
Tokoh
KH Mas Mansur Sang Pembangkit Nasionalisme
KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur turut berjasa dalam menyebarkan kesadaran akan cinta pada Tanah Air.
OLEH HASANUL RIZQA
Ada banyak ulama berwawasan modernis dalam paruh awal abad ke-20 di Indonesia. Di antaranya adalah ulama kelahiran Surabaya tahun 1896, KH Mas Mansur. Ketua umum PP Muhammadiyah periode 1937-1941 ini berasal dari keluarga yang terhormat.
Ibundanya, Raulah, merupakan keturunan pendiri Pesantren Sidoresmo, Wonokromo. Adapun ayahnya, KH Mas Ahmad Marzuki, merupakan imam dan khatib Masjid Agung Ampel Surabaya. Dari pernikahannya dengan Raulah, pria yang masih tergolong bangsawan dari Astatinggi, Madura, ini dikaruniai 16 anak. KH Mas Mansur merupakan anak ke-14.
Hubungan keluarga KH Mas Mansur dengan organisasi Muhammadiyah telah terjalin sejak lama. Seperti disebutkan dalam situs resmi PP Muhammadiyah, ayahanda dan Mas Mansur bersahabat baik dengan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Pendidikan awal yang diterima Mas Mansur berlangsung di Pesantren Sawahan atas bimbingan sang ayah dan KH Mas Thoha. Di antara ilmu-ilmu yang ditekuninya adalah tata bahasa Arab sebagai bekalnya kelak bermukim di Haramain.
Selanjutnya, saat berusia 10 tahun Mas Mansur belajar di Pesantren Demangan yang dipimpin seorang ulama termasyhur seantero Jawa-Madura, KH Kholil. Banyak murid KH Kholil yang kemudian menjadi kiai besar.
Pendidikan awal yang diterima Mas Mansur berlangsung di Pesantren Sawahan atas bimbingan sang ayah dan KH Mas Thoha.
Cakupan keilmuan tokoh asal Bangkalan ini memang luas, mulai dari nahwu, sharaf, sastra, fiqih, hingga tasawuf. Di Pesantren Demangan, Mas Mansur juga menekuni kitab Alfiyah Ibnu Malik.
Belum tuntas belajar di sana, KH Kholil wafat sehingga keluarga Mas Mansur memutu kan untuk membawa putra tercintanya itu pulang ke Surabaya. Mas Mansur akhirnya mendapatkan kesempatan besar. Pada 1908, dalam usia 12 tahun dia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan pendidikan.
Mas Mansur ditemani KH Muhammad dan KH Hasbullah. Oleh orang tuanya, Mas Mansur diarahkan agar sesampainya di Haramain belajar pada KH Mahfudz Termas. Sosok ini merupakan seorang ulama Jawi di Masjid al-Haram yang berasal dari pondok pesantren Termas, Jawa Tengah.
Namun, situasi politik lokal yang tak menentu memaksa orang-orang non-Arab untuk hijrah dari Makkah. Mas Mansur memutuskan untuk pergi ke Kairo, meskipun sempat tidak mendapatkan restu dari orang tuanya. Sebab, sang ayah masih beranggapan, Kairo merupakan kota besar yang sarat maksiat akibat ekses budaya Barat.
Situasi politik lokal yang tak menentu memaksa orang-orang non-Arab hijrah dari Makkah. Mas Mansur pergi ke Kairo, meskipun sempat tidak mendapatkan restu orang tuanya.
Bila Mas Mansur masih ingin tinggal di Kairo, ayahnya tidak mau membiayai kesehariannya. Akan tetapi, Mas Mansur tidak melihat alternatif selain meneruskan pendidikan di Kairo. Selama di ibu kota Mesir itu, Mas Mansur menjalani hidupnya dengan sederhana dan penuh disiplin. Sebab, selama satu tahun pertama dia tidak lagi mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya.
Dia kerap berpuasa sunnah dan bermalam di masjid-masjid untuk memeroleh makanan atau uang sekadarnya dari jamaah atau kenalan setempat. Sesudah masa satu tahun itu, orang tuanya akhirnya memberikan pengertian dan membiayai seperti biasa keperluan sehari-hari Mas Mansur.
Di Universitas al-Azhar, Mas Mansur belajar antara lain pada Syekh Ahmad Maskawih. Dia termasuk kelompok mahasiswa yang mengalami pertumbuhan ide-ide modernisme dan nasionalisme di Asia Barat.
Mas Mansur memanfaatkan kesempatan belajar dua tahun lamanya di Mesir ini untuk membaca sebanyak-banyaknya literatur. Pada 1915, Mas Mansur kembali ke Tanah Air dari Makkah dengan terlebih dahulu singgah satu tahun lamanya.
Di Indonesia saat itu sedang gencar perkembangan Sarekat Islam (SI). KH Mas Mansur pun aktif di organisasi tersebut sepulangnya dari Tanah Suci. SI kala itu sedang dipimpin HOS Tjokroaminoto, tokoh yang begitu disegani di Surabaya.
Dia kerap berpuasa sunnah dan bermalam di masjid-masjid untuk memeroleh makanan atau uang sekadarnya dari jamaah atau kenalan setempat.
Dalam susunan organisasi, KH Mas Mansur duduk sebagai penasihat Pengurus Besar Sarekat Islam. Bagaimanapun, dia tidak membatasi aktivitas dakwah dan organisasinya pada SI semata. Bersama dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Mas Mansur ikut mendirikan majelis Taswir al-Afkar. Ini untuk menggerakkan dakwah pencerahan untuk masyarakat Surabaya, khususnya generasi muda agar terhindar dari kejumudan berpikir.
Ulama dan para muridnya di dalam Taswirul Afkar mengadakan pengajian di masjid secara rutin. Di dalamnya, mereka tidak hanya membahas persoalan keagamaan Islam, melainkan juga sosial dan politik pada umumnya dalam menghadapi penjajahan.
KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur turut berjasa dalam menyebarkan kesadaran akan cinta pada Tanah Air. Inilah benih awal nasionalisme di Indonesia. Selain Taswir al-Afkar, dua tokoh tersebut juga mengilhami berdirinya Nahdlatul Wathan yang berfokus pada pendidikan.
Selanjutnya, terbentuklah tiga madrasah penting, yakni Khitab al-Wathan, Ahl al-Wathan, Far'u al-Wathan, dan Hidayah al-Wathan. Masing-masing berdiri di Wonokromo, Gresik, dan Jombang. Belakangan, perbedaan pendapat antara dirinya dan KH Abdul Wahab Hasbullah menyebabkan KH Mas Mansur mengundurkan diri dari Taswir al-Afkar.
KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur turut berjasa dalam menyebarkan kesadaran akan cinta pada Tanah Air.
Pers dan jurnalistik
KH Mas Mansur bergiat juga di dunia jurnalistik. Dia pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya. Dia juga pernah mendirikan sedikitnya dua majalah, yaitu Suara Santri dan Jinem, untuk membuka wadah literasi bagi masyarakat setempat.
Melalui keduanya pula, KH Mas Mansur mengajak masyarakat untuk meninggalkan sikap jumud. Suara Santri terbilang sukses sebagai wahana literasi masyarakat Surabaya, sedangkan Jinem yang terbit dua kali dalam sebulan dapat menjangkau lintas kalangan.
Dalam majalah ini, redaksi menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab. KH Mas Mansur juga menuangkan pemikirannya pada pelbagai media massa lain di Surabaya. Misalnya, Siaran dan Kentungan di Surabaya, Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta, Panji Islam dan Pedoman di Medan, serta Adil di Solo.
Selain artikel-artikel majalah, KH Mas Mansur juga menulis sejumlah buku, seperti Hadits Nabawiyah, Syarat Sahnya Menikah, Risalah Tauhid dan Syirik, serta Adab al-Bahts wa al-Munadharah.
Pada 1921, KH Mas Mansur bergabung dengan Muhammadiyah. Sebelum adanya cabang Muhammadiyah di Surabaya, hubungan antara KH Mas Mansur dan KH Ahmad Dahlan terbina dengan amat baik.
Pada 1921, KH Mas Mansur bergabung dengan Muhammadiyah. Sebelum adanya cabang Muhammadiyah di Surabaya, hubungan antara KH Mas Mansur dan KH Ahmad Dahlan terbina dengan amat baik.
Saat berdakwah di Surabaya, KH Ahmad Dahlan kerap menginap di rumah keluarga KH Mas Mansur. Surabaya merupakan dapur nasionalisme yang menumbuhkan semangat kebangsaan. Ceramah-ceramah KH Ahmad Dahlan di sana kerap dihadiri para tokoh nasionalis muda, semisal Sukarno dan Roeslan Abdul Gani.
Masuk Muhammadiyah
Pengaruh Muhammadiyah di Surabaya kian besar berkat upaya-upaya dari KH Mas Mansur. Pada awalnya, dia menjabat sebagai ketua cabang Muhammadiyah Surabaya dan lalu konsul Muhammadiyah untuk wilayah Jawa Timur.
Selanjutnya, dia ditarik ke pusat Muhammadiyah. Sebagai hasil dari Kongres ke-26 Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1937, KH Mas Mansur menerima amanah sebagai ketua umum untuk periode 1937-1943.
Amanah itu lebih sebagai sintesis dari pertentangan yang sempat terjadi antara golongan tua dan golongan muda di dalam tubuh Muhammadiyah. Dalam kongres tersebut, golongan muda Muhammadiyah merasa organisasi itu terlampau didominasi kepentingan golongan tua, yang diwakili tiga tokoh senior yakni KH Hisyam selaku ketua pengurus pusat, KH Mukhtar selaku wakil ketua, dan KH Syuja' sebagai ketua bagian Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) Muhammadiyah.
Dalam kepemimpinannya, pengurus pusat Muhammadiyah lebih memberi ruang pada kiprah golongan muda yang mumpuni dan berkemajuan.
Untuk meredam kekecewaan golongan muda, dalam Muktamar ke-26 Muhammadiyah, ketiga sosok sepuh ini dengan ikhlas bersedia mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum. Selanjutnya, nama Ki Bagus Hadikusumo diusulkan menjadi ketua umum tetapi yang bersangkutan menolaknya.
Demikian pula dengan KH Hadjid. Akhirnya, tawaran diajukan kepada KH Mas Mansur dari Surabaya yang pada mulanya menolak. Namun, setelah berdialog dengan intens dan melihat situasi dalam organisasi itu sendiri, KH Mas Mansur pun bersedia mengemban amanah itu.
Dalam kepemimpinannya, pengurus pusat Muhammadiyah lebih memberi ruang pada kiprah golongan muda yang mumpuni dan berkemajuan. KH Mas Mansur merancang 12 kebijakan yang dirangkumnya dalam Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Salah satunya adalah mengimbau agar para pengurus Muhammadiyah lebih memanfaatkan kantor Muhammadiyah untuk membahas urusan-urusan terkait organisasi ini.
Sebelum era KH Mas Mansur, para pimpinan kerap melakukan hal itu di rumah masing-masing, meskipun Muhammadiyah telah memiliki kantor dan jajarannya. Namun, kebijakan KH Mas Mansur ini tidak lantas membatasi silaturahim biasa antara tokoh-tokoh yang ingin mengunjungi kediaman pimpinan Muhammadiyah.
Kebijakan lainnya dari KH Mas Mansur terkait dengan ekonomi. Dalam kepemimpinan dialah Muhammadiyah memfatwakan bahwa hukum bank adalah haram tetapi diperkenankan atau dimaafkan sejauh keadaan yang memaksa. Alasan di balik ini, KH Mas Mansur melihat umat Islam dalam situasi yang memprihatinkan, dengan tetap memerhatikan bahwa bank dengan sistem bunganya berpeluang pada riba.
KH Mas Mansur juga tidak melepaskan dunia politik dari kiprahnya.
KH Mas Mansur juga tidak melepaskan dunia politik dari kiprahnya. Memang, sebelum terjun ke Muhammadiyah, dia telah menjalani serangkaian aktivitas politik yang menyuarakan kepentingan umat Islam.
KH Mas Mansur merupakan seorang pencetus berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Demikian pula dengan Partai Islam Indonesia, yang digagasnya bersama dengan Dr Sukiman.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia dan mengusir Belanda, pemerintah pendudukan Negeri Matahari Terbit itu memanfaatkan ketokohan beberapa sosok kaliber nasional. Nama KH Mas Mansur termasuk di dalamnya, bersama dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, membentuk Empat Serangkai.
Belakangan, begitu tahu bagaimana kedok Jepang untuk membuai dan menyiksa orangorang Indonesia demi pertempuran Perang Asia Timur Raya, KH Mas Mansur mundur dari Empat Serangkai. Posisinya digantikan Ki Bagus Hadikusumo.
Meskipun Jepang-lah yang membentuk Empat Serangkai, para tokoh Indonesia saat itu melihat lembaga ini juga sebagai suatu ajang yang tepat dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia kelak.
Begitu mundur dari Empat Serangkai, KH Mas Mansur mesti pindah dari Jakarta kembali ke Surabaya. Selanjutnya, waktu terus beriring dan tibalah saatnya Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Gelombang semangat meliputi seluruh orang Indonesia, mulai dari akar rumput hingga pimpinan negara. KH Mas Mansur ikut dalam memimpin barisan pemuda yang melawan militer Belanda. Saat itu, secara pengecut Belanda menumpang pada rombongan NICA yang datang ke Indonesia dengan tujuan membawa pulang tentara Sekutu yang ditahan Jepang di Indonesia.
Pertempuran pun terjadi antara tentara pejuang Indonesia dan tentara Belanda/NICA. Saat itulah, KH Mas Mansur ditangkap pihak musuh dan ditahan. Pada 25 April 1946, KH Mas Mansur wafat di dalam tahanan. Kini, nama tokoh Muhammadiyah itu telah diakui sebagai seorang pahlawan nasional Indonesia.
Sepanjang hayatnya, KH Mas Mansur telah menikah dengan Siti Zakiyah dan dikaruniai enam anak. Selanjutnya, dia juga menikah dengan Halimah, meskipun hanya dua tahun lamanya karena pada 1939 istrinya itu wafat.
Disadur dari Harian Republika edisi 08 Oktober 2017
Inspirasi dari Ayat Bencana
Akal manusia tak akan mampu menangkap maksud mengapa Allah mendatangkan gempa.
SELENGKAPNYAAkhlak Muslimah Calon Tetangga Rasulullah SAW di Surga
Ada sepuluh akhlak bagi Muslimah yang ingin menjadi tetangga Rasulullah SAW kelak di surga.
SELENGKAPNYASiti Walidah Dahlan, Perempuan Pejuang dari Aisyiyah
Menantang zaman mengangkat derajat perempuan.
SELENGKAPNYA