Cover Islam Digest edisi Ahad 23 Oktober 2022. Muktamar Muhammadiyah Dalam Sejarah | Islam Digest/Republika

Tema Utama

Muktamar Muhammadiyah Dalam Sejarah

Setiap muktamar merepresentasikan tonggak sejarah Muhammadiyah.

OLEH MUHYIDDIN

Persyarikatan Muhammadiyah akan menyelenggarakan Muktamar ke-48. Acara tersebut dijadwalkan berlangsung di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 19-20 November 2022. Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menunda gelaran muktamar lantaran pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia.

Menurut Anggaran Dasar (AD) Muhammadiyah yang berlaku sejak 1426 H/2005 M hingga saat ini, muktamar diadakan tiap lima tahun sekali. Forum tersebut menjadi permusyawaratan tertinggi dalam Persyarikatan. Melalui acara itu, ketua umum Muhammadiyah beserta jajarannya yang akan berkhidmat dalam periode mendatang dipilih dan ditetapkan.

Bila melihat pada histori, tercatat sebanyak 15 ketua umum yang pernah menakhodai gerakan Islam ini. Jumlah itu sudah termasuk sang pejawat (incumbent), Prof Haedar Nashir. Masing-masing mereka menorehkan prestasi dan legasi untuk generasi sezaman dan sesudahnya. Maka dari itu, muktamar Muhammadiyah dapat dipandang sebagai tonggak yang menandai derap maju Persyarikatan di dalam sejarah.

 
Muktamar Muhammadiyah dapat dipandang sebagai tonggak yang menandai derap maju Persyarikatan di dalam sejarah.
 
 

Mengutip Suara Muhammadiyah Edisi XII/2021, istilah muktamar mulai termaktub dalam AD Muhammadiyah sejak kira-kira 76 tahun silam. Penggunaan terminologi itu mengacu pada Putusan Perundingan Silaturahim Muhammadiyah di Yogyakarta tanggal 24-26 November 1946.

Adapun penamaan muktamar sebagai forum tertinggi di lingkungan Persyarikatan diawali pada 1950. Sebelum itu, nama yang biasanya dipakai adalah kongres. Lebih jauh lagi, pada masa-masa awal yakni periode 1912-1921, organisasi masyarakat (ormas) Islam itu sempat memakai istilah algemene vergadering (rapat umum) atau jaarvergadering (pertemuan tahunan).

Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 M di Kauman, Yogyakarta. Kiai yang berjulukan Sang Pencerah itu memimpin gerakan dakwah tersebut hingga tahun 1922. Selama masa kepemimpinannya, //algemene vergadering// atau //jaarvergadering// selalu digelar di wilayah Kesultanan Ngayogyakarta.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Dalam Rapat Umum ke-11, muncul kesepakatan untuk tidak lagi menggunakan istilah berbahasa Belanda, melainkan bahasa Indonesia, yakni perkumpulan tahunan. Hasil penting lainnya dari pertemuan puncak Muhammadiyah itu adalah naiknya KH Ibrahim menjadi ketua umum.

Secara nasab, hafiz Alquran tersebut adalah putra KH Fadlil Rachmaningrat, penghulu hakim Kesultanan. Masa baktinya berlangsung hingga tahun 1934.

Dalam periode Kiai Ibrahim, tepatnya sejak 1924, Muhammadiyah mengubah nomenklatur perkumpulan tahunan menjadi kongres. Istilah itu diserap dari kata bahasa Inggris, congress. Pada 1936, Persyarikatan menggelar Congress Seperempat Abad di Jakarta.

Muhammadiyah bahkan pernah memakai istilah Congress Dharurot untuk pertemuan tertinggi yang diselenggarakan secara terbatas pada 1944 dan 1946. Sebab, ketika itu terjadi peperangan dan revolusi fisik bangsa Indonesia dalam melawan penjajah.

Memasuki 1950, nama muktamar mulai digunakan Persyarikatan. Momen itu bertepatan dengan pertemuan tertinggi ke-31. Muktamar ke-31 tersebut dilaksanakan di Yogyakarta.

Mengenai lokasi acara, penyelenggaraan muktamar Muhammadiyah sejak ormas Islam ini berdiri hingga 1925 mengambil tempat di Yogyakarta. Setelah itu, Persyarikatan mulai menggelar muktamar di berbagai daerah luar Yogyakarta.

 
Mengenai lokasi acara, penyelenggaraan muktamar Muhammadiyah sejak ormas Islam ini berdiri hingga 1925 mengambil tempat di Yogyakarta.
 
 

Bagaimanapun, untuk memudahkan jangkauan para peserta muktamar selalu dihelat di kawasan perkotaan. Beberapa kota di Tanah Jawa yang pernah menjadi tuan rumah adalah Jakarta, Bandung, Purwokerto, Surakarta (Solo), Semarang, Pekalongan, Malang, dan Surabaya.

Di luar Jawa, kota-kota yang tercatat menjadi lokasi acara adalah Medan, Padang, Bukittinggi, Palembang, Banjarmasin, dan Makassar. Dari semua kota tersebut, yang paling sering menjadi tuan rumah muktamar Muhamamdiyah adalah Yogyakarta, yakni sebanyak 24 kali.

Sejak didirikan Kiai Ahmad Dahlan hingga saat ini, Muhammadiyah telah menggelar forum pemuncak—baik itu bernama rapat, kongres, maupun muktamar —sebanyak 47 kali. Antara tahun 1912 dan 1941, permusyawaratan tertinggi Persyarikatan diadakan tiap setahun sekali. Perubahan jeda-waktu forum tertinggi mulai terjadi seiring dengan keadaan Tanah Air yang memasuki revolusi kemerdekaan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Persyarikatan Muhammadiyah (lensamu)

Pada 1941-1950, muktamar Muhammadiyah diselenggarakan secara terbatas. Dalam periode tersebut, penyelenggaraan hanya dilakukan dua kali. Kemudian, antara 1950 dan 1958, muktamar pernah dilakukan sekali dalam tiga tahun.

Pergeseran periodik kembali terjadi antara 1971 dan 1985 karena adanya instabilitas nasional. Sejak 1985, Muhammadiyah menjadwalkan penyelenggaraan muktamar, yakni sekali dalam jangka waktu lima tahun. Periode lima tahunan ini berlangsung hingga sekarang.

Penyematan sebutan yang terbilang istimewa dilakukan dalam beberapa muktamar. Misalnya, Muktamar (Congress) Seperempat Abad pada 1936; Muktamar Setengah Abad pada 1962; dan Muktamar Satu Abad pada 2010. Perhelatan pada tahun 1962 tersebut dinamakan pula Muktamar Anugerah karena ketika itu Muhammadiyah tidak jadi dibubarkan oleh rezim penguasa.

photo
ILUSTRASI Suasana kongres Muhammadiyah pada masa silam. Dalam sejarahnya, Persyarikatan Muhammadiyah telah menggelar sebanyak 47 muktamar. Dari proses yang ada, tercatat sebanyak 15 tokoh yang pernah menjadi ketua umum gerakan Islam tersebut. - (DOK UMM)

Beberapa tertunda

Menurut jadwal semula, Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dilaksanakan pada 1-5 Juli 2020. Namun, wabah virus korona menyerang berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena itu, PP Muhammadiyah memutuskan untuk memundurkan jadwal pelaksanaan.

Sempat diundur ke tanggal 24-27 Desember 2020, Persyarikatan memutuskan menundanya lantaran situasi masih belum memungkinkan. Akhirnya, ditetapkanlah bahwa forum tertinggi itu diselenggarakan pada 19-20 November 2022 di UMS, Jawa Tengah.

Sejatinya, penundaan demi penundaan itu dimaklumi oleh seluruh kader Muhammadiyah. Sebab, pandemi Covid-19, terlebih pada momen puncak penularan, “memaksa” orang-orang untuk membatasi pertemuan yang berpotensi mengumpulkan massa.

Kalaupun memerlukan antisipasi, mekanisme yang berlaku di Persyarikatan memungkinkan adanya muktamar luar biasa (MLB). Merujuk pada AD Muhammadiyah Pasal 23, MLB adalah “muktamar darurat disebabkan oleh keadaan yang membahayakan Muhammadiyah dan atau kekosongan kepemimpinan, sedang tanwir tidak berwenang memutuskannya". Bagaimanapun, alhamdulillah, tidak ada krisis atau hal-hal yang mengancam keselamatan gerakan Islam ini sehingga MLB tidak perlu menjadi opsi.

 
Dalam sejarahnya, Persyarikatan sebenarnya sudah beberapa kali terpaksa menunda pelaksanaan muktamar.
 
 

Dalam sejarahnya, Persyarikatan sebenarnya sudah beberapa kali terpaksa menunda pelaksanaan muktamar. Beberapa keadaan memaksa PP Muhammadiyah untuk melakukan penundaan demi kemaslahatan seluruh unsur gerakan dakwah ini.

Dalam artikelnya di Suara Muhammadiyah, Muhammad Yuanda Zara menjelaskan, Muktamar (Congress) ke-30 Muhammadiyah di Purwokerto pada 1941 sempat gagal dilaksanakan. Sebab, ketika itu penguasa Hindia Belanda (Indonesia) menetapkan bahwa negara dalam keadaan bahaya alias staat van oorlog en beleg (SOB). Padahal, panitia Congress ke-30 Muhammadiyah telah mempersiapkan logo, tempat acara, undangan, dan berbagai hal lainnya.

Ancaman yang dirasakan otoritas Hindia Belanda terutama datang dari ekspansi Jepang dalam kancah Perang Dunia II di palagan Asia Pasifik. Pemerintah kolonial Belanda juga mewaspadai dampak invasi pasukan Nazi Jerman atas anah air mereka sejak Mei 1940.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Persyarikatan Muhammadiyah (lensamu)

Sekira tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1944, Muhammadiyah mengadakan muktamar darurat. Ini merupakan imbas dari situasi yang tidak kondusif sejak masuknya pendudukan Jepang di Indonesia. Karena bersifat darurat, jumlah peserta forum itu terbilang sedikit, tidak seramai biasanya.

Penundaan lainnya atas gelaran muktamar terjadi pada 1981. Sebab, ketika itu muncul situasi politik yang cukup panas di kalangan umat Islam. Rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengusung kebijakan Asas Tunggal Pancasila. Beleid penguasa itu mewujud dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985. Isinya mengharuskan setiap organisasi di Tanah Air untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.

photo
ILUSTRASI Muhammadiyah pernah terpaksa menunda beberapa muktamar karena hal-hal kontekstual pada tiap masa. - (DOK PWM Jateng)

Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid (2014) menjelaskan, wacana Asas Tunggal sesungguhnya bergulir sejak kejadian bentrok fisik antara massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar) di Lapangan Banteng, Jakarta. Orba yang didukung Golkar menganggap partai yang berhaluan kanan (agama) itu patut diwaspadai.

Maka, dirancanglah tafsiran bahwa Pancasila—artinya, bukan agama— mesti dijadikan asas satu-satunya dalam berorganisasi. Dalih Orba, Asas Tunggal diterapkan demi melindungi Pancasila dari rongrongan ekstrem kiri maupun kanan. Melalui itu pula, diyakini bahwa konflik ideologi dapat hilang sehingga pembangunan nasional tidak akan terganggu.

Persyarikatan sejak 1980-an merespons Asas Tunggal dengan hati-hati. Bahkan, beberapa pengamat memandang, PP Muhammadiyah sempat “terbelah” dalam menyikapinya. Ada yang ingin organisasi tersebut mengambil sikap akomodatif. Namun, ada pula yang ingin Muhammadiyah bisa mengelak atau bahkan melawan hegemoni Orba.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Persyarikatan Muhammadiyah (lensamu)

Maka muktamar ke-41 yang sedianya digelar pada 1981 menjadi dilaksanakan tahun 1985 di Surakarta. PP yang saat itu dipimpin KH AR Fachruddin akhirnya menemukan penyelesaian.

Muhammadiyah mencantumkan asas Pancasila. Namun, dalam pasal tentang identitas di anggaran dasar disebutkan, Muhammadiyah adalah organisasi Islam dan berakidah Islam. Maksud dan tujuan gerakan ini adalah menegakkan dan menjunjung tinggi Islam sehingga terwujud Masyarakat Utama yang diridhai Allah SWT.

Sosok yang akrab disapa Pak AR itu mengibaratkan, berasas Pancasila semisal aturan yang mengharuskan pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di jalan umum. Muhammadiyah pun menggunakan “helm” Pancasila sebagai bagian dari ketaatan terhadap regulasi tanpa harus kehilangan identitas dan kepribadian Islam.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Selayang Pandang Muktamar ke-48 Muhammadiyah

Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah mengusung tema dan semangat kemajuan.

SELENGKAPNYA

Muhammadiyah Gelar Muktamar Daring

Muhammadiyah ingin berperan lebih aktif dan konstruktif dalam kehidupan kebangsaan

SELENGKAPNYA

Kasus Covid-19 Melonjak Lagi, Pintu Masuk Diperketat

Luhut menyebut puncak gelombang akan terjadi dalam satu hingga dua bulan ke depan.

SELENGKAPNYA