang terbuka untuk umum. Tentu saja, semua fasilitas itu terbuka baik bagi kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Di dekat Perpustakaan MIA, terdapat area kuliner yang cukup nyaman. Salah satu restoran di dalamnya adalah Idam, yang dikelola oleh seorang koki level dunia, Alain Ducasse. Yang cukup menarik, Idam pun beberapa kali mengadakan kelas memasak (master class) untuk pengunjung.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
MUI: Perkuat Keharmonisan Bangsa
Forum itu diharapkan meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah.
SELENGKAPNYADorong Sertifikasi Nazir
Sertifikasi nazir dapat meningkatkan profesionalisme pengelolaan wakaf.
SELENGKAPNYAJangan Bercerai, Bunda
Posisi wanita sebagai ibu merupakan benteng pertahanan terakhir.
SELENGKAPNYA