Kisah
Teladan Ibnu Ummi Maktum
Keterbatasan fisik tidak lantas melemahkan ketaatan Ibnu Ummi Maktum kepada Allah dan Rasul SAW.
OLEH HASANUL RIZQA
Di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, ada seorang yang menyandang disabilitas. Dialah Abdullah bin Ummi Maktum. Keterbatasan fisik tidak lantas melemahkan ketaatannya kepada Allah dan Rasul SAW.
Kebutaan tidak menjadi alasan baginya untuk enggan pergi ke masjid atau menghadiri majelis ilmu. Ia tetap berangkat ke Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat jamaah serta mendengarkan dakwah Rasulullah SAW. Bahkan, kedua hal itulah yang paling menyenangkan hatinya.
Walaupun tidak bisa melihat, Ibnu Ummi Maktum terkenal peka terhadap waktu. Ia dapat mengetahui masuknya waktu shalat dengan tepat. Karena itu, Nabi SAW membolehkannya untuk mengumandangkan azan bilamana Bilal bin Rabah berhalangan.
Walaupun tidak bisa melihat, Ibnu Ummi Maktum terkenal peka terhadap waktu.
Semangatnya dalam beribadah didasari niat ikhlas lillahi ta’ala. Allah pun meridhai langkah-langkahnya yang menuju kebajikan. Hal itu tersirat dalam perkataan Rasul SAW ketika berjumpa dengannya, “Selamat datang wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik.”
Pernah beliau bertanya kepadanya, “Sejak kapan engkau kehilangan penglihatan?”
“Sejak kecil, ya Rasulullah,” jawab Ibnu Ummi Maktum.
Kemudian, Nabi SAW bersabda, “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas kecuali surga'.”
Menghadapi teguhnya iman sang sahabat Nabi, iblis sampai-sampai kehabisan akal. Biasanya, musuh Allah itu amat gemar merintangi Muslimin yang hendak berjamaah di masjid dengan pelbagai bujuk rayu. Namun, makhluk itu justru “menolong” Ibnu Ummi Maktum dalam perjalanan ke Masjid Nabawi.
Dikisahkan, sang sahabat dihampiri seorang pemuda saat sedang berjalan menuju masjid. Remaja tersebut dengan sangat hati-hati menuntunnya sehingga perjalanan ke Masjid Nabawi tidak terkendala satu kerikil pun.
Menghadapi teguhnya iman sang sahabat Nabi, iblis sampai-sampai kehabisan akal.
Sesampai di tujuan, Ibnu Ummi Maktum tidak hanya berterima kasih kepada penolongnya itu. Ia pun ingin mendoakannya.
“Tolong sebutkan namamu,” kata Ibnu Ummi Maktum.
“Lebih baik tidak perlu kusebutkan,” kata si pemuda.
Tiga kali sahabat Rasul itu mengajukan permintaan. Namun, jawaban yang sama pun disampaikan oleh lelaki penolong tersebut. Ibnu Ummi Maktum kemudian berkata, “Jika demikian sikapmu, cukuplah sampai di sini saja engkau menuntunku ke masjid. Aku tidak mau engkau menolongku lagi karena engkau tidak mau didoakan.”
Akhirnya, si pemuda mengungkapkan alasannya. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis.”
Terkejut mendengar jawaban itu, lelaki buta tersebut bertanya lagi, “Lantas, mengapa kamu menuntunku ke masjid dengan selamat? Bukankah semestinya kamu mencegahku sampai ke masjid?”
“Mungkin engkau sudah lupa. Beberapa waktu lalu, engkau berjalan sendirian ke masjid dan kakimu tersandung batu. Apa yang kau ucapkan saat terjatuh? Engkau justru berdoa kepada Allah. Dia lalu mengampuni dosamu yang separuh,” jelas Iblis.
“Maka, aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Aku takut kalau engkau jatuh lagi dalam perjalanan ke masjid, Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi. Jika begitu, sia-sialah kami menggodamu selama ini,” sambungnya.
Asbabun nuzul
Abdullah bin Ummi Maktum juga dikenang dalam konteks turunnya beberapa surah Alquran. Pertama, asbabun nuzul surah Abasa sebanyak 16 ayat sekaligus. Ketika itu, ia hendak menemui Nabi SAW lantaran ingin menanyakan perihal hukum suatu perkara. Namun, pada saat bersamaan beliau sedang menerima kedatangan sejumlah petinggi Quraisy.
“Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku hukum Allah tentang hal ini dan ini,” kata sahabat yang buta itu.
Akan tetapi, Nabi SAW justru kali ini memalingkan wajahnya dari sahabat tersebut. Allah lalu menurunkan 16 ayat surah Abasa kepada beliau.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan, adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera. Sedang ia takut kepada (Allah) maka kamu mengabaikannya, sekali-kali jangan! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Maka, barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya...” (QS Abasa)
Kalamullah lainnya yang turun berkenaan dengan keadaan Ibnu Ummi Maktum adalah an-Nisa ayat 95. Beberapa waktu usai Perang Badar, turun firman Allah yang menyatakan, “Tidaklah sama antara orang Mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang).” Maksudnya, mujahid dan mereka yang tidak turut berjihad tidak berkedudukan sama.
Mendengar ayat itu, Ibnu Ummi Maktum kemudian berdoa kepada-Nya. Sang sahabat sungguh ingin turut berjihad, tetapi kebutaan yang dialaminya tidak memungkinkan hal itu.
Maka turunlah wahyu kepada Rasul SAW, yakni an-Nisa ayat 95. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa mereka yang memiliki keterbatasan fisik diberikan dispensasi untuk tak ikut berperang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Diseminasi Tarekat Syattariyah di Nusantara
Di antara para pengikut atau pengagum Tarekat Syattariyah adalah Pangeran Diponegoro.
SELENGKAPNYATelusur Sejarah Tarekat Syattariyah
Kembalinya Abdurrauf dari Haramain bisa dianggap awal masuknya Tarekat Syattariyah ke dunia Melayu.
SELENGKAPNYAUtamakan Material yang Nyaman
Pakaian yang tepat pada musim hujan adalah yang terasa nyaman saat dipakai oleh seseorang.
SELENGKAPNYA