Haji Bakri Syahid, seorang tokoh Muhammadiyah yang multitalenta | DOK UMY

Mujadid

Haji Bakri Syahid Tokoh Muhammadiyah yang Multitalenta

Berlatar belakang militer, tokoh Muhammadiyah ini juga ahli ilmu tafsir Alquran.

Salah satu gerakan Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, tidak pernah kekurangan tokoh-tokoh besar. Sejak zaman pendirinya yakni KH Ahmad Dahlan hingga era kontemporer, persyarikatan tersebut memunculkan banyak ulama, cendekiawan, dan negarawan.

Di antara mereka, terdapat seorang figur yang mungkin belum dikenal luas masyarakat. Dialah Brigjen TNI (Purn) Haji Bakri Syahid. Seperti tampak pada gelarnya, tokoh Muhammadiyah itu memiliki latar belakang militer.

Bagaimanapun, pribadinya amat layak dikelompokkan sebagai alim ulama. Ia merupakan seorang mufasir. Kitab Al-Huda, salah satu buah penanya, menjadi bukti kontribusinya yang patut diperhitungkan di dunia ilmu tafsir Alquran.

 
Ia merupakan seorang mufasir. Kitab Al-Huda, salah satu buah penanya, menjadi bukti kontribusinya yang patut diperhitungkan di dunia ilmu tafsir Alquran.
 
 

Rektor pertama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu lahir di Kampung Suronatan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta, pada 16 Desember 1918. Ia merupakan anak kedua dari tujuh orang bersaudara. Keenam saudara kandungnya, berturut-turut, adalah Siti Aminah, Lukman, Zapriyah, Siti Wafiyah, Ismiyati, dan Dukhoiri.

Ayahnya bernama Muhammad Syahid. Keluarganya termasuk yang merintis perkembangan Muhammadiyah di DIY. Karena itu, masyarakat setempat menghormati dan memandangnya sebagai tokoh lokal.

Bakri tumbuh dalam lingkungan yang religius. Di rumahnya, ia dan saudara-saudaranya rutin mengaji dengan bimbingan sang ayah. Kedua orang tua mereka selalu menanamkan keimanan dan ketakwaan yang kuat dalam sanubari masing-masing.

Di luar rumah, Bakri kecil juga belajar Alquran dan akidah Islam dari guru agama di masjid. Adapun pendidikan formal mulai dialaminya melalui Standard School Yogyakarta. Pada 1930, ia pun lulus dari lembaga tersebut.

Para ustaz dan guru mengenangnya sebagai seorang anak yang mandiri, rajin, dan cerdas. Semangatnya tinggi dalam menuntut ilmu. Bahkan, dalam usia muda dirinya memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Tidak jarang, ia ikut membantu kedua orang tuanya dalam rangka menyokong ekonomi keluarga. Umpamanya dengan ikut berjualan pisang goreng di depan rumahnya.

 
Bakri aktif dalam gerakan kepanduan Muhammadiyah dan bahkan mulai mengenal dunia gerilya. Itulah yang menjadi bekal utamanya ketika kelak terjun ke ranah militer.
 
 

Setelah enam tahun belajar Standard School, ia pun melanjutkan pendidikan ke Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta (kini Madrasah Muallimin). Dari lembaga Islam tersebut, dirinya lulus pada 1935. Semasa bersekolah di sana, Bakri aktif dalam gerakan kepanduan Muhammadiyah dan bahkan mulai mengenal dunia gerilya. Itulah yang menjadi bekal utamanya ketika kelak terjun ke ranah militer.

Sejak belia, ia sudah menjadi kader Muhammadiyah. Bisa dikatakan, keaktifannya terinspirasi dari kedua orang tuanya sendiri. Mereka berdakwah melalui persyarikatan tersebut bahkan sejak masih remaja. Di kemudian hari, Bakri terus berkiprah di gerakan Islam itu. Namanya tercatat antara lain sebagai anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah.

Sejak lulus dari Madrasah Mu’allimin pada 1935, Bakri langsung mendapatkan tugas pertamanya sebagai dai Muhammadiyah. Dakwah dilakukannya di Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebelumnya, kakaknya yang bernama Siti Aminah terlebih dahulu menjadi mubaligh di sana. Agak berbeda dengan saudara perempuannya itu, ia merupakan guru Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah hingga tahun 1938.

Di luar tugasnya di HIS Muhammadiyah, Bakri ikut membesarkan Majelis Hizbul Wathan Distrik Surabaya. Ketika ditugaskan di pusat Jatim itu, ia memiliki pengalaman yang mengesankan. Lingkaran pergaulannya kian meluas. Di antara para sahabatnya adalah KH Mas Mansur, yang akhirnya menjadi pahlawan nasional Indonesia.

Dalam Kongres ke-27 Muhammadiyah di Malang pada 1938, seorang konsul Muhammadiyah Sumatera Selatan KH R Zainuddin Fananie mengajukan permintaan bantuan tenaga guru. Dengan dukungan Kiai Mas Mansur, Bakri pun berangkat ke Sumsel. Di Sekayu, Palembang, ia dan seorang kakak iparnya menjalani peran sebagai guru dengan amat baik.

Pada 1942, Bakri kembali ke Yogyakarta. Ia kemudian mengajar agama Islam di Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru—kini menjadi SMA Negeri 3 Yogyakarta. Setiap usai kelas, murid-murid sering diajaknya untuk shalat berjamaah. Pada hari Jumat, mereka juga melaksanakan shalat Jumat di aula sekolah tersebut.

Dari sanalah, timbul inspirasi untuk merintis pembangunan sebuah masjid di Kotabaru. Bakri kemudian mengajukan permohohan kepada pihak Keraton untuk diizinkan memakai salah satu bangsa milik sultan Yogyakarta. Lokasi tempat itu tidak begitu jauh dari sekolah tempatnya mengajar.

Permintaan izin itu dikabulkan. Akhirnya, pelaksanaan shalat Jumat yang biasa dipimpin Bakri dipindah lokasi, dari area SMT Kotabaru ke bangsal Keraton tersebut. Kini, di atas lahan tersebut yang dimiliki sang sultan berdiri Masjid Syuhada. Demikianlah antara lain berkat upaya yang dirintis seorang aktivis Muhammadiyah.

 
Kini, di atas lahan tersebut yang dimiliki sang sultan berdiri Masjid Syuhada. Demikianlah antara lain berkat upaya yang dirintis seorang aktivis Muhammadiyah.
 
 

Terjun ke militer

Setelah bertahun-tahun menjadi guru, Bakri Syahid kemudian terjun ke ranah militer. Mulanya, ia menempuh pendidikan militer di Candradimuka, Bandung, Jabar. Pada 1953, kader Muhammadiyah itu pun lulus dari sana.

Berikutnya, Bakri melanjutkan studinya ke LPDI Curup hingga 1955. Setelah itu, ia menajamkan pengetahuannya seputar strategi infanteri di Palembang, Sumsel, pada tahun yang sama. Sekira dua tahun kemudian, putra daerah Yogyakarta itu meneruskan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi.

Seperti dikutip dari buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, Bakri Syahid tercatat meraih gelar sarjana dari Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga pada 1963. Skripsinya bertajuk “Militer Dalam Hukum Islam".

Setahun kemudian, ia dan kedua rekannya, yakni Kapten Helmy Yunan Nasution dan Letkol Pater Rusman Joyo, ditugaskan oleh Jenderal Ahmad Yani untuk bersekolah lagi. Ketiganya lalu menempuh pendidikan militer di Chaplain School Fort Hamilton, New York, Amerika Serikat.

 
Ia bersahabat dengan Jenderal Besar Sudirman. Sebagai sama-sama kader Muhammadiyah, keduanya saling kenal sejak masih di Hizbul Wathan.
 
 

Di lingkungan TNI, ia bersahabat dengan Jenderal Besar Sudirman. Sebagai sama-sama kader Muhammadiyah, keduanya saling kenal sejak masih di Hizbul Wathan. Saat aktif di gerakan kepanduan itu, Bakri pernah memimpin lini Bidang Latihan dan Pendidikan Dewan Kelaskaran Yogyakarta. Sementara itu, Sudirman membina Bidang Kemiliteran dan Kedisiplinan.

Pak Dirman menginstruksikan kepadanya untuk membentuk Dinas Agama dalam tubuh TNI Angkatan Darat. Guna menjalankan perintah tersebut, Bakri dibantu keempat rekannya. Tiga orang di antaranya, yakni Hadijoyo, M Basuni, dan H Iskandar Idris, seagama dengannya. Adapun seorang lainnya, Suwasto Maryatmo, merupakan pemeluk Katolik.

Dinas Agama dimaksudkan sebagai wadah pembinaan kesadaran beragama dalam lingkungan militer. Itu pun mengejawantahkan nilai-nilai sila pertama Pancasila dalam TNI. Berdasarkan surat keputusan tertanggal 13 Desember 1949, menteri pertahanan saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mengukuhkan berdirinya entitas tersebut.

 
Dinas Agama dimaksudkan sebagai wadah pembinaan kesadaran beragama dalam lingkungan militer.
 
 

Selama berkarier di dunia militer, Bakri pernah menempati beberapa jabatan penting. Misalnya, komandan kompi, kepala staf batalion STM-Yogyakarta, kepala pendidikan pusat rawatan rohani Islam AD, serta wakil kepala pusat rohani Islam AD.

Di luar itu, ia pun sempat mencicipi peran sebagai komandan seksi wartawan perang di Yogyakarta. Hingga memasuki saat pensiun, pangkat kemiliteran yang disandangnya adalah kolonel infantri AD. Dalam masa Orde Baru, tokoh Muhammadiyah ini sejak tahun 1977 duduk di MPR-RI sebagai anggota Fraksi ABRI.

Bagai kacang yang tak lupa kulit, Bakri pun terpanggil untuk terus berkarya di dunia pendidikan. Dirinya diberi amanah sebagai rektor IAIN Sunan Kalijaga periode 1972-1976. Dalam masa yang sama, ia diangkat menjadi guru besar luar biasa dalam bidang ilmu pertahanan dan keamanan nasional. Usai dari kampus tersebut, panggilan berjuang terus dipenuhinya.

UMY berdiri sejak 1981. Pada tahun yang sama, Bakri menerima amanah untuk menjadi rektor kampus tersebut. Hal itu didasarkan pada dukungan dan penilaian para koleganya. Ia dipandang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk memimpin sebuah perguruan tinggi Islam, yang bernaung di bawah Persyarikatan Muhammadiyah.

Pada 1994, Bakri Syahid berpulang ke rahmatullah setelah diserang sakit jantung dalam usia 76 tahun. Pada detik-detik menjelang wafatnya, ia mendirikan shalat tahajud di rumahnya. Demikianlah akhir yang indah dari seorang tokoh umat yang telah banyak berjuang di pelbagai lini kehidupan.
Di sepanjang hayatnya, ia menikah sebanyak dua kali serta dikaruniai tiga orang anak. Kepergiannya dari dunia fana menyisakan duka bukan hanya untuk keluarganya, melainkan juga Muhammadiyah, TNI, serta warga bangsa pada umumnya.

photo
Salah satu karya Haji Bakri Syahid, al-Huda, yakni kitab tafsir Alquran. - (DOK THE GLOBAL QURAN)

Menulis Kitab Tafsir Berbahasa Jawa
Ada yang unik dari kitab Al-Huda. Inilah buku tafsir Alquran 30 juz yang berbahasa Jawa (Jawi) dengan aksara Latin. Penulisnya bukanlah seorang ulama dengan latar belakang pondok pesantren, melainkan seorang kader brilian Persyarikatan Muhammadiyah. Dialah Brigjen (Purn) Haji Bakri Syahid.

Tentu saja, sang purnawirawan TNI memiliki kepakaran yang sangat mumpuni dalam bidang ilmu tafsir. Sebelum naik cetak, karyanya itu pun ditelaah sekurang-kurangnya dua tokoh alim. Mereka adalah Kiai Penghulu KRT Haji Wardan Dipaningrat dan Ustaz Rahmat Qasim.

Seperti dikutip dari buku 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi, kitab Al-Huda ditulis Haji Bakri atas permintaan orang-orang keturunan Jawa di Suriname. Proses penulisan dimulai sejak dirinya menjabat asisten sekretaris presiden RI. Semula, ia secara diam-diam menyusun naskahnya, tanpa diketahui para kerabat dan sahabatnya.

Tidak diketahui secara pasti, mengapa Bakri pada awalnya menulis draf kitab tafsir itu secara “rahasia". Yang jelas, proses penyusunan buku tersebut terus berlangsung hingga tahun 1970-an. Dengan perkataan lain, periode ketika ia menjadi rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 
Tidak diketahui secara pasti, mengapa Bakri pada awalnya menulis draf kitab tafsir itu secara “rahasia".
 
 

Suatu sumber menyebutkan, Haji Bakri mulai berikhtiar menulis sebuah kitab tafsir karena terenyuh saat bertamu ke rumah Syekh Abdul Manan di Haramain, Arab Saudi. Di sana, ia menjumpai beberapa orang Muslim asal Suriname dan warga Singapura. Walaupun datang dari negara-negara yang berbeda, mereka semua sama-sama keturunan Jawa dan fasih berbahasa Jawi.

Dari obrolan dengan para tamu itu, terungkaplah bahwa selama ini belum ada buku tafsir Alquran yang berbahasa Jawi dengan aksara Latin. Itulah yang kemudian memotivasinya sebagai seorang mufasir. Jerih payahnya berakhir manis dengan terbitnya kitab Al-Huda pada tahun 1979.

Secara karakteristik, Al-Huda dapat digolongkan sebagai sebuah kitab tafsir yang menggabungkan antara ijmali dan tahlili. Sebab, di dalamnya sang penulis tidak hanya memaparkan penjelasan tentang ayat-ayat Alquran secara umum. Di beberapa tempat, ia juga menjelaskan secara perinci.

Tentu, buah penanya tidak hanya Al-Huda. Ada cukup banyak karya Haji Bakri. Sebut saja, Tata Negara RI, Ilmu Jiwa Sosial, Kitab Fiqih, dan Kitab Aqoid. Sebagian dari buku-buku itu ditulisnya tatkala masih menjadi mahasiswa.

KH Mas Mansur Sang Pembangkit Nasionalisme

KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur turut berjasa dalam menyebarkan kesadaran akan cinta pada Tanah Air. 

SELENGKAPNYA

Keagungan Akhlak Rasulullah SAW

Akhlak mulia adalah apa yang membawa kemaslahatan bagi dunia, agama, dan akhirat.

SELENGKAPNYA

Ustaz Faisol Nasar Kembali Nahkodai Al Irsyad

Al Irsyad akan menggenjot bidang pendidikan dan memperbanyak amal usaha.

SELENGKAPNYA