ILUSTRASI Dinasti Mughal didirikan oleh tokoh yang masih keturunan Genghis Khan melalui nasab Timur Lenk. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Awal Mula Imperium Mughal

Kerajaan Islam di India ini berkembang pesat dalam era pemerintahan Sultan Akbar.

OLEH HASANUL RIZQA

Sejak awal abad kedelapan Masehi, dakwah agama tauhid telah sampai ke Anak Benua India. Selama ratusan tahun berikutnya, berbagai dinasti silih berganti menguasai region tersebut. Barulah pada abad ke-16 M, terbentuklah sebuah kerajaan Islam yang stabil hingga era modern.

Dinasti Muslim yang dimaksud adalah Mughal. Pada masa keemasan, kerajaan tersebut sangat makmur. Nyaris seperempat dari total nilai produksi (gross domestic product/GDP) dunia dikendalikan olehnya. Wilayah kekuasaannya membentang di seluruh Anak Benua India dan sebagian Afghanistan.

Michael H Fisher dalam A Short History of the Mughal Empire menjelaskan, Kesultanan Mughal bertahan tiga abad lamanya. Jumlah penduduknya pernah mencapai 150 juta jiwa. Mereka terdiri atas umat banyak agama, bukan hanya Muslimin. Hal itu menjadikannya kerajaan Islam yang berwatak majemuk.

Riwayatnya bermula dari sosok pendirinya, yakni Mirza Zahiruddin Muhammad (1483-1530). Lelaki keturunan Genghis Khan itu lebih dikenal dengan gelarnya, Babur (harfiah: harimau). Ia lahir di Andijan (kini Uzbekistan) pada 1483 M. Sebelum mendirikan Mughal, generasi kelima pasca-Timur Lenk (1336-1405) itu menguasai sebagian Transoxiana, Kabul, dan Kandahar selama beberapa dekade.

photo
Cover Islam Digest edisi Ahad 20 November. Dinasti Mughal Dalam Sejarah. - (Islam Digest/Republika)

Mulai tahun 1519 M, Babur berupaya menaklukkan Hindustan atau India utara. Untuk itu, ia mesti berhadapan dengan Kerajaan Delhi. Bagi pemimpin Muslim berdarah Mongol itu, operasi militer tersebut merupakan upaya untuk mendapatkan kembali “warisan” leluhur. Sebab, dahulu kala Delhi merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Timur Lenk.

Babur bersekutu dengan Dawltan Khan, pemimpin Punjab. Dalam Perang Panipat I pada tahun 1526, aliansi tersebut berhasil mengalahkan pasukan Raja Ibrahim Lodi. Maka berakhirlah riwayat Kerajaan Delhi yang telah berdiri selama tiga abad.

Mayoritas penduduk Hindustan saat itu adalah pemeluk Hindu. Kehidupan sosial mereka menerapkan kasta, yang terdiri atas kaum brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Di luar sistem tersebut, pembagian masyarakat didasarkan pula pada garis keturunan (jati) dan klan ningrat (rajput).

Ketika Babur berkuasa, terdapat dua rajput yang mendominasi Hindustan, yaitu Sisodia dan Rathors. Sementara itu, orang-orang Islam di sana dianggap sebagai sekelompok jati. Sebab, umumnya Muslimin tersebut merupakan orang-orang keturunan Mongol dari Asia tengah.

photo
ILUSTRASI Lukisan yang menggambarkan para pemuka Dinasti Mughal di India. Kerajaan Islam tersebut mengalami pasang surut sejak era kepemimpinan Akbar Agung hingga Aurangzeb. - (DOK WIKIPEDIA)

Babur berusaha membangun solidaritas masyarakat yang majemuk untuk mendukung pemerintahannya. Ia pun menikah dengan perempuan ningrat dari kelompok rajput Hindu setempat. Belakangan, putra-putranya pun mempersunting pasangan dari keluarga elite lokal meskipun berlainan agama.

Menurut Fisher, Babur tidak terlalu ortodoks dalam menafsirkan status kaum Hindu. Baginya, mereka dapat disamakan dengan kalangan ahl al-kitab, semisal Kristen dan Yahudi. Rakyatnya yang beragama Hindu diperlakukan sebagai kafir dzimmi, yakni non-Muslim yang dilindungi hak-haknya selama mereka membayar pajak diri (jizyah).

Besaran jizyah itu pun tidak terlalu memberatkan. Bahkan, para raja sesudah era Babur cenderung tidak memandang penting pungutan tersebut. Mereka sering kali tidak menarik pajak demikian dari rakyatnya yang non-Muslim.

photo
Patung Timur Lenk di Asia tengah. Tokoh Muslim berdarah Turki ini menjadi pemimpin Mongol yang sangat disegani. - (DOK PIXABAY)

Sejarah awal

Alih-alih Mughal, Timuriyah (Timurid) merupakan nama yang dipilih Babur untuk dinasti yang didirikannya di India. Hal itu mengisyaratkan, sang raja bersandar pada legasi kakek buyutnya, yakni Timur Lenk. Akan tetapi, kerajaan tersebut lebih dikenal dengan sebutan Mughal dalam teks-teks sejarah sejak abad ke-19 M.

Terminologi itu merupakan serapan dari bahasa Arab atau Persia untuk kata Mongol. Secara budaya, Babur dan anak keturunannya lebih dekat dengan kultur Persia, alih-alih Turki-Mongol seperti halnya Genghis Khan—sang leluhur yang selalu mereka banggakan.

Maka dari itu, Babur turut berjasa dalam menghadirkan warna budaya Persia ke Anak Benua India. Sebelum pendiri Dinasti Mughal itu berkuasa, penduduk setempat telah hidup 75 tahun lamanya di bawah pemerintahan Delhi, yang kental akan budaya Afghan dan berbahasa Pashtun. Bagaimanapun, mayoritas masyarakat terbiasa dengan budaya Hindu dan bahasa Sanskerta, bahkan jauh sebelum Islam datang.

Untuk menegaskan dominasinya di Hindustan, tidak ada jalan bagi Babur selain ekspansi militer. Dalam sejumlah peperangan pasca-Panipat I, kubu-kubu musuh selalu menganggapnya sebagai orang asing. Sebab, ia dan anak keturunannya dinilai tidak berasal dari ranah budaya Afghan-Pashtun ataupun Hindu-Sanskerta.

 
Dalam serangkaian pertempuran, pihak Babur selalu menang. Pasukannya memiliki keunggulan dalam segi persenjataan.
 
 

Dalam serangkaian pertempuran, pihak Babur selalu menang. Pasukannya memiliki keunggulan dalam segi persenjataan. Pada masanya, mereka telah mahir menggunakan bubuk mesiu dan meriam untuk melontarkan peluru. Sementara itu, musuh-musuhnya cenderung mengandalkan kekuatan tentara gajah.

Babur meninggal dunia pada tahun 1530. Putra sulungnya yang bernama Humayun kemudian menggantikan posisinya. Dirinya masih berusia 22 tahun tatkala naik menjadi raja. Pemerintahannya berjalan kurang efektif. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar India sehingga masyarakat dan tokoh-tokoh setempat tidak menaruh respek terhadapnya.

Kepemimpinan yang lemah menyebabkan Dinasti Mughal kian rentan. Ancaman paling besar datang dari Kerajaan Sur. Pada 1539-1540 M, terjadilah Perang Chausa dan Bilgram. Humayun menderita kekalahan. Penguasa Sur, Sher Shah, berhasil mengambil alih Hindustan dan mengembangkan budaya Afghan-Pashtun di sana.

Sekitar 15 tahun kemudian, Dinasti Mughal dapat merebut kembali Hindustan dari tangan Wangsa Sur. Pada 1556 M, Humayun wafat. Tampuk kepemimpinan diteruskan kepada seorang putranya yang bernama Abul Fatah Jalaluddin Muhammad Akbar. Tokoh inilah yang sukses membawa Kesultanan Mughal ke puncak kejayaan selama lebih dari empat dekade.

photo
Sultan Akbar I. Raja Dinasti Mughal ini membangun Fatehpur Sikri sebagai ibu kota baru setelah Agra - (DOK WIKIPEDIA)

Muhammad Akbar masih berusia 14 tahun saat ayahnya meninggal. Karena itu, sultan muda tersebut belum bisa memegang tongkat komando. Seorang panglima militer Mughal, Bairam Khan, lalu ditunjuk sebagai wazir yang secara de facto mengendalikan pemerintahan.

Bairam merupakan tokoh kunci di balik kemenangan Mughal atas Sur. Ia sukses memimpin pasukannya dalam mengambil alih kota-kota penting, seperti Agra, Gwalior, Jaunpur, dan Delhi. Namun, pencapaiannya itu berbanding terbalik dengan nasib yang dialaminya di dunia politik.

Bairam terpental dari kursi wazir. Banyak mantan prajurit yang membelanya, tetapi mereka tidak berdaya di hadapan pengaruh ibu suri Sultan Akbar. Setelah kematian Bairam pada 1561 M, wanita itu langsung mengendalikan jalannya pemerintahan. Hal itu dilakukannya hingga putranya cukup umur untuk memimpin kerajaan.

Akbar Agung

Tidak seperti ayahnya, Muhammad Akbar mempelajari dengan sungguh-sungguh watak masyarakat India yang heterogen. Kemajemukan rakyat tidak hanya tampak pada sisi agama-agama yang mereka peluk, tetapi juga budaya dan struktur sosial. Raja muda itu menganggap keberagaman tersebut sebagai potensi, alih-alih ancaman, untuk keutuhan negerinya.

Tokoh kelahiran Sind (India barat) itu merangkul kelompok-kelompok rajput Hindu. Beberapa di antara mereka bahkan terikat hubungan keluarga melalui pernikahan, yang dilakukan dirinya ataupun orang-orang elite Mughal dengan putri-putri ningrat Hindu. Pada tahun 1579, Akbar juga meniadakan kewajiban jizyah atas rakyatnya yang beragama non-Islam. Alhasil, dirinya memiliki semakin banyak simpatisan dari masyarakat yang bineka.

Rakyat menjulukinya sebagai “Sultan Akbar yang Agung.” Raja Muslim tersebut menghadirkan kedaulatan Mughal baik dalam bidang militer, ekonomi, maupun sosial-budaya. Ia membangun dinas ketentaraan yang tangguh serta dilengkapi persenjataan yang canggih pada masanya. Selama 49 tahun sang sultan memerintah, wilayah kekuasaannya mencakup nyaris seluruh Anak Benua India.

photo
Peta Anak Benua India pada abad ke-18 M. - (DOK WIKIPEDIA)

Kesejahteraan diwujudkannya melalui pemerataan akses-akses ekonomi untuk seluruh rakyat. Konon, nilai kekayaan negeri Mughal di sepanjang periode Sultan Akbar mencapai sekurang-kurangnya 10,6 miliar dolar AS per tahun. Sebagai perbandingan, Ratu Elizabeth I yang memimpin Inggris Raya dalam kurun tahun 1558-1603—kira-kira sezaman dengan sang raja Mughal—menghasilkan rata-rata 163 juta dolar AS per tahun.

Sultan Akbar menerapkan sistem birokrasi yang lebih menghargai kemampuan individu, alih-alih identitas suku atau agama. Tidak sedikit penasihatnya yang berasal dari kalangan Hindu atau umat agama-agama lainnya. Kebijakannya yang pro-kebinekaan terasa hingga ke luar istana.

Umpamanya, ia mengangkat hakim-hakim dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Dengan demikian, masyarakat bisa mengikuti pengadilan sesuai dengan kitab suci agama mereka masing-masing.

 
Sultan Akbar membangun banyak infrastruktur publik untuk mendukung kemajuan Mughal. Ribuan sekolah, pusat penelitian, dan perpustakaan didirikannya.
 
 

Sultan Akbar membangun banyak infrastruktur publik untuk mendukung kemajuan Mughal. Ribuan sekolah, pusat penelitian, dan perpustakaan didirikannya. Semua itu terbuka untuk Muslim maupun non-Muslim. Beberapa kota di negerinya, semisal Agra, Delhi, atau Fatehpur Sikri, pun menjadi mercusuar peradaban.

Tidak sedikit sarjana dari penjuru dunia hijrah ke Mughal. Di antara bidang-bidang yang menjadi fokus mereka adalah matematika, geografi, astronomi, dan sejarah. Istana menggaji para ilmuwan sehingga penghidupan kaum intelektual itu terjamin.

Di antara proyek-proyek kenegaraan yang mereka kerjakan adalah penerjemahan banyak teks ilmu dari bahasa Sanskerta, Portugis, dan lain-lain ke Persia—bahasa resmi kesultanan. Alih bahasa juga dilakukan atas epos Mahabharata dan Ramayana. Sering kali, Sultan Akbar ikut terlibat dalam aktivitas penerjemahan ini.

Pada 27 Oktober 1605, raja tersebut wafat dalam usia 63 tahun. Putranya yang bernama Muhammad Salim kemudian naik menggantikan posisinya. Penerus Akbar Agung itu bergelar Jahangir, yang secara harfiah berarti 'penakluk dunia'.

Pesantren Cetak Generasi Berakhlak

Ponpes hadir untuk menghindari munculnya generansi yang kehilangan keteladanan.

SELENGKAPNYA

Qatar Mendadak Haramkan Bir di Piala Dunia

Piala Dunia Qatar 2022 memang tak berjalan baik-baik saja sejak lama.

SELENGKAPNYA

Rodrygo: Status Favorit Juara tak Bermakna

Piala Dunia kali ini dimainkan dalam momen yang tak biasa.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya